SOLUSI ISLAM DALAM MASALAH KEMISKINAN
Muhammad Anwar Iman
Muqaddimah
Kemiskinan adalah fenomena yang begitu mudah dijumpai di mana-mana. Tak
hanya di desa-desa, namun juga di kota-kota. Di balik kemegahan gedung-gedung
pencakar langit di Jakarta ,
misalnya, tidak terlalu sulit kita jumpai rumah-rumah kumuh berderet di
bantaran sungai, atau para pengemis yang berkeliaran di perempatan-perempatan
jalan.
Anehnya, secara statistik jumlah mereka bukan berkurang, tetapi justru
terus bertambah. Terlebih lagi setelah krisis ekonomi melanda Indonesia .
Disadari atau tidak, semua itu merupakan buah pahit Kapitalisme. Sebab memang
sistem kapitalislah yang diterapkan saat ini dan kemiskinan itulah yang
terjadi. Bahkan tak sekadar kemiskinan, kesenjangan pun makin lebar antara
orang kaya dan miskin. Pada tahun 1985, misalnya, pendapatan per kapita Indonesia
sebesar 960 dolar AS per orang per tahun. Dari angka tersebut 80% daripadanya
dikuasai hanya oleh 300 grup konglomerat saja. Sedangkan sisanya 20 %,
diperebutkan oleh hampir 200 juta penduduk[2].
Harus diakui, kapitalisme memang telah gagal menyelesaikan problem
kemiskinan. Alih-alih dapat menyelesaikan, yang terjadi justru menciptakan
kemiskinan. Jika demikian halnya mengapa umat tidak segera berpaling pada
Islam? Sebagai sebuah ideologi, Islam memiliki banyak aturan untuk mengatasi
berbagai problem kehidupan, termasuk kemiskinan. Bagaimana Islam mengatasi
masalah ini, makalah ringkas ini mencoba untuk menguraikannya.
Pandangan
Islam Tentang Kemiskinan
Kemiskinan adalah salah satu
sebab kemunduran dan kehancuran suatu bangsa. Bahkan Islam memandang kemiskinan
merupakan suatu ancaman dari setan. Allah Swt.. berfirman:
]الشَّيْطَانُ يَعِدُكُمُ
الْفَقْرَ[
Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan (TQS. Al-Baqarah
[2]: 268)
Karena
itulah, Islam sebagai risalah paripurna dan sebuah ideologi yang shahih, sangat
consen terhadap masalah kemisikinan
dan upaya-upaya untuk mengatasinya.
Dalam fiqih,
dibedakan antara istilah Fakir dan Miskin. Menurut pengertian syara’, Fakir adalah orang yang tidak mempunyai
kecukupan harta untuk memenuhi kebutuhan pokoknya seperti makanan, pakaian dan
tempat tinggal. Sedangkan Miskin
adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai apa-apa[3].
Dari
pengertian kedua istilah di atas, nampak bahwa kriteria Fakir sebenarnya telah
mencakup kriteria Miskin. Karena itulah dalam pembahasan selanjutnya, kedua
istilah tersebut dilebur dalam satu istilah yaitu miskin, dengan
pengertian orang-orang yang tidak mempunyai kecukupan harta untuk memenuhi
kebutuhan pokoknya, berupa pangan, sandang dan papan.
Syariat
Islam telah menetapkan kebutuhan pokok (primer) bagi setiap individu adalah
pangan, sandang, dan papan. Allah Swt. berfirman:
]وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ
وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ[
Kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada
para ibu dengan cara ma’ruf. (TQS. al-Baqarah
[2]: 233)
]أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ
وُجْدِكُمْ[
Tempatkanlah mereka (para
istri) di mana kamu bertempat tinggal, sesuai dengan kemampuanmu. (TQS.
ath-halaq [65]: 6).
Rasulullah saw. bersabda:
Dan kewajiban para suami
terhadap para istri adalah memberi mereka belanja (makanan) dan pakaian. (HR.
Ibn Majah dan Muslim dari Jabir bin Abdillah).
Sebagai kebutuhan primer,
ketiga hal tersebut, harus terpenuhi secara keseluruhan. Jika salah satu saja
tidak terpenuhi, maka seseorang terkategori sebagai orang miskin.
