Ekonomi Indonesia Terpuruk (seri Indonesia Terancam Neo liberalisme dan Neo imprealisme)

Oleh : Mochamad Fajrin Ramdani

Setelah sejak akhir 1960-an Indonesia melakukan "pembangunan" berdasarkan model kapitalisme dengan ditandai pembangunan berbasis utang dan hanya menitikberatkan pada pendapatan dari ekspor minyak bumi. Inilah diantara faktor-faktor utama yang menimbulkan ketidakstabilan di dalam perekonomian Indonesia.

Tiba-tiba pada 1986 harga minyak dunia anjlok. Jika selama beberapa tahun sebelumnya harga berada diatas US$25 per barel, bahkan pada paruh pertama periode perang Irak-Iran harga berada pada kisaran US$28 hingga US$ 38 per barrel, maka pada periode 1986 harga minyak mendadak anjlok hingga ke tinggat US$ 11 per barrel. Akibatnya, pendapatan negara seperti Indonesia dari produksi minyaknya yang relatif rendah (sedikit diatas 1 juta barrel/hari) menurun drastis. Kemudian pemerintah berupaya mengatasi kekurangan devisanya dengan mengundang masuk para investor asing melalui liberalisasi sektor keuangan dan perbankan yang sepenuhnya bercorak kapitalisme.

Strategi liberalisasi sektor perbankan memunculkan lebih dari 200 buah bank-bank baru. Agar dana-dana asing benar-benar mengalir masuk ke Indonesia, ditetapkan tingkat suku bunga yang menarik yang jauh lebih tinggi dari tingkat suku bunga yang beredar di pasar uang luar negeri, khususnya Amerika Serikat.
Paralel dengan berbagai upaya pada sektor perbankan, disusun pula peraturan-peraturan guna menggairahkan pasar saham yang sangat spekulatif. Melalui celah-celah inilah para investor (spekulan) asing berbondong-bondong masuk menanamkan uangnya. Tidak hanya itu, bahkan para konglomerat pun memanfaatkan peluang ini dengan melakukan pinjaman dalam mata uang dollar Amerika dari lembaga-lemabaga keuangan luar negeri yang berbunga rendah, lalu dikonversikan ke rupiah dan sebagiannya "ditanamkam" di bank-bank dalam negeri yang berbunga jauh lebih tinggi. Dengan hanya "ongkang-ongkang kaki", mereka dapat mengeruk keuntungan dari selisih bunga tersebut.
Maka lihatlah akibatnya! tiba-tiba terjadi krisis moneter yang dimulai dari Thailand pada pertengahan 1997 dan mengimbas ke negara-negara Asia lainnya hingga sampai ke Indonesia. Ketika waktunya telah matang dan terjadi masalah dalam neraca transaksi berjalan pemerintah Indonesia, ketika para spekulan itu memprediksi pemerintah Indonesia tidak akan mampu meladeni mereka dalam perjudian nilai mata uang rupiah kontra dollar Amerika, mereka pun menyikat habis peluang tersebut dengan melepas rupiah yang mereka genggam dan memborong dollar yang tersedia di pasar uang tanpa dapat diimbangi dengan suplai dollar yang memadai ke pasar uang oleh Bank Indonesia. Akibatnya kurs rupiah terguncang hebat dan bergerak turun naik secara ekstrim seakan sedang bermain roller coaster.

Akibat perubahan kurs rupiah terhadap dollar Amerika, para konglomerat pun tiba-tiba mendapati utangnya dalam nilai dollar menjadi berlipat-lipat jika dikonversi ke mata uang rupiah, sementara pendapatan mereka hanyalah dalam nilai rupiah. Mereka, seperti halnya pemerintah, terjebak di dalam utang yang menggunung dan serta merta mendapati dirinya berada di tepi jurang kebangkrutan. Indonesia pun kembali terpuruk menjadi salah satu negara termiskin di dunia dengan segenap implikasi sosial politiknya dan secara teknis sudah terhitung bangkrut.
Seakan belum juga memehami hakekat dari persoalan yang dihadapi, pemerintah (sesuai paradigma pembangunan berbasis kapitalisme) memutuskan untuk menalangi dana-dana pelanggan perbankan yang kolaps sekaligus menyediakan dana bagi proses penyehatan bank-bank yang tengah berada ditepi jurang kehancuran melalui mekanisme bantuan likuiditas seperti tahun 1998 (BLBI) dan 2009 (Bank Century). Kebutuhan dana yang tak alang kepalang besar ini diperoleh dari utang melalui penerbitan surat utang/obligasi negara. Sementara sektor swasta juga menerapkan strategi yang sama, menerbitkan surat utang atau mengubah utang menjadi saham, secara tiba-tiba kita menyaksikan sejumlah perusahaan swasta berubah menjadi milik orang asing.

