Kata az-zakâh dalam bentuk isim makrifat (dengan alî lâm) disebutkan sebanyak 29 kali di 29 ayat, semuanya dengan makna zakat yang kita kenal. Ibn Faris di dalam ash-Shâhibî fî Fiqh al-Lughah dan Imam as-Suyuthi didalam al-Muzhir menyebutkan bahwa orang arab sebelumnya tidak mengenal zakat kecuali dalam arti an-namâ’
(berkembang). Namun syariah mendatangkan makna baru dan mentransformasi
dari makna bahasanya kepada makna baru sehingga menjadi makna
syar’inya. Menurut Umar bin Muhammad bin Ahmad an-Nasafi, zakat harta
itu disebut zakat karena dengannya harta akan bersih dengan berkah dan
orang akan bersih dengan ampunan. Menurut syaikh Abdul Qadim Zalum di
dalam al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah, istilah syara’ zakat
mengandung kedua makna bahasanya (berkembang dan bersih). Karena
pengeluaran zakat itu menjadi sebab datangnya berkah pada harta atau
menjadi sebab banyaknya pahala dan akan membersihkan jiwa dari sifat
bakhil dan mensucikan diri dari dosa.
Adapun pengertian zakat secara syar’i, menurut Muhammad bin Abi al-Fatah al-Ba’li al-Hanbali di dalam al-Muthalli’,
zakat adalah sebutan untuk harta khusus yang dikeluarkan dengan
sifat-sifat khusus untuk kelompok yang khusus. Al-Jurjani di dalam at-Ta’rifât
mengartikan zakat adalah ungkapan tentang pewajiban (pengeluaran)
bagian tertentu dari harta pada harta tertentu bagi pemilik yang khusus.
Dr. Muhammad Rawas Qal’aji di dalam Mu’jam Lughah al-Fuqahâ’
mendefisikan zakat adalah pengeluaran bagian tertentu dari harta jika
sudah mencapai nishab terhadap pos-pos pembelanjaan tertentu yang telah
dinyatakan oleh asy-Syâri’. Sedangkan menurut Syaikh Abdul Qadim Zalum,
zakat secara syar’i adalah hak yang telah ditetapkan kadar/jumlahnya
yang wajib (dikeluarkan) pada harta-harta tertentu.
Zakat hukumnya wajib, merupakan
salah satu rukun islam dan merupakan ibadah. Wajibnya zakat didasarkan
pada al-Kitab, as-Sunnah dan Ijmak sahabat. Allah SWT berfirman:
وَآتُوا الزَّكَاةَ
Dan tunaikanlah zakat (QS. al-Baqarah [2]: 43, 83, 110)
Perintah itu bersifat tegas
berdasarkan indikasi bahwa orang yang menunaikan zakat akan mendapat
pahala besar dan balasan surga (QS al-Baqarah [2]: 277; an-Nisâ’
[4]:162). Dan banyak hadis menjelaskan bahwa orang yang enggan membayar
zakat akan mendapat azab yang pedih.
Ketika mengutus Muadz bin Jabal diutus ke Yaman, Rasul berpesan diantaranya:
… فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ فِى فُقَرَائِهِمْ …
Maka beritahukan kepada mereka
bahwa Allah mewajibkan atas mereka shadaqah (zakat), yang diambil dari
orang-orang kaya mereka dan dikembalkan pada orang-orang fakir mereka (HR Bukhari, Muslim, Abu Dawud, an-Nasai, at-Tirmidzi, Ibn Majah dan Ahmad, lafal menurut Muslim)
Zakat merupakan fardhu ‘ain atas
setiap orang muslim yang memiliki harta kena zakat yang sudah mencapai
nishabnya, kelebihan dari utangnya dan telah berlalu satu haul (satu
tahun qamariyah) -kecuali untuk zakat pertanian dan buah-buahan
dikeluarkan saat panen-. Zakat juga wajib atas harta anak kecil dan
orang gila.
