Biospesimen : Aspek Kepemilikan dan Pemanfaatan Serta Hak Patennya Menurut Hukum Islam


Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi, S.Si, MSI**

Pendahuluan

Biospesimen adalah spesimen laboratorium biologis yang dimiliki oleh biorepositori untuk tujuan riset. Biospesimen ini selanjutnya disimpan dalam suatu tempat penyimpanan bahan biologis yang disebut biobank.
Biospesimen ini mencakup struktur subseluler (seperti DNA), sel, jaringan (misal darah, tulang, otot), organ (misal jantung, ginjal, plasenta), gamet (sperma dan sel telur), embrio, jaringan janin, dan limbah (seperti rambut, urin, feses).
Dalam riset dan pemanfaatan biospesimen tersebut, sering timbul pertanyaan atau kontroversi menyangkut berbagai hal berkait dengan aspek kepatutan (etik) dan norma hukum. Misalnya, tumor itu sebenarnya sampah atau property? Bolehkah tumor atau kanker itu daripada dibuang dan dikubur, disetor saja ke bank jaringan atau bank tumor? Masalahnya adalah, setelah disetor ke bank tumor, diadakan penelitian sampai akhirnya ditemukan obat-obatan untuk tumor tersebut dan penelitinya mendapat HAKI atau hak paten. Lalu apakah yang punya tumor itu mendapat royalti?

Sebelum menjawab masalah itu, perlu dipahami bahwa persoalan etik atau hukum bukanlah persoalan empiris yang sifatnya objektif dan universal, melainkan persoalan normatif yang sifatnya subjektif dan unik, yaitu tergantung pada persepsi masing-masing mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk.


Dalam masyarakat muslim, sudah seharusnya standar normatif yang digunakan adalah Syariah Islam (Hukum Islam), bukan standar manfaat (utilitarianism) sebagaimana masyarakat Barat yang non muslim. Kaidah hukum Islam menetapkan : al-hasanu maa hassanahu as-syar’u wa al-qabiihu maa qabbahahu as-syar’u (perbuatan yang baik/terpuji adalah perbuatan yang dinilai baik oleh Syariah Islam, sedang perbuatan buruk/tercela adalah perbuatan yang dinilai buruk oleh Syariah Islam. (Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nizham Al-Ijtima’i fi Al-Islam, hlm. 140).
Tulisan ini bertujuan menjelaskan hukum Islam mengenai kepemilikan dan pemanfaatan biospesimen dan hak patennya.


Kepemilikan dan Pemanfaatan Biospesimen


Kepemilikan adalah dasar pemanfaatan. Dengan kata lain, pemanfaatan sesuatu adalah cabang (atau implikasi) dari kepemilikan sesuatu. Barangsiapa memiliki, maka dia berhak memanfaatkan, sebaliknya barangsiapa tidak memiliki, tidak berhak memanfaatkan.
Ini adalah salah satu dasar umum dalam hukum Islam mengenai pemanfaatan sesuatu (at-tasharruf), yang didasarkan pada konsep kepemilikan (al-milkiyyah). Dalam hukum Islam berlaku kaidah bahwa barangsiapa memiliki sesuatu, berarti dia memiliki hak untuk memanfaatkan sesuatu itu dalam batas-batas yang dibolehkan Syariah Islam. (Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam, hlm. 123).
Siapakah yang memiliki biospesimen? Kepemilikan biospesimen pada dasarnya adalah milik individu sumber spesimen, karena spesimen itu diambil dari tubuhnya atau bagian dari tubuhnya. Dan oleh karena itu, pemilik spesimen berhak memperoleh kompensasi harta jika ada pihak lain yang akan memanfaatkan bagian tubuhnya.


Dalil-dalil syariah telah menunjukkan bahwa kepemilikan biospesimen ada di tangan individu sumber biospesimen. Sabda Nabi SAW,”Barangsapa tertimpa musibah pembunuhan atau penganiayaan fisik, dia berhak memilih salah satu dari tiga pilihan; menuntut qishash, mengambil diyat, atau memaafkan.” (HR Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah). (Imam Syaukani, Nailul Authar, hal. 1405).
Menurut Syaikh Abdul Qadim Zallum, berdasarkan hadits di atas, kalau misalnya seseorang matanya tercongkel akibat perbuatan orang lain, dia berhak mengambil tebusan (diyat) atau memaafkan orang itu. Jika memaafkan, berarti dia menyumbangkan tebusan, yang artinya dia mempunyai hak milik atas tebusan. Adanya hak milik atas tebusan, artinya ada hak milik atas organ tubuh yang disumbangkan dalam bentuk tebusan. Ringkasnya, bolehnya memaaafkan artinya ada kepemilikan atas organ tubuh. (Abdul Qadim Zallum, Hukm al-Syar’i fi al-Istinsakh, hal. 9).


