Pembiayaan Pendidikan Dalam Khilafah
Pembiayaan Pendidikan Dalam Khilafah
Sistem pendidikan formal yang diselenggarakan Negara
Khilafah memperoleh sumber pembiayaan sepenuhnya dari Negara (Baitul Mal).
Dalam sejarah, pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab, sumber pembiayaan
untuk kemaslahatan umum (termasuk pendidikan) berasal dari jizyah, kharaj, dan usyur (Muhammad, 2002).
Terdapat 2 (dua) sumber pendapatan Baitul Mal yang
dapat digunakan membiayai pendidikan, yaitu: (1) pos fai’ dan kharaj—yang
merupakan kepemilikan negara—seperti ghanîmah,
khumuûs (seperlima harta
rampasan perang), jizyah, dan dharîbah (pajak); (2) pos kepemilikan
umum seperti tambang minyak dan gas, hutan, laut, dan hima (milik umum yang penggunaannya
telah dikhususkan). Adapun pendapatan dari pos zakat tidak dapat digunakan
untuk pembiayaan pendidikan, karena zakat mempunyai peruntukannya sendiri,
yaitu delapan golongan mustahik zakat (QS 9 : 60). (Zallum, 1983; an-Nabhani,
1990).
Jika dua sumber pendapatan itu ternyata tidak
mencukupi, dan dikhawatirkan akan timbul efek negatif (dharar) jika
terjadi penundaan pembiayaannya, maka Negara wajib mencukupinya dengan segera
dengan cara berhutang (qardh). Utang ini kemudian dilunasi oleh Negara
dengan dana dari dharîbah (pajak) yang dipungut dari kaum Muslim
(Al-Maliki,1963).
Biaya pendidikan dari Baitul Mal itu secara garis
besar dibelanjakan untuk 2 (dua) kepentingan. Pertama:
untuk membayar gaji segala pihak yang terkait dengan pelayanan pendidikan
seperti guru, dosen, karyawan, dan lain-lain. Kedua:
untuk membiayai segala macam sarana dan prasana pendidikan, seperti bangunan
sekolah, asrama, perpustakaan, buku-buku pegangan, dan sebagainya. (An-Nabhani,
1990).
Potensi Sumber
Pembiayaan Pendidikan Saat ini
Telah dibahas sebelumnya ketentuan normatif mengenai
sumber pembiayaan pendidikan gratis dalam Khilafah. Pertanyaannya, mampukah
kita menggratiskan pendidikan sekarang dengan potensi sumber-sumber pembiayaan
saat ini?
Dalam APBN 2007, anggaran untuk sektor pendidikan
adalah sebesar Rp 90,10 triliun atau 11,8 persen dari total nilai anggaran Rp
763,6 triliun. (www.tempointeraktif.com, 8/1/2007). Angka Rp 90,10
triliun itu belum termasuk pengeluaran untuk gaji guru yang menjadi bagian dari
Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk bidang pendidikan,
serta anggaran kedinasan.
Misalkan kita ambil angka Rp 90,1
triliun sebagai patokan anggaran pendidikan tahun 2007 yang harus dipenuhi.
Dengan melihat potensi kepemilikan umum (sumber daya alam) yang ada di
Indonesia, dana sebesar Rp 90,1 triliun akan dapat dipenuhi, asalkan penguasa
mau menjalankan Islam, bukan neo-liberalisme. Berikut perhitungannya yang
diolah dari berbagai sumber:
1.
Potensi hasil hutan berupa kayu [data 2007] sebesar US$
2.5 miliar (sekitar Rp 25 triliun).
2.
Potensi hasil hutan berupa ekspor tumbuhan dan satwa liar
[data 1999] sebesar US$ 1.5 miliar (sekitar Rp 15 triliun).
3.
Potensi pendapatan emas di Papua (PT. Freeport) [data
2005] sebesar US$ 4,2 miliar (sekitar Rp 40 triliun)
4.
