Kekhawatiran Barat akan bangkitnya Ideologi Islam

Begitu komunisme dianggap runtuh, dengan tempo yang cepat diskusi-diskusi tentang 'ancaman Islam' atau 'bahaya Islam' (Islamic Threat) bermunculan di media massa. Dengan berakhirnya perang dingin, bukan berarti AS dan barat telah merasa aman dan menang sebagai 'penguasa dunia'. AS dan barat mengkhawatirkan ada pesaing baru yang harus diwaspadai dan diantisipasi. Itulah kekuatan Islam yang mulai bangkit kembali.

Disana-sini mulai ramai diskusi, seminar dan artikel tentang gerakan kebangkitan Islam sebagai 'ancaman paling potensial' terhadap 'dominasi barat'. Ilmuwan barat yang pertama kali dikenal mempopulerkan benturan peradaban ( clash of civilization ) antara peradaban Islam dan barat, pasca perang dingin, adalah Bernard Lewis, guru besar keturunan yahudi di Princeton University. Bernard lewis dikenal sebagai penulis yang produktif dan orientalis kawakan dalam bidang sejarah Islam dan Yahudi. Lewislah yang mempopulerkan wacana clash of civilizations melalui artikelnya berjudul ' The Roots of Muslim Rage ' di jurnal Atlantic Monthly, September 1990. Artikel ini merupakan persiapan untuk menentukan siapa 'musuh baru' barat pasca perang dingin.

Banyak cendikiawan merumuskan, bahwa unsur pokok suatu peradaban ( civilization ) adalah agama. Agama, kata mereka adalah faktor terpenting yang menentukan karakteristik suatu  peradaban. Sebab itu, bernard Lewis menyebut peradaban barat dengan sebutan ' christian civilization ', dengan unsur utama agama kristen. Samuel Huntington juga menulis, "Agama merupakan karakteristik sentral yang menentukan peradaban." Sementara menurut Christoper Dawson, "Agama -agama besar merupakan pondasi dari peradaban -peradaban besar sebagai kelanjutannya."

Tiga tahun setelah itu, yaitu tahun 1993, seorang ilmuwan politik dari Harvard bernama Samuel Philips Huntington, menjadi sangat terkenal dengan mempopulerkan wacana 'the clash of civilization ' lewat sebuah artikel yang ditulisnya dalam jurnal Foreign Affairs. Artikel itu kemudian dikembangkan menjadi sebuah buku dan diterbitkan dengan judul ' The Clash of Civilization and The Remaking of World Order ', dan diterbitkan tahun 1996 M.

Dalam bukunya, Huntington menyebutkan secara detail dan kuat berbagai bukti yang menunjukkan bahwa peradaban Islam adalah calon lawan dan pesaing terbesar bagi peradaban barat, dan motif utama konflik peradaban Islam versus peradaban barat ini adalah motif ideologi. Ideologi, menurut Huntington, memilah-milah manusia dalam beberapa blok secara lebih objektif dan komprehensif. Menurutnya, konflik Islam versus barat merupakan konflik yang sebenarnya. Adapun konflik kapitalisme versus komunisme (As-Uni Soviet dalam perang dingin ) hanyalah fenomena sejarah yang bersifat sesaat (fleeting) dan dipermukaan (superficial) semata, bukan konflik sebenarnya. Istilahnya, sekedar konflik-konflikan. Konflik sebenarnya adalah Islam versus Barat. Selama 14 abad, Islam dan Barat sangat sering terlibat dalam konflik.

Melalui bukunya ini, Huntington mengarahkan barat untuk memberikan perhatian khusus terhadap Islam. Menurutnya, diantara berbagai peradaban besar yang masih eksis hingga kini, hanya Islamlah satu-satunya peradaban yang berpotensi besar menggoncangkan peradaban Barat.

Tesis Huntington mendapat sambutan luar biasa dari para cendikiawan, politikus dan para pengambil kebijakan pemerintahan AS dan barat. Mantan Menlu AS, Henry Kissinger sampai menyebut bukunya sebagai, "One of the most important books to have emerged since the end of the cold war " (salah satu buku terpenting yang diterbitkan pasca perang dingin).

Diantara berbagai tawaran alternatif hubungan Islam-Barat, tema clash of civilization kemudian menjadi yang paling populer dan menjadi kenyataan dalam kebijakan politik internasional.