Adapun harta yang di dalamnya diwajibkan zakat adalah:
Pertama, binatang ternak berupa Unta (al-ibil), Sapi (al-baqar) dan Kambing (al-ghanam). Abu Dzar menceritakan bahwa Nabi saw pernah bersabda:
مَا
مِنْ صَاحِبِ إِبِلٍ وَلاَ بَقَرٍ وَلاَ غَنَمٍ لاَ يُؤَدِّى زَكَاتَهَا
إِلاَّ جَاءَتْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْظَمَ مَا كَانَتْ وَأَسْمَنَهُ
تَنْطِحُهُ بِقُرُونِهَا وَتَطَؤُهُ بِأَظْلاَفِهَا كُلَّمَا نَفِدَتْ
أُخْرَاهَا عَادَتْ عَلَيْهِ أُولاَهَا حَتَّى يُقْضَى بَيْنَ النَّاسِ
Tidaklah pemilik Unta, tidak
pula pemilik sapi dan tidak pula pemilik domba/kambing, yang tidak
menunaikan zakatnya kecuali pada Hari Kiamat kelak datang yang lebih
besar dan lebih gemuk menginjaknya dengan kukunya dan menanduknya,
setiap kali yang terakhir selesai kembali lagi dari yang pertama hingga
diputuskan diantara manusia (HR Bukhari dan Muslim)
Unta, Sapi dan Kambing yang wajib
dizakati adalah yang digembalakan pada sebagian besar waktu dalam satu
haulnya. Sedangkan yang tidak digembalakan yakni yang dikandangkan, atau
dipekerjakan maka tidak wajib zakat. Dalam hal zakat hewan ternak ini
terdapat ketentuan rinci tentang nishab dan zakat yang harus dikeluarkan
dan telah dijelaskan rinci di dalam kitab-kitab fikih.
Kedua, hasil pertanian dan buah-buahan. Dalam hal ini yang wajib dizakati hanya empat jenis yaitu gandum (al-khinthah), jewawut/barley (asy-sya’îr), kurma (at-tamr) dan kismis (az-zabîb). Dari Abu Musa al-Asy’ari dan Muadz bin Jabal bahwa ketika keduanya diutus ke Yaman, Rasul bersabda kepada keduanya:
لاَ تَأْخُذَا فِي الصَّدَقَةِ إلاَّ مِنْ هَذِهِ اْلأَصْنَافِ اْلأَرْبَعَةِ: الشَّعِيرُ وَالْحِنْطَةُ وَالزَّبِيبُ وَالتَّمْرُ
Jangan kamu berdua ambil zakat kecuali dari empat jenis ini: jewawut, gandum, kismis dan kurma (HR al-Hakim, ath-Thabrani, ad-Daraquthni dan al-Baihaqi, al-Baihaqi berkata: para perawinya tsiqah dan (sanadnya) bersambung).
Lafal illâ (kecuali) dan didahului oleh huruf nafî atau nahî (dalam hadis ini lafal lâ
(jangan)) maknanya adalah pembatasan. Jadi hadis ini jelas hanya
membatasi zakat pertanian dan buah-buahan hanya pada empat jenis ini
saja. Disamping itu hadis ini dan hadis lain dalam kontek ini
menyebutkan kata al-khinthah, asy-sya’îr, az-zabîb dan at-tamr. Semuanya merupakan isim jamid, bukan sifat dan bukan ism ma’ân.
Lafal-lafal itu tidak mencakup selainnya baik secara manthuq, mafhum
maupun secara iltizâm. Dari lafal-lafal itu tidak bisa diambil makna
makanan pokok, bisa dikeringkan, bisa disimpan dan lainnya. Jadi zakat
pertanian dan buah-buahan hanya pada empat jenis itu dan selain
keempatnya tidak ada kewajiban zakat.
