Struktur Negara Khilafah
Khilafah
atau sistem pemerintahan Islam adalah sebuah resep hidup bernegara
warisan Rasulullah saw., bahkan satu-satunya yang wajib digunakan oleh
kaum Muslim. Karena itu, penting bagi kaum Muslim memahami struktur
Negara Khilafah yang diambil (ditetapkan) dari struktur negara yang
ditegakkan oleh Rasulullah saw. di Madinah, dan yang dijalankan oleh
Khulafaur Rasyidin sesudahnya.
Telaah Kitab kali ini akan membahas Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr)
Negara Islam pasal 23, tentang struktur Negara Khilafah, bahwa Negara
Khilafah dalam bidang pemerintahan dan administrasi memiliki 13 struktur
(An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 113; Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, hlm. 96; Hizb at-Tahrîr, hlm. 82; dan Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 18).
1. Khalifah.
Khalifah
adalah orang yang mewakili umat dalam menjalankan pemerintahan,
kekuasaan dan penerapan syariah. Sebab, Islam menjadikan hak
pemerintahan dan kekuasaan sebagai milik umat. Untuk itulah umat
mengangkat orang yang mewakili mereka dalam menjalankan pemerintahan dan
menerapkan syariah yang diwajibkan oleh Allah kepada mereka
(An-Nabhani, Nizham al-Hukmi fi al-Islam, hlm. 47; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 20).
Dalilnya adalah af’âl (perbuatan) dan aqwâl
(sabda) Rasulullah saw. serta Ijmak Sahabat tentang kewajiban
mengangkat khalifah pengganti Rasulullah saw. setelah wafatnya. Bahkan
Sahabat lebih mendahulukan pengangkatan khalifah daripada pemakaman
Rasulullah saw (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 114).
2. Mu’âwinûn at-Tafwîdh.
Mu’âwinûn at-Tafwîdh (Wuzarâ’ at-Tafwîdh) adalah para pembantu Khalifah dalam bidang pemerintahan. Mereka diangkat
oleh Khalifah untuk bersama-sama memikul tanggung jawab pemerintahan
dan kekuasaan. Mereka mendapat mandat untuk mengatur berbagai urusan
serta melaksanakannya menurut pendapat dan ijtihadnya sesuai dengan
ketentuan syariah (Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 55).
Dalilnya adalah sabda Rasulullah saw.: “Jika
Allah menghendaki kebaikan bagi seorang amir (Imam/Khalifah), Allah
menjadikan bagi dirinya seorang pembantu (wazîr) yang jujur dan benar.
Jika ia lupa, wazir itu akan mengingatkannya, dan jika ia ingat, wazir
itu akan membantunya. Jika Allah menghendaki atas amir itu selain yang
demikian, Allah menjadikan baginya wazîr yang jahat/buruk. Jika ia lupa,
wazir itu tidak mengingatkannya, dan jika ia ingat, wazir itu tidak
membantunya.” (HR at-Tirmidzi).
3. Wuzarâ’ at-Tanfîdz.
Wuzarâ’ at-Tanfîdz adalah para pembantu Khalifah dalam bidang administrasi. Pada masa Rasulullah saw. dan Khulafaur Rasyidin mereka disebut al-kâtib
(sekretaris). Tugas mereka hanyalah tugas administrasi, bukan tugas
pemerintahan, yakni membantu Khalifah dalam urusan implementasi
kebijakan, pendampingan, dan penyampaian kebijakan (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 115; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 64).
Di antara dalilnya adalah hadis dari Zaid bin Tsabit bahwa Nabi
saw. Telah menyuruh dia untuk mempelajari tulisan Yahudi hingga ia bisa
menuliskan surat-surat Nabi (untuk kaum Yahudi), dan membacakannya
ketika kaum Yahudi mengirim surat kepada beliau (HR al-Bukhari).
4. Wali (Gubernur).
Wali
adalah orang yang diangkat oleh Khalifah sebagai penguasa (pejabat
pemerintah) untuk suatu wilayah (propinsi). Dengan kata lain, wali
adalah penguasa negara di tingkat propinsi (An-Nabhani, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 73).
Dalilnya di antaranya adalah hadis dari Burdah, “Rasulullah
s.aw mengutus Abu Musa dan Muadz bin Jabal ke Yaman. Masing-masing
diutus untuk memimpin sebuah wilayah. Yaman dibagi menjadi dua wilayah.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
5. Amîrul Jihâd.
Departemen Peperangan atau Pertahanan (Dâirah al-Harbiyah) merupakan salah satu instansi negara. Kepalanya disebut Amîr al-Jihâd dan tidak disebut Mudîr al-Jihâd (Direktur Jihad). Hal itu karena Rasulullah saw. menamakan komandan pasukan sebagai amir (An-Nabhani, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 86).
Di antara dalilnya adalah hadis riwayat Ibnu Saad dalam Ath-Thabaqât, bahwa Rasulullah saw. Bersabda, “Yang
menjadi amir pasukan (Perang Mu’tah) adalah Zaid bin Haritsah. Jika ia
gugur maka Ja‘far bin Abi Thalib; jika ia gugur maka Abdullah bin
Rawahah; jika ia gugur maka hendaklah kaum Muslim memilih salah seorang
laki-laki di antara mereka lalu mereka jadikan sebagai amir yang
memimpin mereka.”