Tesis Lewis dan Huntington disusul oleh pandangan serupa dari para ilmuwan, politikus, dan tokoh agama Barat. Diantara tulisan-tulisan mereka adalah
- Francis fukuyama dalam ' The End of History and The Last Man ', (1999). Menurutnya, perjalanan sejarah umat manusia kini telah berakhir dengan kemenangan demokrasi-liberal atas seluruh ideologi lain yang pernah ada di dunia.
- Charles E. Carlson dalam ' Attacking Islam', (1994).
- Jack Miles dalam ' Theology and the clash of Civilization' (2002).
Benjamin F. Barber dalam Jihad barat Mc World, How The Globalism and Tribalism Are Reshaping The World,(2002).
- Judith Miller dalam ' Is Islam Threat?', (1993).
- Daniel Pipes dalam ' Fundamentalist Moslems Between America and Russia ', (1986).
Para pemikir dan cendikiawan ini bukan sembarang ilmuwan atau penulis biasa. Tulisan-tulisan mereka menjadi bahan pertimbangan para pembuat kebijakan dalam pemerintahan AS dan Barat. Lewis misalnya, adalah seorang ilmuwan yang dikenal dekat dengan penguasa Gedung Putih. Shireen T. Hunter, dalam tulisannya berjudul The Rise of Islamist Movement and The Western Response: Clash of civilization or Clash of Interest? Menyebut ilmuwan seperti Bernard Lewis, termasuk tokoh aliran ' neo-Orientalist '. Aliran ini melihat kecenderungan anti -Barat para kalangan ' Islamist' sebagai konskuensi dari ' clash of civilization'.
Menempatkan dirinya sebagai penasehat Barat, Lewis memberikan berbagai justifikasi dan legitimasi terhadap politik dan kebijakan AS dan Barat atas dunia Islam. Itu semakin terlihat jelas dalam buku yang ditulis Lewis berjudul The Crisis of Islam: Holy war and Unholy terror (2004). Buku ini begitu jelas merupakan semacam apologi Barat dalam menerapkan politik luar negerinya terhadap dunia internasional, khususnya dunia Islam.

Michel Colin Pipper dalam bukunya The High Prisets of War juga memasukkan Lewis ke dalam kelompok intelektual 'neo-konservatif', seperti Samuel P. Huntington yang merumuskan rancangan tata politik internasional berbasis pada teori clash of Civilizations. Buku Lewis yang berjudul What Went Wrong (2003) dikritik oleh Colin Piper sebagai buku yang secara keji menyerang sejarah Arab dan kaum muslimin.

Dalam bukunya yang terakhir, The Crisis of Islam: Holy War and Unholy Terror, Lewis memberikan solusi praktis bagi barat untuk menghadapi sejumlah masalah di dunia Islam. Sebagai contoh, di Irak dan Iran, Lewis menasehati bahwa kita (AS-Barat) bisa membantu kekuatan-kekuatan oposisi demokratis untuk mengambil alih dan membentuk pemerintahan baru. Buku Lewis ini ditulis sebelum AS menyerang Irak, Maret 2003, sehingga menjadi petunjuk yang jelas, bagaimana pengaruh gagasannya terhadap kebijakan politik luar negeri AS. Tak heran menurut Colin Piper, Lewis adalah sosok penentu dibalik serangan AS terhadap Irak. Pada 5 April 2003, The New York Times memaparkan bahwa buku Lewis, What Went Wrong, memberi pengaruh besar pada pemerintahan Bush, khususnya terhadap wakil Presiden Dick Cheney.

Adapun Huntington adalah seorang guru besar studi-studi strategis di Harvard University. Buku yang ditulisnya ini merupakan salah satu buku paling berpengaruh dalam wacana para ilmuwan dan para pengambil kebijakan pemerintahan Barat.