Nishab zakat pertanian ini adalah
jika jumlahnya mencapai lima wasaq atau lebih. Satu wasaq= 60 sha’, dan
satu sha’ = 4 mud. Jika diairi denga rair hujan zakatnya 10 % dan jika
dengan pengairan buatan zakatnya 5 %. Zakat pertanian dikeluarkan saat
panennya (QS al-An’âm [6]: 141) dan dalam bentuk komoditasnya.
Ketiga, zakat barang dagangan. Samurah bin Jundub berkata:
إِنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَأْمُرُنَا أَنْ نُخْرِجَ الصَّدَقَةَ مِنَ الَّذِى نُعِدُّ لِلْبَيْعِ
Sesungguhnya Rasulullah saw memerintahkan kami agar mengeluarkan zakat dari apa yang kami siapkan untuk dijual (HR Abu Dawud dan al-Baihaqi)
Nishab komoditas perdagangan ini
sama dengan nishab zakat atau perak. Jika sudah mencapai nishab salah
satunya maka dimulai hitungan haulnya. Setelah berlalu satu haul maka
wajib dikeluarkan zakatnya 2,5 %.
Keempat,
zakat uang, emas dan perak. Nishab emas atau dinar adalah 20 dinar
yaitu 85 gram emas. Nishab perak atau dirham adalah 200 dirham (595 gram
perak murni). Dan zakatnya sebesar 2,5 %.
Zakat ini disebutkan dengan lafal adz-dzahbu (emas), al-fidhah (perak), ar-riqqah, al-wariq, dirham dan dinar. Lafal ar-riqqah, al-wariq dan dirham
dalam bahasa arab hanya untuk menyebut dirham yang dicetak saja. Dan
lafal dinar hanya untuk menyebut dinar emas yang dicetak saja. Dirham
dan dinar yang dicetak itu adalah satuan mata uang dan satuan harga bagi
barang dan upah bagi jasa. Karenanya penyebutan zakat ar-riqqah, al-wariq,
dirham dan dinar juga menunjukkan zakat uang. Semua yang dijadikan
sebagai satuan mata uang maka itu memenuhi sifat dirham dan dinar
sebagai satuan mata uang dan standar harga. Karena itu di dalam semua
mata uang juga terdapat kewajiban zakat. Mata uang saat ini yang disebut
fiat money tidak diback up dengan emas maupun perak. Maka
nishabnya mengikuti nishab emas/ dinar atau nishab perak/dirham. Jika
sudah mencapai nilai salah satu dari nishab emas atau perak, maka di
dalamnya ada kewajiban zakat. Maka siapa yang memiliki uang senilai 20
dinar ( 85 gram emas murni) atau senilai 200 dirham (595 gram perak
murni), kelebihan dari utangnya, dan sudah berlalu satu haul, maka saat
itu wajib dikeluarkan zakatnya 2,5 % dari jumlah itu.
Harta zakat hanya didistribusikan
kepada delapan golongan yang disebutkan di dalam QS at-Tawbah [9]: 60,
yaitu: fakir, miskin, amil, mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan) budak, gharim, fî sabîlLlâh yaitu jihad fî sabîlLlâh, dan orang yang sedang dalam perjalanan (ibn as-sabîl). Hal itu karena Allah telah membatasinya dengan lafal innamâ, artinya hanya untuk delapan golongan itu saja. Jadi selain mereka tidak boleh menerima zakat. WaLlâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]
Catatan Kaki:
1 Lihat, Ibn Manzhur, Lisân al-‘Arab, bagian zakâ; Ibn Sayidih, al-Mukhashish, bagian az-zakâh; ar-Razi, Mukhtâr ash-Shihâh; Al-Azhari, Tahdzîb al-Lughah, bagian zakâ; Al-Khalil al-Farahidi, Kitâb al-‘Ayn; Abu Hafash Umar bin Muhammad bin Ahmad an-Nasafi, Thalabah ath-Thalabah, kitâb az-zakâh
Komentar
Posting Komentar