Pangan, sandang, dan papan yang
dimaksud di sini, tidak berarti sekadar apa adanya, melainkan harus mencakup
hal-hal yang berkaitan dengannya. Kebutuhan pangan, misalnya, juga termasuk
hal-hal yang berkaitan dengannya, seperti peralatan dapur; kayu bakar, minyak
tanah, atau gas; rak piring, lemari makan, meja makan, dan lain-lain. Sedangkan
yang termasuk bagian dari kebutuhan pakaian adalah apa-apa yang diperlukan
seperti peralatan berhias, parfum, bedak, celak, minyak rambut, lemari pakaian,
cermin, dan lain-lain. Sedangkan yang termasuk bagian dari kebutuhan tempat tinggal
adalah apa-apa yang diperlukan untuk tempat tinggal, seperti tempat tidur dan
perabotan rumah tangga, menurut yang umum diketahui masyarakat, seperti, meja,
kursi, karpet, korden, dan lain-lain.[4] Demikianlah tolok ukur kemiskinan menurus Islam.
Dari sini tampak bagaimana Islam memberikan jaminan kepada manusia untuk hidup
secara layak sebagai manusia.
Tolok ukur
kemiskinan ini berlaku untuk semua manusia, kapan pun dan di mana pun mereka
berada. Tidak boleh ada pembedaan tolok ukur kemiskinan bagi orang yang tinggal
di satu tempat dengan tempat lainnya, atau di satu negeri dangan negeri
lainnya. Misalnya, orang yang tinggal di Amerika dikatakan miskin jika tidak
memiliki mobil pribadi (walaupun tercukupi pangan, sandang dan papannya).
Sementara di Indonesia, orang semacam ini tidak dikatakan miskin. Pandangan
semacam ini bathil dan tidak adil. Sebab, Syariat Islam diturunkan untuk
menusia sebagai manusia, bukan sebagai individu. Sehingga tidak ada perbedaan
dari sisi kemanusiaan antara orang yang tinggal di suatu negeri dengan negeri
lainnya. Seandainya sebuah Negara memerintah rakyatnya dari berbagai negeri, di
Mesir, Yaman, Sudan, Indonesia, Jerman, dan lain-lain; maka tidak sah jika
pandangan pemerintah tersebut terhadap kemiskinan berbeda-beda antara rakyat
yang satu dengan yang lain.
Lebih dari itu, yang ditetapkan
syariat Islam sebagai kebutuhan pokok sebenarnya bukan hanya pangan, sandang,
dan papan. Ada hal lain yang juga termasuk kebutuhan pokok yaitu kesehatan,
pendidikan, dan keamanan. Hanya saja, pemenuhan kebutuhan tersebut tidak
dibebankan kepada individu masyarakat, melainkan langsung menjadi tanggungjawab
negara. Dalam membahas kemiskinan, ketiga hal ini tidak dimasukan dalam
perhitungan, karena memang bukan tanggungjawab individu.
Cara
Islam Mengatasi Kemiskinan
Allah Swt. sesungguhnya telah
menciptakan manusia, sekaligus menyediakan sarana-sarana untuk memenuhi
kebutuhannya. Bahkan tidak hanya manusia; seluruh makhluk yang telah, sedang,
dan akan diciptakan, pasti Allah menyediakan rizki baginya. Tidaklah mungkin,
Allah menciptakan berbagai makhluk, lalu membiarkan begitu saja tanpa
menyediakan rizki bagi mereka. Allah Swt. berfirman:
]اللهُ الَّذِي خَلَقَكُمْ ثُمَّ
رَزَقَكُمْ[
Allah-lah yang menciptakan kamu, kemudian memberikan
rizki.(TQS. ar-Rum [30]: 40)
]وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي اْلأَرْضِ
إِلاَّ عَلَى اللهِ رِزْقُهَا[
Tidak ada satu binatang melata pun di bumi,
melainkan Allah yang memberi rizkinya. (TQS. Hud
[11]: 6)
Jika demikian halnya, mengapa
terjadi kemiskinan? Seolah-olah kekayaan alam yang ada, tidak mencukupi
kebutuhan manusia yang populasinya terus bertambah.
Dalam pandangan ekonomi
kapitalis, problem ekonomi disebabkan oleh adanya kelangkaan barang dan jasa,
sementara populasi dan kebutuhan manusia terus bertambah. Akibatnya, sebagian
orang terpaksa tidak mendapat bagian, sehingga terjadilah kemiskinan. Pandangan
ini jelas keliru, bathil, dan bertentangan dengan fakta.
Secara i’tiqadiy, jumlah kekayaan alam yang disediakan oleh Allah Swt.
untuk manusia pasti mencukupi. Hanya saja, apabila kekayaan alam ini tidak
dikelola dengan benar, tentu akan terjadi ketimpangan dalam distribusinya.
Jadi, faktor utama penyebab kemiskinan adalah buruknya distribusi kekayaan. Di
sinilah pentingnya keberadaan sebuah sistem hidup yang shahih dan keberadaan
negara yang menjalankan sistem tersebut.