Potensi pendapatan migas Blok Cepu pertahun sebesar US$
700 juta – US$ 1,2 miliar (sekitar Rp 10 triliun)
Dari empat potensi di atas saja setidak-tidaknya sudah
diperoleh total Rp 90 triliun. Kalau masih kurang, jalankan penegakan hukum
dengan tegas, insya Allah akan diperoleh tambahan sekitar Rp 54
triliun. Sepanjang tahun 2006, ICW (Indonesia Corruption Watch)
mencatat angka korupsi Indonesia sebesar Rp 14,4 triliun. Nilai kekayaan hutan
Indonesia yang hilang akibat illegal logging tahun 2006 sebesar Rp 40 triliun.
Jadi, mewujudkan pendidikan gratis di Indonesia
sebenarnya sangatlah dimungkinkan. Yang menjadi masalah sebenarnya bukan tidak
adanya potensi pembiayaan, melainkan ketidakbecusan Pemerintah dalam mengelola
negara. Pendidikan mahal bukan disebabkan tidak adanya sumber pembiayaan,
melainkan disebabkan kesalahan Pemerintah yang bobrok dan korup.
Pemerintah seperti ini jelas
tidak ada gunanya. Yang dibutuhkan rakyat adalah pemerintah yang amanah, yang
setia pada Islam dan umatnya; bukan pemerintah yang tidak becus, yang hanya
puas menjadi komprador asing dengan menjalankan neoliberalisme yang kafir. [KH M. Shiddiq Al-Jawi]
Daftar Pustaka
1.
Al-Maliki,
Abdurrahman, As-Siyâsah al-Iqtishâdiyah
Al-Mutsla. (Hizbut Tahrir:
t.p.), 1963.
2.
Adams,
Ian, Ideologi Politik Mutakhir (Political Ideology Today). Penerjemah Ali Noerzaman.
(Yogyakarta: Penerbit Qalam), 2004.
3.
Ash-Shalabi,
Ali Muhammad, Bangkit dan Runtuhnya Khilafah
Utsmaniyah (Ad-Dawlah al-Utsmaniyah ‘Awâmil an-Nuhûdh wa Asbâb as-Suqûth),
Penerjemah Samson Rahman, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar), 2004.
4.
An-Nabhani,
Taqiyuddin, An-Nizhâm al-Iqtishâdi fî al-Islâm.
(Beirut: Darul Ummah), 1990.
5.
Azmi,
Sabahuddin, Islamic Economics. (New
Delhi: Goodword Books), 2002.
6.
Karim,
Adiwarman (Ed.), Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. (Jakarta : IIIT), 2001
7.
Khalid,
Abdurrahman Muhammad, Soal Jawab Seputar Gerakan Islam.
(Bogor: Pustaka Thariqul Izzah), 1994.
8.
Muhammad,
Quthb Ibrahim, Kebijakan Ekonomi Umar bin Khaththab
(As-Siyâsah al-Mâliyah li ‘Umar bin al-Khaththab), Penerjemah Ahmad
Syarifuddin Shaleh. (Jakarta: Pstaka Azzam), 2002.
9.
Qahaf,
Mundzir, Manajemen Wakaf Produktif (Al-Waqf
al-Islâmi Tathawwuruhu Idâratuhu Tanmiyatuhu). Penerjemah Muhyiddin Mas Rida.
(Jakarta: Khalifa), 2005.
10. Rahman, Afzalur, Doktrin
Ekonomi Islam (Economics Doctrines of Islam), Jilid 1, Penerjemah
Soeroyo & Nastangin. (Yogyakarta: PT. Dhana Bhakti Wakaf), 1995.
11. Yurino, Ari, “Privatisasi Dunia Pendidikan:
Hancurnya Pendidikan Bangsa”, http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=1533&post=3.
12. Zallum, Abdul
Qadim, Al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah. (Beirut: Darul ‘Ilmi lil
Malayin), 1983
Komentar
Posting Komentar