Jadi, kepemilikan biospesimen pada dasarnya adalah milik individu sumber spesimen, karena spesimen itu diambil dari tubuhnya atau bagian dari tubuhnya. Terkecuali apabila sumber biospesimen menyatakan telah membuangnya, maka spesimen itu boleh dimiliki dan dimanfaatkan oleh pihak lain.
Berdasarkan adanya hak milik pada individu sumber spesimen tersebut, maka dengan demikian individu sumber spesimen itu berhak memperoleh kompensasi harta jika ada pihak lain yang akan memanfaatkan spesimen dari tubuhnya. Hal itu karena makna kepemilikan adalah tetapnya hak pemanfaatan dan sekaligus juga hak mendapat kompensasi harta (‘iwadh) dari apa yang dimiliki. (Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam, hlm. 123).


Namun demikian, jika biospesimen diambil dari individu yang sudah meninggal, menurut kami hukumnya haram hukumnya mengambil spesimen dari individu tersebut, baik individu itu mewasiatkan atau tidak, walaupun pihak keluarga (ahli waris) memberi izin. Kecuali jika individu itu adalah non muslim.
Haramnya mengambil spesimen (misalnya matanya, jantungnya, dsb) dari mayat dikarenakan 2 (dua) alasan sebagai berikut;


Pertama, ketika seseorang meninggal, sudah hilang hak miliknya atas apa pun, baik atas hartanya sendiri, atas tubuhnya, atau atas isterinya. Buktinya, jika seseorang meninggal, secara syariah hartanya wajib diwariskan. Ini menjadi dalil bahwa mayat tak punya hak milik lagi atas hartanya. Demikian juga secara syariah, tubuhnya wajib dikuburkan. Ini artinya mayat tak punya hak milik lagi atas tubuhnya. Dan juga secara syariah, setelah kematian seseorang (misal laki-laki), istrinya wajib menjalani masa iddah dan jika masa iddah selesai istri boleh nikah lagi. Ini artinya mayat itu sudah kehilangan hak miliknya atas istrinya.
Maka dari itu, jelas bahwa dalam syariah Islam orang yang meninggal tidak boleh lagi melakukan tasharruf (perbuatan hukum) atas tubuhnya, misalnya mendonorkan atau berwasiat kepada ahli warisnya mendonorkan organ tubuhnya. Wasiat ini tidak sah secara syariah, karena merupakan wasiat atas sesuatu yang tidak lagi dimiliki. Demikian pula pihak keluarga si mayat juga tidak berhak memberikan izin kepada pihak lain melakukan tasharruf terhadap tubuh atau organ mayat, misalnya memanfaatkan tubuh atau bagian tubuh mayat. Kaidah fiqih menyatakan : Man laa yamliku at-tasharrufa laa yamliku al-idzin fiihi. (Barangsiapa tidak berhak melakukan tasharruf (perbuatan hukum), tidak berhak pula dia memberikan izin kepada pihak lain untuk melakukan tasharruf). (Az-Zarkasyi, al-Mantsur fi al-Qawa’id, 3/211; M. Shidqi al-Burnu, Mausu’ah al-Qawa’id al-Fiqhiyah, 11/1081; Hasan Ali al-Syadzili, Hukm Naql A’dha` Al-Insan fi Al-Fiqh al-Islami, 109).


Kedua, mayat mempunyai kehormatan yang wajib dijaga. Yaitu tidak boleh dilkai atau dianiaya, misalnya dibedah, dicincang, dicongkel matanya, dipenggal kehernya, dan sebagainya. Sabda Nabi SAW,“Memecahkan tulang mu`min yang sudah mati, sama dengan memecahkannya saat dia hidup.” (Arab : kasru ‘azhmi al-mu`min maytan mitslu kasrihi hayyan.) (HR Ahmad, no 23172 & no 25073; Malik, Al-Muwathha`, 2/227; Ad-Daruquthni, 8/208; Ibn Hajar, Fathul Bari, 14/297; at-Thahawi, Musykil Al-Atsar, 3/281; Al-Albani, Shahih wa Dhaif Al-Jami’ Ash-Shaghir, 9/353).
Berdasarkan dua alasan syariah di atas, haramnya mengambil spesimen dari mayat, Namun, keharaman ini hanya untuk mayat muslim. Sedang jika mayatnya non-muslim, hukumnya boleh. Sebab hadis di atas mempunyai mafhum mukhalafah (pengertian sebaliknya secara implisit), yaitu memecahkan tulang bukan orang mu`min, tidak sama dengan memecahkannya saat dia hidup.