Islam adalah
sistem hidup yang shahih. Islam memiliki cara yang khas dalam menyelesaikan
masalah kemiskinan. Syariat Islam memiliki banyak hukum yang berkaitan dengan
pemecahan masalah kemiskinan; baik kemiskinan alamiyah, kultural, maupun
sruktural. Hanya saja, hukum-hukum itu tidak berdiri sendiri, melainkan
memiliki hubungan sinergis dengan hukum-hukum lainnya. Jadi, dalam
menyelesaikan setiap masalah, termasuk kemiskinan, Islam menggunakan pendekatan
yang bersifat terpadu. Bagaimana Islam mengatasi kemiskinan, dapat dijelaskan
sebagai berikut:
1. Jaminan
Pemenuhan Kebutuhan Primer
Islam telah menetapkan
kebutuhan primer manusia terdiri dari pangan, sandang, dan papan.
Terpenuhi-tidaknya ketiga kebutuhan tersebut selanjutnya menjadi penentu
miskin-tidaknya seseorang. Sebagai kebutuhan primer, tentu pemenuhannya atas
setiap individu, tidak dapat ditawar-tawar lagi. Oleh karena itu, Islam
memberikan jaminan atas pemenuhan kebutuhan ini.
Adanya jaminan pemenuhan
kebutuhan primer bagi setiap individu, tidak berarti negara akan
membagi-bagikan makanan, pakaian, dan perumahan kepada siapa saja, setiap saat.
Sehingga terbayang, rakyat bisa bermalas-malasan karena kebutuhannya sudah
dipenuhi. Ini anggapan yang keliru. Jaminan pemenuhan kebutuhan primer dalam
Islam diwujudkan dalam bentuk pengaturan mekanisme-mekanisme yang dapat
menyelesaikan masalah kemiskinan. Mekanisme tersebut adalah:
a. Mewajibkan
Laki-laki Memberi Nafkah Kepada Diri dan Keluarganya.
Islam mewajibkan laki-laki yang mampu dan membutuhkan nafkah, untuk
bekerja dalam rangka memenuhi kebutuhannya. Allah Swt. berfirman:
]فَامْشُوا
فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ[
Maka berjalanlah ke segala
penjuru, serta makanlah sebagian dari rizeki-Nya. (TQS. al-Mulk[67]: 15)
Dari Abu Hurairah, dia berkata: Aku mendengan Rasulullah saw. bersabda:
Salah seorang diantara kalian pergi
pagi-pagi mengumpulkan kayu bakar, lalu memikulnya dan berbuat baik dengannya
(menjualnya), sehingga dia tidak lagi memerlukan pemberian manusia, maka itu
baik baginya daripada dia mengemis pada seseorang yang mungkin memberinya atau
menolaknya[5]
Ayat dan hadits di atas menunjukan adanya kewajiban bagi laki-laki untuk
bekerja mencari nafkah. Bagi para suami, syara’ juga mewajibkan mereka untuk
memberi nafkah kepada anak dan istrinya. Allah Swt. berfirman:
]وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ
وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ[
Kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada
para ibu dengan cara ma’ruf. (TQS. al-Baqarah
[2]: 233)
]أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ
مِنْ وُجْدِكُمْ[
Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu
bertempat tinggal, sesuai dengan kemampuanmu. (TQS.
ath-Thalaq [65]: 6)
Jadi jelas, kepada setiap laki-laki yang mampu bekerja, pertama kali
Islam mewajibkan untuk berusaha sendiri dalam rangka memenuhi kebutuhannya dan
keluarganya. Adapun terhadap wanita, Islam tidak mewajibkan mereka untuk
bekerja, tetapi Islam mewajibkan pemberian nafkah kepada mereka.
b. Mewajibkan
Kerabat Dekat untuk Membantu Saudaranya
Realitas menunjukkan bahwa tidak semua laki-laki punya kemampuan untuk
bekerja mencari nafkah. Mereka kadang ada yang cacat mental atau fisik,
sakit-sakitan, usianya sudah lanjut, dan lain-lain. Semua ini termasuk ke dalam
orang-orang yang tidak mampu bekerja. Jika demikian keadaannya lalu siapa yang
akan menanggung kebutuhan nafkahnya?
Dalam kasus semacam ini, Islam mewajibkan kepada kerabat dekat yang
memiliki hubungan darah, untuk membantu mereka. Allah Swt. berfirman:
]وَعَلَى
الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لَا تُكَلَّفُ
نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَهُ
بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ[
…Dan kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada pada ibu
dengan cara yang ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar
kesanggupanya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya, dan
seorang ayah karena anaknya. Dan warispun berkewajiban demikian… (TQS.
al-Baqarah [2]: 233).
