Pengantar
Negara Islam (Khilafah) adalah
negara kesatuan. Artinya, seluruh wilayah kekuasaan Khilafah merupakan
satu kesatuan kepemimpinan dan wilayah. Dalam negara Islam tidak ada
pemimpin ganda, dan tidak ada wilayah yang independen dari kekuasaan
pusat, sebagaimana dalam sistem pemerintahan federasi. Seluruh wilayah
dan rakyat yang hidup di dalam Negara Islam adalah satu dan dikendalikan
oleh kepemimpinan yang bersifat tunggal.
Dengan demikian, pemerintahan (al-hukm)
dalam Negara Islam berbentuk sentralisasi atau terpusat. Artinya,
pelaksanaan kekuasaan atau penerapan hukum-hukum hanya berada di tangan
orang yang telah diamanati oleh rakyat, yaitu Khalifah dan orang-orang
yang mewakilinya. Adapun idârah (administrasi)-nya bersifat desentralisasi.
Untuk mengetuhi lebih jelas kedua persoalan ini, Telaah Kitab kali ini akan membahas kitab Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam pasal 17, yang berbunyi: “Pemerintahan bersifat sentralisasi, sedangkan sistem administrasi bersifat desentralisasi.” (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 90).
Pemerintahan dalam Negara Islam
Pertama: arti pemerintahan (al-hukm). Pemerintahan (al-hukm) dalam al-Qâmûs al-Muhîth berasal dari kata: hakama yahkumu hukm[an] wa hukûmat[an], yang secara bahasa bermakna al-qadhâ’ (keputusan) dan at-tahkîm (ketetapan). Al-Hâkim (penguasa) adalah orang yang menjalankan keputusan (munaffidz al-hukmi). Adapun menurut istilah pemerintahan (al-hukm) adalah: lembaga kekuasaan tertinggi yang berwenang menentukan setiap arah kebijakan negara. (Al-Mallah, Hukûmat ar-Rasûl saw. Dirâsah Târikhiyah-Dustûriyah Muqâranah, hlm. 4).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata pemerintahan berasal dari kata dasar perintah yang mempunyai arti kata verbal atau bentuk dari kata kerja. Kata perintah secara
leksikal berarti perkataan yang bermaksud menyuruh; aba-aba atau
komando; atau aturan dari pihak atas yang harus dilakukan. Secara
definitif pemerintah adalah: sebuah sistem yang menjalankan wewenang
dan kekuasaan yang mengatur kehidupan sosial, ekonomi, dan politik
suatu negara atau bagian-bagiannya. Pemerintahan adalah: segala urusan yang dilakukan oleh negara dalam menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat dan kepentingan negara (Departemen Pendidikan dan Kebuda-yaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, hlm. 756).
Dalam Islam kata al-hukm, al-mulk dan as-sulthân
pengertiannya sama, yaitu otoritas yang berwenang menerapkan hukum,
atau aktivitas kepemimpinan yang diwajibkan syariah atas kaum Muslim
untuk menghilangkan kezaliman dan menyelesaikan pengsengketaan, yakni
kekuasaan yang berwenang untuk membuat keputusan (An-Nabhani, Nizamul Hukmi fi Al-Islam, hlm. 15; Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 91). Dengan demikian, di dalam Negara Islam pemerintahan inilah yang secara riil mengurusi langsung semua urusan rakyat.
Pengertian pemerintahan (al-hukm) dalam Negara Islam di atas didasarkan pada sabda Rasulullah saw.:
وَلاَ يَحِلُّ لِثَلاَثَةِ نَفَرٍ يَكُوْنُوْنَ بِأَرْضِ فُلاَةٍ إِلاَّ أَمَّرُوْا عَلَيْهِمْ أَحَدَهُمْ
Tidak halal bagi tiga orang yang sedang
berada di tanah lapang (dalam perjalanan), kecuali mereka menjadikan
salah seorang dari mereka menjadi pemimpinnya (HR Ahmad).
Dasar lainnya antara lain adalah firman Allah SWT berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul serta ulil amri di antara kalian (QS an-Nisa’ [4]: 59).
Kedua: pemerintahan dalam Negara Islam bersifat sentralisasi (al-markaziyah). Dalam hal ini, Asy-Syâri’
(Pembuat syariah) telah menjadikan pemerintahan ada di tangan khalifah
atau pemimpin yang telah dipilih dan dibaiat oleh umat. Saat umat telah
memilih dan membaiat seorang pemimpin atau khalifah, maka jadilah
khalifah atau pemimpin itu sebagai pihak yang memiliki otoritas dalam
pemerintahan, artinya pemerintahan ada di tangan khalifah atau pemimpin
tersebut, bukan di tangan orang lain, karena umat telah memberikan
pemerintahan kepadanya (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 91).
