Postingan

Menampilkan postingan dari Juli 29, 2013

Rahasia Bisnis Yahudi

Gambar
Tidak bisa dipungkiri bahwa para pengusaha Yahudi kini menguasai sistem perekonomian dunia. Dengan jerat sistem yang mereka buat, para pengusaha itu memaksakan bentuk perbudakan modern kepada bangsa-bangsa lain di dunia yaitu kapitalisme. Dengan sistem yang korup ini, beserta intrik kotor lainnya, mereka membangun kerajaan bisnis yang kini mampu mencengkeram dunia dalam hegemoni mereka. Apa dan Bagaimana rahasia kesuksesan para pengusaha Zionis dalam menggenggam perekonomian dunia.? Ternyata, kesuksesan gemilang Yahudi ini dimotori oleh strategi jitu, yaitu mencari antek-antek yang mau diajak bekerja sama, melakukan lobi politik yang kotor, melakukan suap terhadap para pejabat dan pihak terkait, mendesak pemeritah dan para pemilik perusahaan swasta untuk menjual saham dan aset mereka dengan jargon privatisasi, melakukan monopoli bisnis dengan cara kotor hingga melakukan perusakan terhadap aset perusahaan pesaing. Di samping itu, Yahudi juga mengadakan kerja sama,

Seputar Barang Agunan

Gambar
  Soal: Bolehkah menggunakan barang yang dibeli dengan kredit sebagai jaminan, sebagaimana yang dilakukan oleh bank syariah? Lalu jika status jaminan sebagai istitsaq (bukti kepercayaan), bagaimana hukum menjual barang agunan tersebut untuk melunasi hutang? Jawab: Pertama : status barang yang dibeli dijadikan jaminan memang ada ikhtilaf di kalangan ulama. Ada yang membolehkan dan tidak. Yang menyatakan barang yang dibeli tidak boleh dijadikan jaminan ( al-mabi’ rahna[an] ) adalah Imam as-Syafii dan Ahmad, dalam satu riwayat. 1 Dalam kitab Al-Hawi al-Kabir , sebagaimana dinukil oleh al-Marudi, Imam as-Syafii menyatakan: وَلَوِ اشْتَرَطَا أَنْ يَكُونَ المَبِيعُ نَفْسَهُ رَهْناً، فَالْبَيْعُ مَفْسُوخٌ مِنْ قَبْلِ أَنَّهُ لَمْ يَمْلِكْهُ المَبِيعُ إِلاَّ بِأَنْ يَكُونَ مَحْبُوساً عَلَى الْمُشْتَرِي Kalau penjual-pembeli mensyaratkan agar barang yang dibeli tersebut sebagai agunan (jaminan), maka akad jual-beli

Adab dan Hukum I’tikaf

Gambar
  Soal: Apa sebenarnya batasan i’tikaf ? Bagaimana hukum i’tikaf ; benarkah sunah, atau mubah saja, sebagaimana yang dinyatakan Imam Malik? Di manakah i’tikaf harus dilakukan? Haruskah di masjid atau tempat lain? Lalu bagaimana dengan perempuan yang hendak melakukan i’tikaf ? Jawab: Secara harfiah, i’tikaf adalah lazima (terikat) dan habasa an-nafsa ‘alayh (menahan diri pada), sebagaimana dinyatakan dalam al-Quran: هُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا وَصَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَالْهَدْيَ مَعْكُوفًا أَنْ يَبْلُغَ مَحِلَّهُ Merekalah orang-orang kafir yang menghalangi kamu dari (masuk) Masjidil Haram dan menghalangi hewan korban sampai ke tempat (penyembelihan)-nya ( QS al-Fath [48]: 25 ). Adapun secara syar’i , i’tikaf adalah berdiam diri di masjid dalam waktu tertentu dengan ciri-ciri tertentu disertai dengan niat mendekatkan diri kepada Allah SWT. Kata i’tikaf, jiwar (diam) atau mujawarah (mendiami) masjid mempunyai konotasi yang sam