Maksudnya, seorang waris berkewajiban sama seperti seorang ayah, dari
segi nafkan dan pakaian. Yang dimaksud waris di sini, bukan berarti orang yang
secara langsung bisa mewarisi. Melainkan, yang dimaksud adalah siapa saja yang
berhak mendapatkan waris.[6]
Jadi jelas, jika seseorang secara pribadi tidak mampu memenuhi
kebutuhannya, karena alasan-alasan di atas, maka kewajiban memenuhi nafkah,
beralih ke kerabat dekatnya.
Jika kerabat dekat diberi kewajiban untuk membantu saudaranya yang tidak
mampu, bukankah hal ini akan menyebabkan kemiskinan para keluarganya dan dapat
berdampak pada menurunnya taraf kehidupan mereka? Tidak dapat dikatakan
demikian! Sebab, nafkah tidak diwajibkan oleh syara’ kepada keluarga, kecuali
apabila terdapat kelebihan harta. Orang yang tidak memiliki kelebihan, tidak
wajib baginya memberi nafkah. Sebab, memberi nafkah tidak wajib kecuali atas
orang yang mampu memberinya.
Orang yang mampu menurut syara’ adalah orang yang memiliki harta lebih
dari kebutuhan-kebutuhuan primer (al-hajat
al-asasiyah), dan kebutuhan pelengkap (al-hajat
al-kamaliyah), menurut standart masyarakat sekitarnya. Rasulullah saw.
bersabda:
Sebaik-baik sedekah adalah
harta yang berasal dari selebihnya keperluan (HR. Imam Bukhari dari Abu Hurairah)
Tangan di atas (memberi) itu
lebih baik dari tangan di bawah (meminta), mulailah dari orang yang menjadi
tanggunganmu, dan sebaik-baik sedekah adalah dari selebihnya keperluan (HR. Nasa’i, Muslim, dan Ahmad dari Abu
Harairah)
Yang dimaksud al-Ghina (selebihnya
keperluan) di sini adalah harta di mana manusia (dengan keadaan yang
dimilkinya) sudah tidak butuh lagi apa-apa buat mencukupi level pemenuhan
kebutuhan primer (al-hajat al-asasiyah),
dan kebutuhan pelengkap (al-hajat
al-kamaliyah), menurut standart masyarakat sekitarnya.[7]
c. Mewajibkan
Negara untuk Membantu Rakyat Miskin
Bagaimana
jika seseorang yang tidak mampu tersebut tidak memiliki kerabat? Atau dia
memiliki kerabat, akan tetapi hidupnya pas-pasan? Dalam kondisi semacam ini,
kewajiban memberi nafkah beralih ke Baitul
Mal (kas negara). Dengan kata lain, negara melalui Baitul Mal, berkewajiban untuk memenuhi kebutuhannya. Rasulullah
Saw. pernah bersabda:
Siapa saja yang meninggalkan harta, maka harta itu
untuk ahli warisnya, dan siapa saja yang, meninggalkan ‘kalla’, maka dia
menjadi kewajiban kami. (HR.
Imam Muslim)
Yang
dimaksud kalla adalah oang yang
lemah, tidak mempunyai anak, dan tidak mempunyai orang tua.
Anggaran
yang digunakan negara untuk membantu individu yang tidak mampu, pertama-tama
diambilkan dari kas zakat. Allah Swt.. berfirman:
]إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ
لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ[
Sedekah (zakat) itu hanya diperuntukkan bagi para
fakir miskin… (TQS. at-Taubah
[9]: 60)
Apabila
harta zakat tidak mencukupi, maka negara wajib mencarinya dari kas lain, dari Baitul Mal.
d. Mewajibkan
Kaum Muslim untuk Membantu Rakyat Miskin
Apabila di
dalam Baitul Mal tidak ada harta sama
sekali, maka kewajiban menafkahi orang miskin beralih ke kaum Muslim secara
kolektif. Allah Swt. berfirman:
]وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ
لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ[
Di dalam harta mereka, terdapat hak bagi orang
miskin yang meminta-minta yang tidak mendapatkan bahagian. (TQS.
adz-Dzariyat [51]: 19)
Rasulullah
saw. juga bersabda:
Siapa saja yang menjadi penduduk suatu daerah, di
mana di antara mereka terdapat seseorang yang kelaparan, maka perlindungan
Allah Tabaraka Wata’ala terlepas dari mereka. (HR.
Imam Ahmad)
Tidaklah beriman kepada-Ku, siapa saja yang tidur
kekenyangan, sedangkan tetangganya kelaparan, sementara dia mengetahuinya. (HR.
al-Bazzar)
Secara teknis, hal ini dapat
dilakukan dengan dua cara. Pertama, kaum Muslim secara individu membantu
orang-orang yang miskin. Kedua, negara mewajibkan dharibah (pajak) kepada orang-orang kaya, hingga mencukupi
kebutuhan untuk membantu orang miskin. Jika, dalam jangka waktu tertentu, pajak
tersebut tidak diperlukan lagi, maka pemungutannya oleh negara harus
dihentikan.