Dalam tulisannya di  majalah Newsweek Special Davos Edition (2001) yang berjudul ‘The Age Muslim War', Huntington mencatat : “Terjadinya kemungkinan ‘benturan peradaban’ kini telah hadir.” Ia juga menegaskan, “Politik globalism masa kini adalah zaman perang terhadap muslim.”
Dalam bukunya, The Clash of Civilization and The Remaking of World Order, Huntington menguraikan beberapa faktor yang telah dan akan meningkatkan panasnya konflik antara Islam dan Barat. Diantaranya adalah:
• Pertama, pertumbuhan penduduk Muslim yang cepat telah memunculkan pengangguran dalam jumlah besar, sehingga menimbulkan ketidakpuasan di kalangan kaum muda Muslim.
• Kedua, kebangkitan Islam telah memberikan keyakinan baru kepada kaum Muslim akan keistimewaan dan ketinggian nilai dan peradaban Islam, dibanding nilai dan peradaban barat.
• Ketiga, secara bersamaan, barat berusaha mengglobalkan nilai dan institusinya, untuk menjaga superioritas militer dan ekonominya, dan turut campur dalam konflik di dunia Muslim. Hal ini telah memicu kemarahan di antara kaum Muslim.
• Keempat, runtuhnya komunisme telah menggeser musuh bersama di antara Islam dan Barat, dan masing-masing merasa sebagai ancaman utama bagi yang lain.
• Kelima, meningkatnya interaksi antara Muslim dan Barat telah mendorong perasaan baru pada masing-masing pihak akan identitas mereka sendiri, dan bahwa mereka berbeda dengan yang lain.

Dalam posisi sebagai penasehat kebijakan politik luar negeri AS, Huntington menyatakan bahwa Eropa dan Amerika perlu menerapkan strategi bersama untuk menghadapi ancaman-ancaman terhadap masyarakat dan keamanan mereka dari militan Muslim. Ia menekankan perlunya dilakukan preemptive-strike (serangan dini) terhadap ancaman dari kaum militan Muslim.

Seberapa besar dan jauh pengaruh wacana clash of civilizations dalam kebijakan politik para pemimpin AS dan Barat bisa disimak dari serangan AS dan sekutunya ke Afghanistan, Irak dan perang global melawan ‘teroris’ yang dikumandang oleh AS dan sekutunya. Juga bisa diihat dari pernyataan lisan dan tertulis para pemimpin Barat.
Nasihat Huntington terbukti efektif dan telah diaplikasikan oleh pemerintah AS. Pada awal juni 2002, doktrin preemptive-strike (serangan dini) dan defensive intervention (intervensi bertahan) secara resmi diumumkan. Harian Kompas (14 Juni 2002) menulis tajuk rencana berjudul ‘AS kembangkan Doktrin Ofensif, Implikasinya Luas’. Sebelumnya pada masa perang dingin saat menghadapi komunis, AS menggunakan pola penangkalan dan penangkisan. Kini menghadapi musuh baru yang diberi nama teroris Islam, urusan hukum internasional belakangan. Dalam bahasa yang lebih lugas, doktrin ‘serangan dini’ ini ibarat ‘membunuh tikus di lobangnya'. Jadi, tidak membiarkan dan memberi kesempatan tikus untuk berkembang dan menyerang.

Dari kasus doktrin preemptive-strike ini tampak bagaimana pola pikir ‘bahaya Islam’ yang dikembangkan ilmuwan dan sekaligus penasehat politik barat seperti Huntington, berjalan cukup efektif. Pola pikir bahwa ‘Islam’ lebih berbahaya dari komunis juga tampak mewarnai kebijakan politik dan militer AS dan Barat. Sikap Islamofobia merebak dengan mudah di kalangan masyarakat barat.
Buku terakhir Huntington Who Are We?: The Challenges to America’s Nasional Identity (2004) menggunakan bahasa yang lebih lugas, bahwa musuh utama Barat pasca perang dingin adalah Islam militan. Namun dari berbagai penjelasannya, definisi ‘Islam Militan' melebar kemana-mana, ke berbagai kelompok dan komunitas Islam, sehingga definisi itu menjadi kabur dan menggiring pembaca untuk mengambil sikap praktis terhadap umat Islam secara keseluruhan.

Sebagaimana ilmuwan neo-orientalis lainnya, Huntington juga tidak mau melakukan kritik internal terhadap kebijakan AS yang imprealistik. Huntington sama sekali juga tidak menampilkan fakta bahwa kebencian masyarakat barat (Eropa dan rakyat Amerika sendiri) terhadap kebijakan-kebijakan politik AS juga sangat besar. Huntington dengan lurus bersikap sangat tidak ilmiah dan berteori, “Retorika perang ideologi Amerika terhadap komunisme militan telah beralih menjadi perang agama dan kebudayaan terhadap Islam militan.”