Selain itu, kata ahad[un] dalam hadis riwayat Ahmad di atas menunjukkan pada bilangan satu, tidak lebih. Hal ini dipahami dari mafhum muhafah-nya. Mafhum muhafah dalam bilangan dan sifat diamalkan tanpa perlu ketetapan nash lain. Misalnya firman Allah SWT:
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ
Katakanlah, “Dia-lah Allah Yang Maha Esa (QS al-Ikhlash [112]: 1).
Ayat ini dengan kata ahad-nya menunjukkan bahwa Allah itu hanya satu, tidak ada duanya. Untuk menetapkan bahwa Allah itu tidak ada duanya tidak membutuhkan ketetapan nash lain.
Hal ini menegaskan bahwa di
dalam Negara Islam, yang memiliki otoritas menerapkan hukum hanya satu
orang saja, tidak boleh lebih. Dengan demikian, pemerintahan (al-hukm)
dalam Negara Islam bersifat sentralisasi atau terpusat. Artinya,
pelaksanaan kekuasaan atau penerapan hukum hanya berada di tangan orang
yang telah diamanati oleh rakyat, yaitu Khalifah dan orang-orang yang
mewakilinya (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 91).
Administrasi dalam Negara Islam
Pertama: pengertian al-idârah (administrasi). Kata al-idârah (administrasi) merupakan mashdar (infinitif) dari kata adâra asy-syay’a yudîruhu idârat[an], yang artinya mengatur atau menjalankan sesuatu (al-Qabathi, Ushûlul Idârah asy-Syar’iyah, hlm. 7). Arti ini pula yang digunakan dalam firman Allah SWT:
إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ
(Tulislah muamalah kalian itu), kecuali jika muamalah itu berupa perdagangan tunai yang kalian jalankan di antara kalian (QS al-Baqarah [2]: 282).
Adapun pengertian al-idârah
(administrasi) menurut istilah, terdapat banyak pakar yang
mendefinisikannya. Namun, dari sekian banyak definisi, baik administrasi
dalam arti luas dan sempit, maupun administrasi dalam arti
institusional, fungsional dan proses, semuanya bermuara pada satu
pengertian, yaitu:
الإِدَارَةُ هِيَ وَسِيْلَةٌ لِتَحْقِيْقِ غَايَاتٍ مُحَدَّدَةٍ
Administrasi (al-idârah) adalah sarana untuk pencapaian tujuan-tujuan yang ditentukan” (Al-Asy’ari, Muqaddimah fi al-Idârah al-Islâmiyah, hlm. 39).
Dengan demikian, lembaga atau
perorangan yang aktivitasnya membantu khalifah, wali dan amil dalam
mewujudkan tujuan-tujuan penerapan syariah ini adalah termasuk al-idârah (administrasi), bukan pemerintahan (al-hukm) yang menerapkan hukum (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 91).
Kedua: al-idârah (administrasi) dalam Negara Islam bersifat desentralisai (al-lâmarkaziyah). Dalam hal ini berbeda antara pemerintahan (al-hukm) dan administrasi (al-idârah). Perbedaan ini tampak dalam dua hadis berikut:
Diriwayatkan bahwa Imran bin
Hushain pernah dijadikan amil untuk urusan zakat. Ketika ia kembali, ia
ditanya, “Di mana harta itu?” Ia berkata, “(Maksudnya) harta, di mana
untuk itu engkau telah mengutus aku? Kami telah mengambilnya seperti
kami dulu mengambilnya pada masa Rasulullah saw. Kemudian kami
membaginya seperti kami dulu membanginya pada masa Rasulullah saw.” (HR
Ibnu Majah).
Busri bin Said, dari Ibnu Saidi al-Maliki, berkata:
Umar bin Khattab ra. pernah memperkerjakan
aku untuk urusan zakat. Setelah semuanya beres, aku menyerahkan
kepadanya. Lalu Umar menyuruh aku agar mengambil upahnya. Aku berkata,
“Sungguh aku bekerja ini karena Allah sehingga upahku biar Allah yang
memberinya.” Umar berkata, “Ambillah apa yang telah diberikan kepadamu.
Sungguh aku pernah bekerja pada masa Rasulullah saw., lalu beliau
memberi aku upah. Kemudian aku pun berkata seperti perkataanmu. Lalu
Rasulullah saw. bersabda kepadaku, “Apabila kamu diberi sesuatu tanpa
meminta maka makanlah dan sedekahkanlah.” (HR Muslim).
Dalam hadis pertama, Imran bin
Hushain adalah hakim (penguasa) yang menerapkan hukum Allah. Dalam
hadits kedua, Busri bin Said adalah pegawai yang menjadi pelaksana
aktivitas bukan yang menerapkan hukum Allah sehingga aktivitasnya tidak
termasuk pemerintahan (al-hukm), melainkan al-idârah, administrasi (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 93).