Demikianlah mekanisme bagaimana
Islam mengatasi masalah kemiskinan secara langsung. Pertama, orang yang
bersangkutan diwajibkan untuk mengusahakan nafkahnya sendiri. Apabila tidak
mampu, maka kerabat dekat yang memiliki kelebihan harta wajib membantu. Apabila
kerabat dekatnya tidak mampu, atau tidak mempunyai kerabat dekat, maka
kewajiban beralih ke Baitul Mal dari
kas zakat. Apabila tidak ada, wajib diambil dari Baitul Mal, dari kas lainnya. Apabila tidak ada juga, maka
kewajiban beralih ke seluruh kaum Muslim. Secara teknis, hal ini dapat
dilakukan dengan cara kaum Muslim secara individu membantu orang yang miskin;
dan negara memungut dharibah (pajak)
dari orang-orang kaya, hingga mencukupi.
2. Pengaturan
Kepemilikan
Pengaturan kepemikikan memiliki
hubungan yang sangat erat dengan masalah kemiskinan dan upaya untuk
mengatasinya. Syariat Islam telah mengatur masalah kepemilikan ini, sedemikian
rupa sehingga dapat mencegah munculnya masalah kemiskinan. Bahkan, pengaturan
kepemilikan dalam Islam, memungkinkan masalah kemiskinan dapat diatasi dengan
sangat mudah.
Pengaturan kepemilikan yang
dimaksud mencakup tiga aspek, yaitu jenis-jenis kepemilikan, pengelolaan kepemilikan,
dan pendistribusian kekayaan di tengah-tengah masyarakat. Bagaimana
pengaturan kepemilikan ini dapat mengatasi masalah kemiskinan, dapat dijelaskan
secara ringkas sebagai merikut.
a. Jenis-jenis
Kepemilikan
Syariat Islam mendefinisikan kepemilikan sebagai izin dari as-Syari’ (Pembuat Hukum) untuk memanfaatkan suatu zat atau
benda. Terdapat tiga macam kepemilikan dalam Islam, yaitu kepemilikan
individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara.
·
Kepemilikan individu adalah izin dari Allah Swt..
kepada individu untuk memanfaatkan sesuatu.
Allah Swt. telah memberi hak kepada individu untuk memiliki harta baik
yang bergerak maupun tidak bergerak. Tentu sepanjang harta tersebut diperoleh
melalui sebab-sebab yang dibolehkan, misalnya: hasil kerja, warisan, pemberian
negara, hadiah, dan lain-lain.
Adanya kepemilikan individu ini, menjadikan seseorang termotivasi untuk
berusaha mencari harta, guna mencukupi kebutuhannya. Sebab, secara naluriah,
manusia memang memiliki keinginan untuk memiliki harta. Dengan demikian,
seseorang akan berusaha agar kebutuhannya tercukupi. Dengan kata lain, dia akan
berusaha untuk tidak hidup miskin.
·
Kepemilikan Umum adalah izin dari Allah Swt.. kepada
jamaah (masyarakat) untuk secara bersama-sama memanfaatkan sesuatu.
Aset yang tergolong kepemilikan umum ini, tidak boleh sama sekali
dimiliki secara individu, atau dimonopoli oleh sekelompok orang. Aset yang
termasuk jenis ini adalah: pertama,
segala sesuatu yang menjadi kebutuhan vital masyarakat, dan akan menyebabkan
persengkataan jika ia lenyap[8], misalnya: padang rumput, air, pembangkit listrik,
dan lain-lain; kedua, segala sesuatu
yang secara alami tidak bisa dimanfaatkan hanya oleh individu[9], misalnya: sungai, danau, laut, jalan umum, dan
lain-lain; ketiga, barang tambang
yang depositnya sangat besar, misalnya: emas, perak, minyak, batu bara, dan
lain-lain.
Dalam prakteknya, kepemilikan umum ini dikelola oleh negara, dan hasilnya
(keuntungannya) dikembalikan kepada masyarakat. Bisa dalam bentuk harga yang
murah, atau bahkan gratis, dan lain-lain. Adanya pengaturan kepemilikan umum
semacam ini, jelas menjadikan aset-aset startegis masyakat dapat dinikmati
bersama-sama. Tidak dimonopoli oleh seseorang atau sekelompok orang, sehingga
yang lain tidak memperoleh apa-apa; sebagaimana yang tejadi dalam sistem
kapitalis. Dengan demikian masalah kemiskinan dapat dikurangi, bahkan diatasi
dengan adanya pengaturan kepemilikan umum semacam ini.