Hak Paten


Fakta menunjukkan bahwa setelah biospesimen disimpan di suatu bio-bank (biorepositorium), akan diadakan penelitian sampai akhirnya ditemukan obat-obatan untuk suatu spesimen (misal tumor). Penelitinya lalu mendapat HAKI atau hak paten atas penelitiannya itu. Bagaimanakah pandangan Syariah Islam terhadap fakta ini?


Bagi seorang peneliti atau penemu yang menghasilkan berbagai karya penemuan (ikhtiraa`aat), Syariah Islam secara umum memberikan 5 (lima) hak-hak syariah sebagai berikut :
Pertama, haq al-bai’, yakni peneliti berhak memperdagangkan hasil penelitiannya itu dalam skala industri.
Kedua, haq an-nisbah, yakni peneliti diberi hak penisbatan, dalam pengertian karya atau penemuan ilmiah hanya dihubungkan dengan si peneliti saja sebagai penggagas atau penemu (inventor), tidak boleh diklaim sebagai penemuan oleh pihak lain.
Ketiga, haq at-ta’diil, yakni peneliti diberi hak untuk melakukan revisi atas karyanya itu, dan tidak dibolehkan ada pihak lain yang merevisinya.
Keempat, haq man’u at-taghyir, yaitu peneliti berhak melarang pihak lain untuk mengubah/memodifikasi hasil penemuannya sedemikian rupa sehingga dapat merusak reputasi peneliti.
Kelima, haq as-sahb, yaitu hak peneliti untuk menarik penarikan karyanya yang telah beredar dengan memberikan ganti rugi kepada pihak yang dirugikan. (Lihat Ziyad Ghazal, Masyru’ Qanun A’l-Buyu’ fi Ad-Daulah Al-Islamiyyah, ‘Amman : Darul Wadhdhah, hlm. 126-127).


Namun demikian, Syariah tak hanya memperhatikan kepentingan peneliti/penemu, namun juga memperhatikan kepentingan dari pihak yang telah memanfaatkan suatu hasil penelitian atau penemuan.
Pihak yang telah membeli suatu hasil penemuan/penelitian, tidak hanya berhak memanfaatkannya untuk diri sendiri. Melainkan juga berhak memanfaatkan secara luas dalam bentuk-bentuk lain, selama tidak melanggar hukum syariah, misalnya menggandakan (suatu buku/literatur) misalnya, atau memberikan/membagikan secara gratis kepada pihak lain, mengajarkan kepada mahasiswa atau masyarakarat, dsb. Dengan satu syarat, bahwa pemanfaatan oleh pengguna tersebut tidak boleh bermaksud memperdagangkan (al-istighlaal tijaariyan), melainkan hanya memanfaatkan (al-intifaa’) secara luas.
Bolehnya memanfaatkan secara luas selama tidak melangar syariah, karena hasil penelitian atau penemuan hakikatnya adalah ilmu, yang merupakan hak masyarakat luas dan menyembunyikan ilmu adalah suatu hal yang diharamkan oleh Islam. Sabda Rasulullah SAW: “Barangsiapa yang menyembunyikan ilmu yang dia ketahui, maka Allah akan mengekangnya pada Hari Kiamat nanti dengan tali kekang dari api neraka.” (Hadits shahih).


Namun penemuan itu meski hakikatnya adalah ilmu, namun ada unsur usaha/upaya (al-juhdu, effort) dari peneliti. Padahal suatu usaha manusia dalam pandangan Syariah mempunyai nilai secara finansial.
Maka dari itu, pemanfaatan oleh pengguna dibatasi dengan suatu syarat, yaitu tidak boleh dimaksudkan untuk memperdagangkan atau membisniskan hasil penelitian itu. Misalnya, memfotokopi buku/literatur/jurnal untuk kepentingan sendiri, memang boleh secara syariah. Tapi memfotokopi suatu buku/literatur/jurnal dalam jumlah banyak untuk dijual kembali dengan mendapatkan laba, haram hukumnya. Karena perbuatan ini merupakan tindakan memanfaatkan harta orang lain untuk mencari keuntungan tanpa seijin pemilik aslinya. (Lihat Ziyad Ghazal, Masyru’ Qanun A’l-Buyu’ fi Ad-Daulah Al-Islamiyyah, ‘Amman : Darul Wadhdhah, hlm. 132). Wallahu a’lam.
= = =

*Makalah disampaikan dalam Simposium Biorepositorium Nasional I, diselenggarakan oleh Universitas YARSI, Jakarta, Rabu, 27 Nopember 2013.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kekhawatiran Barat akan bangkitnya Ideologi Islam

Struktur Negara Khilafah