Dalam bukunya yang berjudul “1999 menang tanpa peperangan’, mantan presiden AS Ricard Nixon menulis, “Di dunia Islam, sejak Maroko sampai Indonesia, kaum fundamentalis Islam menggantikan peran komunisme sebagai alat pokok perubahan radikal.”
Mantan Sekjen NATO, Jeifer Solanes dalam pertemuan NATO tahun 1991 M setelah runtuhnya Soviet mengatakan, “Setelah Perang Dingin selesai dan musuh beruang merah runtuh, seluruh negara NATO dan Eropa harus melupakan perselisihan di antara mereka, dan mengalihkan perhatiannya ke depan untuk melihat musuh yang sedang mengintainya. Negara NATO dan Eropa harus bersatu untuk menghadapinya. Itulah kaum fundamentalis Islam.”
Presiden Rusia dari kalangan Kristen Ortodoks, Vladimir Putin, dalam pertemuan terakhirnya dengan negara-negara persemakmuran (Commonwealth) tahun 2000 mengatakan, “sesungguhnya kaum fundamentalis Islam adalah satu-satunya bahaya yang hari ini mengancam negara-negara dunia maju. Inilah satu-satunya bahaya yang mengancam tatanan keamanan dan perdamaian dunia. Kaum fundamentalis mempunyai pengaruh. Mereka berusaha untuk mendirikan sebuah negara Islam yang membentang dari Filipina sampai Kosovo. Mereka bergerak dari Afganistan, sebagai pangkalan pergerakan mereka. Jika dunia tidak bangkit menghadapinya, ia bisa saja merealisasikan targetnya. Oleh karena itu, Rusia membutuhkan dukungan Internasional untuk membasmi fundamentalis Islam di Kaukasus Utara.”
Mark Jurgensmeyer menulis, “sekalipun Francis Fukuyama, diantaranya menyebutkan bahwa akhir perang dingin lama telah menghantarkan ke ‘akhir sejarah’ dan konsensus ideologi seluruh dunia terhadap kapitalisme sekuler, munculnya nasionalisme religius dan etnik menggugurkan penegasan ini.”
Prof. Joseph S. Nje Ke dalam bukunya ‘Understanding Internasional Confict: An introduction to Theory and History' (1993) juga menulis, “Era pasca perang dingin adalah satu kondisi pengulangan sejarah (the return of History). Artinya, ideologi kapitalisme liberal yang berlaku saat ini tidaklah mengendalikan sebagian besar konflik dalam politik internasional. Respon dan kompetitor utama terhadap kapitalisme pasca perang dingin adalah nasionalisme etnik.”

Sebagai sebuah ideologi yang dominan, kapitalisme pasti akan memaksakan hegemoni dan dominasinya terhadap ideologi yang lainnya, hal ini merupakan pola yang selalu terulang (recurrent pattern).
Robert Gilpin dalam bukunya ‘War Anda Change in World politics' (1982) menyebutkan “The current pattern in every Civilization of which we have knowledge was for one state to unify the system under its Imperial dominations”. (Pola yang selalu terulang dalam setiap peradaban yang kita ketahui, bahwa setiap negara penjajah selalu berusaha untuk menyatukan negara-negara jajahan ke dalam satu sistem di bawah dominasi imprealismenya).

Huntington, Bernard Lewis, dan kawan-kawannya dari kalangan ilmuwan neo-konservatif, terus berkampanye agar negara-negara barat lain juga mengikuti AS dalam memperlakukan Islam sebagai alternatif musuh utama Barat, setelah berakhirnya era komunis.

Doktrin clash of Civilization secara resmi diterima sebagai kebijakan politik pada konvensi Platfrom Partai Republik George W. Bush di Philadelphia, 3 Agustus 2002. Banyak agenda penting yang disepakati dalam konvensi tersebut. Diantaranya adalah unilateralisme AS dan statusnya sebagai the only super power harus dipertahankan, ditetapkannya the Rogue state (negara-negara bajingan) sebagai musuh baru, tanpa memberikan definisi apa yang dimaksud dengan the Rogue state. Juga diputuskan bahwa rezim Saddam Husain harus diganti.
Wacana tentang ‘ancaman Islam’ (Islamic Treat) memang gencar dimunculkan oleh media massa dan sejumlah tokoh dan pakar politik Barat.