·
Kepemilikan Negara adalah setiap harta yang menjadi
hak kaum Muslim, tetapi hak pengelolaannya diwakilkan pada Khalifah (sesuai
ijtihadnya) sebagai kepala negara
Aset yang termasuk jenis kepemilikan ini di antaranya adalah: fa’i,
kharaj, jizyah, atau pabrik-pabrik yang dibuat negara, misalnya, pabrik mobil,
mesin-mesin, dan lain-lain.
Adanya kepemilikan negara dalam Islam, jelas menjadikan negara memiliki
sumber-sumber pemasukan, dan aset-aset yang cukup banyak. Dengan demikian
negara akan mampu menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pengatur urusan
rakyat. Termasuk di dalamnya adalah memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan
rakyat miskin.
b. Pengelolaan
Kepemilikan
Pengelolaan kepemilikan dalam Islam mencakup dua aspek, yaitu
pengembangan harta (tanmiyatul Mal)
dan penginfaqkan harta (infaqul Mal).
Baik pengembangan harta maupun penginfaqkan harta, Islam telah mengatur
dengan berbagai hukum. Islam, misalnya, melarang seseorang untuk mengembangkan
hartanya dengan cara ribawi, atau melarang seseorang bersifat kikir, dan
sebagainya. Atau misalnya, Islam mewajibkan seseorang untuk menginfaqkan (menafkahkan)
hartanya untuk anak dan istrinya, untuk membayar zakat, dan lain-lain.
Jelaslah, bahwa dengan adanya pengaturan pengelolaan kepemilikan, akan
menjadikan harta itu beredar, perekonomian menjadi berkembang, dan kemiskinan
bisa diatasi.
c.
Distribusi Kekayaan di Tengah-tengah
Masyarakat
Buruknya distribusi kekayaan di tengah-tengah masyarakat telah menjadi
faktor terpenting penyebab terjadinya kemiskinan. Oleh karena itu, masalah
pengaturan distribusi kekayaan ini, menjadi kunci utama penyelesaian masalah
kemiskinan.
Dengan mengamati hukum-hukum syara’ yang berhubungan dengan masalah
ekonomi, akan kita jumpai secara umum hukum-hukum tersebut senatiasa mengarah
pada terwujudnya distribusi kekayaan secara adil dalam masyarakat. Apa yang
telah diuraikan sebelumnya tentang jenis-jenis kepemilikan dan pengelolaan
kepemilikan, jelas sekali, secara langsung atau tidak langsung mengarah kepada
terciptanya distribusi kekayaan.
Kita juga dapat melihat, misalnya, dalam hukum waris. Secara rinci
syariat mengatur kepada siapa harta warisan harus dibagikan. Jadi seseorang
tidak bisa dengan bebas mewariskan hartanya kepada siapa saja yang dikehendaki.
Sebab, bisa berpotensi pada distribusi yang tidak adil.
Lebih dari itu, negara berkewajiban secara langsung melakukan pendistribusian
harta kepada individu rakyat yang membutuhkan. Misalnya, negara memberikan
sebidang tanah kepada soseorang yang mampu untuk mengelolanya. Bahkan setiap
individu berhak menghidupkan tanah mati, dengan menggarapnya; yang dengan cara
itu dia berhak memilikinya. Sebaliknya, negara berhak mengambil tanah pertanian
yang ditelantarkan pemiliknya selama tiga tahun berturut-turut. Semua itu
menggambarkan, bagaimana syariat Islam menciptakan distribusi kekayaan,
sekaligus menciptakan produktivitas sumberdaya alam dan sumberdaya manusia,
yang dengan sendirinya dapat mengatasi masalah kemiskinan.
3. Penyediaan
Lapangan Kerja
Menyediakan
lapangan pekerjaan merupakan kewajiban negara. Hal ini menyandar pada keumuman
hadits Rasululah saw.:
Seorang iman (pemimpin) adalah
bagaikan penggembala, dan dia akan diminta pertanggungjawaban atas gembalaannya
(rakyatnya). (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam sebuah riwayat
diceritakan bahwa Rasulullah saw. pernah memberikan dua dirham kepada
seseorang. Kemudian Beliau saw. bersabda:
Makanlah dengan satu dirham,
sisanya belikan kapak, lalu gunakan ia untuk bekerja.
Demikianlah,
ketika syariat Islam mewajibkan seseorang untuk memberi nafkah kepada diri dan
keluarganya, maka syariat Islam pun mewajibkan negara untuk menyediakan
lapangan pekerjaan. Dengan cara ini, setiap orang akan produktif, sehingga
kemiskinan dapat teratasi.