6. Departeman Keamanan Dalam Negeri.
Departeman
Keamanan Dalam Negeri adalah sebuah departemen yang dipimpin oleh
kepala polisi. Tugasnya adalah menjaga keamanan di dalam Negara Islam.
Namun, dalam kondisi tertentu, yakni ketika kepolisian tidak mampu, bisa
ditangani oleh militer dengan izin Khalifah (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 116; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 94).
Dalilnya adalah hadis dari Anas bin Malik, “Sesungguhnya Qais bin Saad di sisi Nabi saw. memiliki kedudukan sebagai kepala kepolisian, dan ia termasuk di antara para amir.” (HR al-Bukhari).
7. Departemen Luar Negeri.
Departemen
Luar Negeri adalah departemen yang mengurusi seluruh urusan luar negeri
terkait hubungan Negara Khilafah dengan negara-negara asing, apapun
jenis perkara dan bentuk hubungannya; baik perkara yang berkaitan dengan
aspek politik dan turunannya, ataupun perkara yang berkaitan dengan
aspek ekonomi maupun ekonomi. Semua perkara tersebut diurusi oleh
Departemen Luar Negeri, karena semua itu merupakan kepentingan hubungan
Negara Khilafah dengan negara-negara lain (An-Nabhani, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 105).
Dalilnya adalah af’âl
(perbuatan) Rasulullah saw. Beliau—sebagai kepala negara—melakukan
berbagai hubungan luar negeri dengan sejumlah negara dan institusi yang
lain. Rasulullah mengutus Utsman bin Affan untuk berunding dengan kaum
Quraisy, sebagaimana beliau juga berunding langsung dengan delegasi kaum
Quraisy. Beliau pun mengirim sejumlah utusan kepada para raja,
sebagaimana beliau juga pernah menerima utusan dari para raja dan
pemimpin negara. Beliau pernah menjalin berbagai kesepakatan dan
perjanjian damai (bersifat sementara). Hal yang sama dilakukan juga oleh
para khalifah setelah beliau. Mereka menjalin hubungan politik dengan
sejumlah negara dan institusi yang lain. Para Khalifah bisa melakukan
sendiri semua aktivitas tersebut atau mengangkat wakil untuk
melakukannya. Hal ini menunjukkan perlunya ada satu jabatan yang akan
mengurusi semua urusan tersebut (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 116; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 105).
8. Departemen Perindustrian.
Departemen
Perindustrian adalah departemen yang mengurusi semua perindustrian,
baik terkait industri berat maupun industri ringan; baik berupa
pabrik-pabrik yang menjadi milik umum maupun pabrik-pabrik yang menjadi
milik pribadi, yang memiliki hubungan dengan industri-industri militer
(peperangan). Semua industri dengan berbagai jenisnya itu harus dibangun
dengan berpijak pada politik perang (Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 106).
Dalilnya adalah: Pertama,
al-Quran (Al-Anfal (8):60) yang memerintahkan kaum Muslim untuk
menyiapkan kekuatan yang membuat semua musuh merasa ketakutan. Kedua, as-Sunnah. Rasulullah saw. pernah memerintahkan pendirian industri manjaniq (senjata pelontar) dan dababah (semacam tank dari kayu). Ibnu Saad dalam Ath-Thabaqât, dari Makhul, berkata: “Sesungguhnya Nabi saw menggempur penduduk Thaif dengan manjaniq selama empat puluh hari.”
Ketiga, kaidah fikih “Mâ lâ yatimmu al-wâjibu illâ bihi fahuwa wâjib[un]
(Suatu kewajiban tidak akan terlaksana dengan sempurna kecuali dengan
sesuatu, maka adanya sesuatu itu hukumnya wajib).” Artinya, perintah
menyiapkan kekuatan itu akan terlaksana dengan sempurna jika ada
industri persenjataan (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 117; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 82).
9. Peradilan.
Peradilan
adalah lembaga yang bertugas menyampaikan keputusan hukum yang bersifat
mengikat. Lembaga ini bertugas menyelesaikan perselisihan di antara
sesama rakyat, mencegah hal-hal yang dapat membahayakan hak-hak jamaah
(rakyat), dan mengatasi perselisihan yang terjadi antara rakyat dengan
individu di dalam struktur pemerintahan, baik ia seorang penguasa,
pegawai maupun pejabat pemerintah di bawah Khilafah (Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 109).
Peradilan
ini bisa ditangani sendiri oleh Khalifah atau Khalifah mengangkat orang
lain untuk menjalankannya. Kedua hal ini, masing-masing ada dalilnya
dalam as-Sunnah (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 117). Bahkan terdapat Ijmak Sahabat tentang ketetapan mengangkat para qadhi (hakim). Ibnu Qudamah berkata, “Kaum Muslim (para Sahabat) telah berijmak atas pensyariatan mengangkat para qadhi (hakim).” (Ibnu Qudamah, Al-Mughni, 11/373).