Store Talbot menulis di majalah Time, 25 Februari 1991, bahwa bagaimana pun dan kapan pun perang berakhir, amarah Islam telah mengancam stabilitas rezim-rezim pro Barat dari Maroko sampai Yordania dan Pakistan. Menurut John L. Esposito, para pembuat kebijakan AS, seperti media massa, sering memandang dunia Islam dengan pandangan picik. Mereka memandang dunia Islam dan gerakan-gerakan Islam sebagai monolitik dan semata-mata dalam istilah extremisme dan terorisme. Mitos-mitos tentang Islam itulah yang secara konsisten dibangun pada era pasca perang dingin. Mitos itu semakin mengental pasca peristiwa 11 September 2001.

Apa yang dinamakan dengan ‘ancaman Islam', ‘Islam militan’, sebenarnya hanyalah ketakutan AS dan Barat yang berlebihan dan tidak berdasar. Semua ancaman yang mereka rasakan tersebut, hanyalah mitos yang timbul sebagai akibat dari zalimnya kebijakan politik, militer dan ideologi mereka kepada dunia Islam.

Sebagian besar negara dikawasan dunia Islam saat ini telah mengekor dan tunduk kepada Barat. Apabila AS dan Barat membangun kebijakan terhadap dunia Islam di atas teori clash Civilization, maka tujuan utamanya adalah menjaga agar dominasi ideologi, politik, ekonomi, militer dan budaya barat di panggung percaturan dunia tetap lestari.
Pada tahun 1980, presiden AS Jimmy Charter mengajukan ‘charter doktrin’ kepada kongres. Isinya adalah langkah-langkah strategis yang harus diambil oleh AS untuk tetap menjaga dominasi di dunia. Kunci langkah tersebut adalah mengembalikan dominasi dan menjaga kepentingan AS dan kapitalisme di kawasan Timur Tengah, teluk Persia dan Asia Selatan yang memiliki sumber daya alam raksasa, jumlah populasi yang besar dan letak yang strategis. Tanpa mendominasi kawasan ini mustahil AS bisa menguasai percaturan dunia.

Sebagaimana dijelaskan oleh Juwono Sudarsono, Guru Besar UI dan mantan duta besar RI untuk Inggris, sistem internasional yang dibangun sejak lebih dari 50 tahun lalu telah didominasi kekuatan politik, ekonomi dan militer dari negara maju. Tiga diantaranya AS, Inggris dan Perancis adalah negara barat yang menguasai penentuan keamanan dan perdamaian internasional di dewan keamanan PBB.

Pada badan multilateral resmi maupun swasta, ketiga negara itu menguasai lebih dari 70 persen keunggulan ekonomi, sains teknologi dan militer dunia. Sebagian besar perjanjian internasional di berbagai bidang disusun dan dikuasai ahli dan pelaku bisnis perusahaan multinasional Amerika Utara maupun Uni Eropa.

Peraturan yang diterbitkan badan multilateral, seperti OECD, WTO dan badan lain, mencerminkan kuatnya pengaruh negara maupun perusahaan multinasional di tiga kutub besar : Amerika Utara, Uni Eropa dan Jepang. Pada hakikatnya sistem internasional yang dibangun sejak lama merugikan bangsa sedang berkembang dan Negara miskin yang notabenenya berada di Dunia Islam.

Dunia Islam adalah kawasan paling kaya dan sekaligus paling miskin di dunia. Paling kaya karena sumber daya alamnya dan paling miskin akibat loyalitas para penguasanya kepada barat. Kemunculan gerakan kebangkitan Islam di dunia Islam telah mengancam eksistensi para penguasa antek barat dan otomatis mengancam seluruh kemudahan ekonomi yang selama ini dinikmati kapitalis Barat. Bila kekhawatiran ini terbukti, niscaya akan terjadi krisis politik dan ekonomi dalam skala makro, harga minyak bumi akan naik dan runtuhlah ekonomi negara-negara barat. Krisis harga minyak pasca perang Arab-israel Oktober 1973 belum hilang dari benak mereka.

Lebih dari itu, saat ini AS sedang mengalami krisis ekonomi paling parah sejak krisis ekonomi tahun 1929. Sepanjang tahun 2016 bursa efek AS mengalami penurunan drastis. Tim ekonomi Barack Obama juga telah gagal memperbaiki krisis, ditambah lagi penggantinya yaitu Donald Trump yang arogan, sehingga diperkirakan akan memperburuk ekonomi AS.