4. Penyediaan
Layanan Pendidikan
Masalah kemiskinan sering
muncul akibat rendahnya kualitas sumberdaya manusia, baik dari sisi kepribadian
maupun ketrampilan. Inilah yang disebut dengan kemiskinan kultural. Masalah ini
dapat diatasi melalui penyediaan layana pendidikan oleh negara. Hal ini
dimungkinkan, karena pendidikan dalam Islam mengarah pada dua kualifikasi
penting, yaitu terbentuknya berkepribadian Islam yang kuat, sekaligus memiliki
ketrampilan untuk berkarya.
Syariat Islam telah mewajibkan
negara untuk menyediakan layanan pendidikan secara cuma-cuma kepada rakyat.
Sebab, pendidikan memang merupakan kebutuhan dasar bagi setiap individu rakyat.
Layanan pendidikan ini akan meningkatkan kualitas sumberdaya manusia, dan
selanjutnya akan mewujudkan individu-individu yang kreatif, onovatif, dan
produktif. Dengan demkian kemiskinan kultural akan dapat teratasi.
Keberhasilan
Islam dalam Mengatasi Kemiskinan
Solusi yang
ditawarkan Islam dalam mengatasi kemiskinan, sebagimana yang telah diuraikan di
atas, bukanlah sesuatu yang menarik sebatas dalam tataran konsep semata.
Perjalanan panjang sejarah kaum Muslim, membuktikan bahwa solusi tersebut
benar-benar dapat realisasikan. Yaitu ketika kaum Muslim hidup di bawah naungan
Negara Khilafah yang menerapkan Islam secara kaffah.
Dalam kitab
al-Amwaal karangan Abu Ubaidah, diceritakan bahwa Khalifah Umar bin Khathab
pernah berkata kepada pegawainya yang bertugas membagikan shadaqah: “Jika kamu meberikan, maka cukupkanlah”,
selanjutnya berkata lagi: “Berilah mereka
itu sedekah berulangkali sekalipun salah seorang diantara mereka memiliki
seratus onta”.[10] Beliau menerapkan politik ekonomi yang memberikan
jaminan pemenuhan kebutuhan primer rakyat. Beliau mengawinkan kaum Muslim yang
tidak mampu; membayar hutang-hutang mereka, dan memberikan biaya kepada para
petani agar mereka menanami tanahnya.
Kodisi
politik seperti ini terus berlangsung hingga masa Daulah Umayah di bawah pemerintahan
Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Pada saat itu rakyat sudah sampai pada taraf
hidup dimana mereka tidak memerlukan bantuan harta lagi. Pada tahun kedua masa
kepemimpinannya, Umar bin Abdul Aziz menerima kelebihan uang Baitul Mal secara berlimpah dari
gubernur Irak. Beliau lalu mengirim surat kepada gubernur tersebut: “Telitilah, barang siapa berhutang, tidak
berlebih-lebihan dan foya-foya, maka bayarlah hutangnya”. Kemudian gubernur
itu mengirim jawaban kepada beliau: “Sesungguhnya
aku telah melunasi hutang orang-orang yang mempunyai tanggungan hutang,
sehingga tidak ada seorang pun di Irak yang masih mempunyai hutang, maka apa
yang harus aku perbuat terhadap sisa harta ini?” Umar bin Abdul Aziz
mengirimkan jawaban: “Lihatlah setiap
jejaka yang belum menikah, sedangkan dia menginginkan menikah, kawinkanlah dia
dan bayar mas kawinnya” Gubernur itu mengirimkan berita lagi bahwa dia
sudah melaksanakan semua perinahnya, tetapi harta masih juga tersisa.
Selanjutnya Umar bin Abdul Aziz mengirimkan surat lagi kepadanya: “Lihatlah orang-orang Ahlu adz-Dzimmah[11] yang tidak
mempunyai biaya untuk menanami tanahnya, berilah dia apa-apa yang dapat
mensejahterakannya.” Dalam
kesempatan lain, Umar bin Abdul Aziz memerintahkan pegawainya untuk berseru
setiap hari di kerumunan khalayak ramai, untuk mencukupi kebutuhannya
masing-masing. “Wahai manusia! Adakah
diantara kalian orang-orang yang miskin? Siapakah yang ingin kawin? Kemanakah
anak-anak yatim?” Ternyata, tidak seorang pun datang memenuhi seruan
tersebut.[12]
Jaminan
pemenuhan kebutuhan hidup ini, tidak hanya diberikan kepada kaum Muslim, tetapi
juga kepada orang non-Muslim. Dalam hal ini, orang-orang non-Muslim yang
menjadi warga negara Daulah Khilafah, mempunyai hak yang sama dengan orang
Muslim, tanpa ada perbedaan. Sebagai contoh, dalam aqad dzimmah yang ditulis
oleh Khalid bin Walid untuk menduduk Hirah di Irak yang beragama Nasrani,
disebutkan: “Saya tetapkan bagi mereka,
orang yang lanjut usia yang sudah tidak mampu bekerja atau ditimpa suatu
penyakit, atau tadinya kaya kemudian jatuh miskin, sehingga teman-temannya dan
para penganut agamanya memberi sedekah; maka saya membebaskannya dari kewajiban
membayar jizyah. Dan untuk selajutnya dia beserta keluarga yang menjadi
tanggungannya, menjadi tanggungan Baitul Mal kaum Muslim.”[13] Peristiwa ini terjadi pada masa pemerintahan
Khalifah Abu Bakar as-Shiddiq ra.
