Hukum Syara’ Tentang Pemilu


Secara aktivitas, maka proses memilih wakil dalam pemilu dalam sudut pandang Islam adalah akad Wakalah (perwakilan). Dimana harus ada pemenuhan atas rukun-rukunnya agar sempurna suatu akad wakalah tersebut.
Rukun-rukun wakalah adalah adanya
1.       Muwakkil atau yang mewakilkan suatu perkara
2.       Wakil, yaitu orang yang menerima perwakilan
3.       Shighat at-tawkil atau redaksional perwakilan, dan
4.       Al-umuur al-muawakkal biha atau perkara yang diwakilkan
Di dalam konteks memilih wakil untuk urusan rakyat, maka yang perlu dicermati adalah rukun keempat, yaitu perkara yang diwakilkan. Karena, syarat perkara yang boleh diwakilkan hanyalah perkara yang syar’I (dibolehkan dalam syaria’t). wakil rakyat yang dipilih oleh masyarakat mempunyai tiga fungsi pokok, yaitu:
·         fungsi legislasi untuk membuat UUD dan UU
·         melantik presiden/wakil presiden, kepala daerah
·         fungsi pengawasan, koreksi dan control terhadap pemerintah
·         untuk pemerintah fungsi menjalankan UUD dan UU
oleh karena itu, ketika memilih wakil rakyat/kepala pemerintahan, maka sesungguhnya seseorang telah mewakilkan kepada si wakil rakyat tersebut untuk membuat/menjalankan hukum (UUD dan UU) dan inilah yang tidak diperbolehkan dalam syaria’t.
“Keputusan (hukum) itu hanyalah kepunyaan Alloh” (QS Yusuf [12]:40)
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Alloh dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan. Akan ada lagi bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa yang mendurhakai Alloh dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata” (QS al-ahzab [33]:36)
Sehingga, membuat hukum atau menetapkan hukum selain hukum Alloh adalah sesuatu yang haram, karena dalil-dalilnya telah jelas bahwa tolak ukur baik-buruk, standar benar-salah, nilai terpuji-tercela dan hukum adalah hanya Alloh saja yang berhak menetapkan.
Selain itu, akal manusia bersifat terbatas, akal manusia tidaklah mampu untuk menentukan semua hal yang baik bagi dirinya sendiri, apalagi orang lain. Sesuatu yang baik manusia saat ini bisa saja dianggap buruk pada masa yang akan datang, begitu pula sebaliknya.
Sehingga, kita dapat menarik kesimpulan bahwa akad wakalah dalam pemilu (dalam konteks memilih wakil rakyat, kepala pemerintahan) adalah batil, ini disebabkan karena perkara yang diwakilkan (menetapkan/menjalankan hukum) bukanlah perkara yang diperbolehkan syaria’t.
 Begitu pula dengan melantik kepala pemerintahan, ini pun perkara yang batil, karena sesungguhnya ketika mereka melakukan itu, maka mereka telah mendukung system sekulerisme, system yang secara tegas memisahkan agama dari kehidupan bernegara (fashl ad-din an al-hayah), dengan kata lain, mereka mendukung hukum-hukum Islam dipinggirkan dari kehidupan bernegara. Fungsi yang boleh dilakukan oleh wakil rakyat hanyalah fungsi koreksi (muhasabah) kepada penguasa, sehingga mencalonkan diri untuk melakukan tindakan koreksi ini termasuk perkara yang dibolehkan karena termasuk perkara amar ma’ruf nahi munkar. Tetapi inipun tidak mutlak, tapi harus memenuhi syarat-syarat antara lain :
1.       tidak menjadi calon partai sekuler dan menempuh cara haram seperti penipuan, pemalsuan, penyuapan serta bersekutu dengan orang-orang yang sekuler.
2.       Menyatakan secara terbuka dan luas , secara jelas bahwa tujuannya adalah mengubah system Negara yang sekuler dengan menegakkan system Islam.
3.       Tidak menjilat penguasa karena takut terdepak dari system yang ada dan menyuarakan Islam secara jelas tanpa adanya pengaburan dan pengurangan makna Islam itu sendiri.

4.       Dalam kampanye ia harus menyampaikan ide-ide dan program yang bersumber pada syari’at Islam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kekhawatiran Barat akan bangkitnya Ideologi Islam

Struktur Negara Khilafah