Maka tiada pilihan lain, harus diadakan langkah radikal. Langkah paling mudah adalah memposisikan dunia Islam yang lemah secara politik, ekonomi dan militer sebagai lawan. Lawan yang kecil, namun melalui rekayasa media massa barat dinampakkan seolah-olah sebagai musuh peradaban dunia. Penaklukan dunia Islam dan penguasaan SDA mereka adalah jawabannya. Itulah salah satu alasan permusuhan Barat kepada apa yang mereka namakan ‘Islam militan’. Michelle Steinberg, dalam jurnal executive Intelligence Review, pada 20 Oktober 2001 menulis analisis berjudul Wolfowitz Cabal is an enemy within U.S. dalam analisisnya tersebut ia menulis :
“Tetapi Irak sebenarnya hanya batu lompatan lain guna mendorong ‘perang’ anti-teroris menjadi ledakan besar ‘benturan peradaban’ (clash of civilization), dimana kawasan Islam akan menjadi simbol musuh dalam sebuah perang baru.

Hakekatnya, percampuran dan interaksi antara ideologi Islam dengan kapitalisme adalah sesuatu yang mustahil, sebab penelitian yang mendalam tentang dasar-dasar Islam dan kapitalisme akan menghasilkan kesimpulan yang berbeda. Masing-masing ideologi memiliki jalan yang berbeda. Oleh karena itu, pembahasan yang saling menyambung, berinteraksi itu bertujuan mengikutkan satu ideologi ke ideologi yang lain. Penggabungan itu bertujuan agar umat Islam senantiasa menjadi pengekor atau menjadi objek bagi penjajahan Barat tanpa perlawanan.

Kita ambil contoh dalam bidang ilmu pengetahuan ada dua dimensi, yaitu dimensi ilmiah dan dimensi nilai. Ketika peradaban Islam mencapai tingkat kemajuan ilmiah yang tinggi, maka kemajuan ilmu pengetahuan ini diarahkan untuk menciptakan kebahagiaan bagi umat manusia dan memenuhi kebutuhan seluruh umat. Bahkan peradaban Islam berusaha menyebarkan ilmu dan tidak menghalangi orang untuk memperolehnya, sebab dalam Islam menyembunyikan ilmu pengetahuan adalah sebuah dosa besar.
Sebaliknya, dalam ideologi kapitalisme, ketika ilmu pengetahuan telah maju, maka mereka menjadikan inovasi-inovasi pengetahuan itu sebagai sarana untuk menguasai bangsa lain. Mereka tidak segan-segan menghukum orang yang berani memindahkan ilmu pengetahuan dari negara-negara mereka ke negara lain.

Partikel-partikel kapitalisme dibangun di atas praktek ekspansi, rasialisme, kemakmuran dan kemewahan hidup yang diambil dari kekayaan bangsa-bangsa lain. Agar kemakmuran ini dapat terus berlanjut, maka pengerukan kekayaan itu harus tetap dilakukan. Kapitalisme juga diiringi oleh proses pencarian keuntungan yang sebesar-besarnya, meskipun harus saling membinasakan diantara mereka sendiri. Kapitalisme telah kehilangan spirit belas Kasih, moral dan sikap saling menghargai.
Jadi, ideologi kapitalisme adalah ideologi konflik, yang tidak hanya melahirkan konflik diantara bangsa-bangsa lain, namun juga konflik di kalangan mereka sendiri. Mereka telah merusak lingkungan, keseimbangan biologis alam, menyebabkan munculnya penyakit AIDS dan narkotika serta menyebabkan munculnya senjata-senjata pemusnah massal. Ideologi mereka menjadi ancaman bagi diri mereka sendiri, bagi orang lain, bagi bumi dan ancaman bagi masa depan umat manusia semuanya.
Kesimpulannya, sebagaimana ditulis oleh Dr. Muhammad Moro, seorang intelektual Mesir dalam bukunya Al-Islam wa Amrika: Hiwar Am Muwajahah :
“jadi, konflik itu adalah sebuah keniscayaan. Tidak ada jalan lain kecuali menghadapinya. Meskipun kita menghadapinya dan kalah, namun kekalahan itu memberikan kesempatan kepada kita untuk tetap bertahan dan memelihara benih-benih itu, agar tetap baik dan dapat menghasilkan buahnya pada tahap berikutnya. Sikap mengalah dan menyerah tidak hanya berarti kerugian yang besar pada masa sekarang, tetapi juga kehancuran bagi masa depan, sebab benih-benih itu dibiarkan di tanah dalam waktu yang sangat panjang tanpa dipelihara sama sekali.

Wallahua’lam bish-shawab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Struktur Negara Khilafah