Umar bin
Khatab ra. pernah menjumpai seorang Yahudi tua yang sedang mengemis. Ketika
ditanyakan kepadanya, ternyata usia tua dan kebutuhan telah mendesaknya untuk
berbuat demikian. Umar segera membawanya kepada bendahara Baitul Mal dan memerintahkan agar detapkan bagi orang itu, dan
orang-orang seperti dia, sejumlah uang dari Baitul
Mal yang cukup baginya dan dapat memperbaiki keadaanya. Umar berkata: “Kita telah bertindak tidak adil
terhadapnya, menerima pembayaran jizyah darinya kala dia masih muda, kemudian
menelantarkannya kala dia sudah lajut usia.[14]
Demikianlah beberapa gambaran
sejarah kaum Muslim, yang menunjukkan betapa Islam yang mereka terapkan ketika itu
benar-benar membawa keberkahan dan kesejahteraan hidup. Bukan hanya bagi umat
Muslim tapi juga bagi umat non-Muslim yang hidup di bawah naungan Islam.
Khatimah
Islam bukanlah agama ritual
semata, melainkan sebuah ideologi. Sebagai sebuah ideologi yang shahih, tentu
Islam memiliki cara-cara yang lengkap untuk mengatasi berbagai problematika
manusia, termasuk problem kemiskinan. Dari pebahasan ini, tampak bagaimana
kehandalan Islam dalam mengatasi problem kemiskinan. Apabila saat ini kita
menyaksikan banyak kemiskinan yang justru melanda umat Islam, hal itu
disebabkan karena mereka tidak hidup secara Islam. Sistem hidup selain
Islam-lah (Kapitalis, Sosialis/Komunis) yang mereka terapkan saat ini, sehingga
meskipun kekayaan alamnya melimpah, tetap saja hidup dalam kemiskinan. Allah
Swt. berfirman:
]وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ
ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى[
Barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka
baginya penghidupan yang sempit dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat
dalam keadaan buta (TQS. Thahaa[20]: 124)
Jika demikian halnya, masihkah
umat ini tetap rela hidup tanpa syariat Islam?
[1]
Disampaikan dalam acara Diskusi Publik
“Selamatkan Indonesia dengan Syariah” Hizbut Tahrir Indonesia, di Jakarta 4
Agustus 2002.
[2] Republika,
28 Agustus 2000
[3] An-Nabhani,
Taqiyuddin., Nadzamul Iqtishadiy fil Islam, hal. 207; Abdul Qadim
Zallum, al-Amwal fi Daulatil Khilafah, hal 192; Sulaman Rasjid, Fiqh
Islam, hal 207.
[4] Al-Maliki,
Abdurahman., as-Siyasatu al-Iqtishadiyahtu al-Mutsla, hal. 176. 1963
[5] HR. Muslim,
Ahmad, dan Tirmidzi dari Abu Hurairah
[6] Taqiyuddin
an-Nabhani, Nidzamul Iqtishadi fil Islam,. Daarul Ummah, Cetakan ke-4,
1990, hal. 210
[7] Al-Maliki,
Abdurahman., as-Siyasatu al-Iqtishadiyahtu al-Mutsla, hal. 176. 1963
[8] Rasulullah
bersabda: “Manusia berserikat dalam tiga perkara, yaitu air, padang rumput,
dan api”
[9] Rasulullah
bersabda: “Tidak ada pagar pembatas kecuali bagi Allah dan Rasul-Nya” Artinya
tidak ada hak bagi seorang pun untuk membuat batas atau pagar atas segala
sesuatu yang diperuntukkan bagi masyarakat.
[10] Abdurrahman
al-Bagdadi, Ulama dan Penguasa di Masa Kejayaan dan Kemunduran, Gema
Insani Press, Jakarta, 1988, hal. 38.
[11] Orang
non-Muslim yang hidup di bawah naungan Negara Khilafah.
[12] Ibid.
hal. 39
[13] Diriwayatkan
dari Abu Yusuf dalam kitabnya al-Kharaj, hal. 144.
[14] Ibid,
hal. 126.
Komentar
Posting Komentar