10. Kemaslahatan Umum.
Kemaslahatan
Umum (Struktur Administrasi) adalah struktur pelaksana pemerintahan,
yakni badan-badan pelaksana atas perkara-perkara yang wajib dilaksanakan
di dalam sebuah pemerintahan guna memenuhi kepentingan-kepentingan
masyarakat umum (Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 128).
Dalilnya adalah perbuatan (af’âl)
Rasulullah saw. dan Khulafaur Rasyidin dalam mengatur negara. Saat itu
urusan administrasi diurus dengan penuh sistematik. Untuk itu perlu ada
struktur guna mempermudah pengaturan dalam melaksanakan seluruh
kewajiban negara. Oleh karena itu, perlu adanya Departemen Pendidikan,
Kesehatan, Pekerjaan, Perhubungan, Pertanian dan sebagainya. Semua ini
kembali pada ijtihad dan kebijakan Khalifah mengenai apa dan berapa
jumlah Kemaslahatan Umum (Struktur Administrasi) yang
dibutuhkan untuk dapat menunaikan segala kewajiban negara dan memenuhi
kepentingan (maslahat) masyarakat umum (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 117; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 128).
11. Baitul Mal (Kas Negara).
Baitul
Mal (Kas Negara) merupakan sebuah badan yang bertanggung jawab atas
setiap pendapatan dan belanja negara yang menjadi hak kaum Muslim
(Zallum, Al-Amwâl fi Dawlah al-Khilâfah, hlm. 15). Baitul Mal
berada di bawah pengawalan Khalifah secara langsung atau di bawah
kawalan orang yang dilantik untuk mengurusinya. Rasulullah saw.
kadang-kadang menyimpan, memungut dan membagikan sendiri harta kaum
Muslim; kadang-kadang beliau mengangkat orang lain untuk menanganinya.
Begitu juga dengan Khulafaur Rasyidin sesudah beliau, yang kadang-kadang
mengurusi sendiri urusan Baitul Mal, dan kadang-kadang mengangkat orang
lain untuk mengurusinya.
Dalil tentang Baitul Mal ini sudah cukup banyak dan masyhur di dalam hadis dan Ijmak Sahabat (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 120; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 135).
12. Penerangan.
Penerangan
merupakan perkara penting bagi dakwah dan negara. Lembaga Penerangan
tidak termasuk badan yang melayan kepentingan masyarakat umum, tetapi
kedudukannya berhubungan langsung dengan Khalifah sebagai instansi yang
mandiri. Dalil dalam hal ini adalah al-Quran (QS an-Nisa’ [4]: 83) dan
as-Sunnah, di antaranya hadis penuturan Ibn Abbas mengenai pembebasan
Makkah: “Sungguh, tidak ada kabar sama sekali bagi kaum Quraiys.
Karena itu, tidak ada kabar kepada mereka tentang Rasulullah saw., dan
mereka tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh Beliau.” (HR Hakim dalam Al-Mustadrak).
Ini
menunjukkan bahwa Lembaga Penerangan yang terkait dengan kemanan negara
berhubung langsung dengan Khalifah atau struktur yang didirikan untuk
tujuan itu (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 121; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 143).
13. Majelis Umat.
Majlis
Umat (Majelis Syura) adalah majelis yang terdiri dari para individu
yang mewakili kaum Muslim dalam memberikan pendapat sebagai tempat
merujuk bagi Khalifah dengan meminta masukan mereka dalam berbagai
urusan. Majelis ini juga mewakili umat dalam melakukan muhâsabah (koreksi) terhadap Khalifah dan semua pegawai negara.
Keberadaan
Majelis Umat ini diambil dari aktivitas Rasulullah saw. yang sering
meminta pendapat sejumlah orang di antara kaum Muhajirin dan Anshar yang
mewakili kaum masing-masing; diambil dari perbuatan (af’âl)
khusus Rasulullah saw. terhadap beberapa orang tertentu di kalangan
Sahabat untuk meminta pendapatnya; serta diambil dari perbuatan para
Khulafaur Rasyidin yang sering meminta pendapat para ulama dan ahli
fatwa di kalangan mereka (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 121; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 147).
WalLâhu a’lam bish-shawâb. [Muhammad Bajuri]
Daftar Bacaan
Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah fi al-Hukm wa al-Idârah, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan I, 2005.
Ibnu Qudamah, Abdullah bin Ahmad al-Hanbali, Al-Mughni, (Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi), tanpa tahun.
An-Nabhani, Syaikh Taqiyuddin, Nizham al-Hukmi fi al-Islam, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan VI, 2002.
An-Nabhani, Syaikh Taqiyuddin, Nizham al-Al-Islam, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan VI, edisi 2010.
An-Nabhani, Syaikh Taqiyuddin, Muqaddimah ad-Dustûr aw al-Asbâb al-Mujîbah Lahu, Jilid I, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan II, 2009.
Zallum, Abdul Qadim, Al-Amwâl fi Dawlah al-Khilâfah, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan III, 2004.
Komentar
Posting Komentar