Selain itu, guna membiayai kebutuhan anggarannya, pemerintah terpaksa mengemis utang kepada IMF (international Monetary Fund). Dengan prinsip kapitalisme, IMF sendiri pun memanfaatkan kesempatan di dalam kesempitan ini guna semakin keras menghisap "darah" pemerintah Indonesia dengan meminta "komisi" yang luar biasa tingginya. Juga karena IMF sendiri merupakan representasi dari sejumlah negara lintah darat (kapitalis) yang berfungsi untuk menjamin agar sistem keuangan dan perdagangan internasional berjalan dengan baik, maka tak heran jika lembaga lintah darat raksasa ini lebih memikirkan cara-cara agar pemerintah dan sektor swasta Indonesia dapat membayar utangnya kepada kreditur negara-negara dan lembaga-lembaga keuangan barat daripada melindungi rakyat Indonesia dari kemeralatan. Lembaga ini juga dengan sangat licik menetapkan persyaratan yang mewajibkan pemerintah Indonesia meliberalisasi (membuka) pasar domestiknya bagi opersi perusahaan-perusahaan dan produk-produk negara Barat.

Di dalam sistem ekonomi kapitalisme, para kreditur tidak saja memungut bunga atas utang yang merupakan suatu keniscayaan, tetapi juga menetapkan suatu kewajiban bagi pengutang untuk membayar "biaya komitmen" kepada kreditur selama utang itu belum dicairkan. walhasil, pengutang belum mendapatkan manfaat apapun dari utangnya itu, tetapi ia telah dihadapkan pada suatu kewajiban yang sangat memojokkannya. Didalam sistem kapitalisme, penundaan pencairan utang dipandang sebagai suatu perbuatan yang merugikan pemberi utang, sehingga layak menimpakan konsekuensinya kepada kepada pihak yang telah berjanji untuk berhutang. Sebagai contoh tahun 2005 pemerintah Indonesia harus membayar biaya komitmen kepada para kreditur sebesar US$ 8,1 juta atau sekitar Rp. 79,5 milyar atas utang-utang yang belum dicairkannya itu. Demikianlah hal ini terjadi setiap tahun. Maka betapa dahsyatnya kezaliman sistem kapitalisme itu.

Akhirnya, Indonesia pun terjerat ke dalam jebakan utang, selalu mencari utang baru guna membayar cicilan utang dan bunganya, dan celakanya jumlah bunga yang harus dibayar setiap tahun semakin bertambah, sehingga menyisakan uang yang semakin sedikit yang dapat digunakan untuk melakukan pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat.

Selanjutnya, agar perekonomian dapat terus berjalan, diperlukan kurs rupiah yang stabil. Maka demi menjaga stabilitas kurs rupiah diperlukan keseimbangan antara pasokan dan permintaan atas dollar. Tugas pemerintah (Bank Indonesia) adalah pada sisi pasokan dollar. Pada sisi ini, pemerintah mengandalkan posakan dollar terutama dari hasil ekspor para pengusaha Indonesia, masuknya investor asing dan utang luar negeri, dimana ketiga sumber ini diharapkan akan menukarkan dollar yang mereka pegang ke dalam mata uang rupiah.

Akan tetapi para eksportir asal Indonesia sendiri justru menjadi salah satu titik lemah dalam mata rantai sistem moneter Indonesia. Hal ini karena para kapitalis itu enggan menukarkan mata uang dollar hasil ekspor mereka ke dalam rupiah, bahkan menyimpan uangnya dalam mata uang asing, sehingga tidak membantu upaya stabilitas rupiah. Akibatnya, pemerintah semakin bergantung pada dua sumber lainnya, yaitu masuknya investor asing dan berutang kepada kreditur asing sehingga sistem moneter negeri ini semakin rentan terhadap spekulan mata uang dan saham dan semakin cenderung tidak stabil.

Di sis lain, investor asing tidak akan masuk dan para kreditor asing juga tidak akan meminjamkan uangnya kepada pemerintah, jika mereka melihat adanya kelemahan di dalam kinerja pemerintah, dimana salah satu indikatornya adalah kemampuan pemerintah membayar cicilan utang dan bunganya. Maka agar nampak memiliki kemampuan membayar utang, pemerintah terpaksa secara terus menerus mengurangi porsi anggaran bagi pelayana masyarakat, menghapus subsidi berbagai komoditas strategis, mengobral asset miliknya, menaikkan pajak dan melakukan berbagai tindakan kalap lainnya serta lebih memilih untuk mengamankan anggarannya bagi pembayaran utang dan bunganya. Jadi, yang sesungguhnya terjadi adalah proses pemelaratan masyarakat, pembesaran ketimpangan antara orang-orang kaya dan orang-orang miskin, serta pengalihan kekayaan negeri ini kepada pihak-pihak asing. sehingga dapat disimpulkan kebijakan kapitalisme pemerintah telah menciptakan suasana neoliberalisme dan mengakibatkan neoimprealisme.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kekhawatiran Barat akan bangkitnya Ideologi Islam

Struktur Negara Khilafah