Dengan demikian, bagi seorang penguasa, terkait persoalan administrasi (al-idârah) tidak
perlu ada pengangkatan, dan tidak perlu menunggu perintah orang yang
mengangkat-nya. Sebab, ketika ia diangkat sebagai penguasa, maka ia
telah diberi otoritas untuk menggunakan cara dan sarana apapun yang ia
inginkan yang menurut dia penting. Yang jelas bahwa administrasi dalam Negara Islam dibangun berdasarkan falsafah: “Wa in kâna dzû ‘usrat[in] fanadhirat[un] ila maysarah (Jika ada orang yang sedang kesulitan maka berusahalah untuk memudahkanya).”
Dengan demikian sifat administrasi (al-idârah)
itu adalah untuk memudahkan urusan. Oleh karena itu, strategi yang
dijalankan dalam rangka mengurusi masalah administrasi ini dilandasi
oleh suatu kaidah: “Sederhana dalam Peraturan, Cepat dalam Pelayanan, Profesional dalam Penanganan”.
Hal ini diambil dari realitas pelayanan terhadap kepentingan. Sebab,
orang yang berkepentingan umumnya menginginkan pelayanan yang cepat dan
memuaskan. Rasulullah saw. bersabda:
إِنَّ اللهَ
كَتَبَ الْإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا
الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَ
Allah memerintahkan berlaku baik (ihsân)
dalam segala hal. Jika kalian membunuh, lakukan pembunuhan itu dengan
baik. Jika kalian menyembelih, lakukan penyembelihan dengan baik pula (HR Muslim).
Berdasarkan hadis di atas, melaksanakan
pekerjaan dengan baik dan sempurna jelas merupakan perintah syariah.
Agar kebaikan dan kesempurnaan itu terwujud dalam menunaikan suatu
urusan, maka harus terpenuhi tiga hal berikut dalam penanganannya. Pertama:
kesederhanaan dalam aturan, karena kesederhanaan itu akan memberikan
kemudahan dan kepraktisan. Sebaliknya, aturan yang rumit akan
menimbulkan kesulitan. Kedua: kecepatan dalam pelayanan, karena hal itu dapat mempermudah urusan orang yang berkepentingan. Ketiga:
pekerjaan itu ditangani oleh orang yang mampu dan professional. Dengan
begitu semuanya dijalankan dengan baik dan sempurna seperti yang
diinginkan (Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah fi al-Hukm wa al-Idârah, hlm. 133).
Dalam rangka memenuhi prinsip-prinsip kemudahan inilah, maka sistem
administrasi dalam Negara Islam tidak bersifat sentralistik, yang
ditentukan semuanya oleh pusat, melainkan bersifat desentralisasi, atau
diserahkan kepada masing-masing penguasa wilayah. Dengan demikian,
dengan ketentuan pasal 17 ini, di dalam Negara Islam (Khilafah) tidak
akan ditemukan peraturan yang bertentangan antara pusat dan daerah,
serta kekacauan terkait pemilihan kepala daerah; setiap kemaslahatan
akan dapat diselesaikan dengan cepat dan dalam waktu singkat, tanpa
harus menunggu disposisi dan keputusan dari atas atau pusat. WalLâhu a’lam bi ash-shawâb.[]
Daftar Bacaan
Al-Asy’ari, Ahmad bin Dawud al-Mazjaji, Muqaddimah fi al-Idârah al-Islâmiyah, (Jeddah: Tanpa Penerbit), Cetakan I, 2000.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka), Cetakan IV, edisi II, 1995.
Fairuzabadi, Muhammad bin Ya’kub bin Fadhlullah, Al-Qâmûs al-Muhîth, (Beirut: Muassasah ar-Risalah), 1993.
Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah fi al-Hukm wa al-Idârah, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan I, 2005.
Al-Mallah, Dr. Hasyim Yahya, Hukûmat ar-Rasûl saw. Dirâsah Târikhiyah-Dustûriyah Muqâranah (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah), Cetakan I, 2009.
An-Nabhani, Asy-Syaikh Taqiyuddih, Muqaddimah ad-Dustûr aw al-Asbâb al-Mujîbah Lahu, Jilid I, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan II, 2009.
An-Nabhani, Asy-Syaikh Taqiyuddih, Nizham al-Hukmi fi al-Islam, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan VI, 2002.
Al-Qabathi, Muhammad Abduh Muhammad Basyar, Ushûl al-Idârah asy-Syar’iyah, (Bayt ats-Tsaqafah), Cetakan I, 2003.
Komentar
Posting Komentar