Kapitalisme Biang Krisis Ekonomi
Krisis ekonomi global kini
menghantui negara-negara dunia. Diawali dengan krisis ekonomi yang
menimpa Negara Paman Sam, Amerika Serikat (AS) pada 2007. Krisis
tersebut kemudian menjalar ke negara-negara lain di dunia.
Semula banyak yang tak menyangka, sebagai pemilik ekonomi terbesar di dunia dengan nilai GDP (gross domestic product)
sekitar 13,7 triliun dolar AS, ternyata perekonomian AS sangat rapuh.
Krisis telah mendorong perekonomian AS terjerumus dalam jurang resesi.
Banyak pengamat ekonomi yang memprediksi resesi yang terjadi kini lebih
buruk ketimbang tahun 1929.
Penyebab krisis ekonomi AS
tidak lepas dari penumpukan hutang nasional yang mencapai 8.98 triliun
dolar AS, pengurangan pajak korporasi, pembengkakan biaya perang Irak
dan Afganistan. Paling krusial adalah Subprime Mortgage, yakni
kerugian surat berharga properti sehingga membangkrutkan Lehman
Brothers, Merryl Lynch, Goldman Sachs, Northern Rock,UBS, Mitsubishi UF,
dan yang lainnya.
Diperkirakan krisis
finansial yang melanda pasar-pasar keuangan menyebabkan kerugian 34,4
triliun dolar AS atau setara dengan akumulasi poduksi nasional Amerika,
Jepang dan Eropa. Kerugian itu karena anjloknya harga saham yang beredar
di bursa internasional dari 63 triliun dolar AS menjadi 28,6 triliun
dolar AS.
Kerugian itu diiringi
menurunnya kesempatan kerja. Di Amerika saja, 8,2 juta orang kehilangan
pekerjaan. Angka pengangguran mencapai prosentase tertinggi sejak
depresi besar (Great Depression) mencapai 9,7%; diperkirakan tertinggi
dalam tujuh tahun terakhir sejak serangan 11 Nopember 2001. Padahal
jumlah pengangguran yang melebihi 500 ribu orang mengindikasikan resesi
tengah terjadi.
Meski pemerintah telah
mengintervensi dengan menyuntikkan 20 triliun dolar AS untuk mencegah
kehancuran total perekonomian. Namun, kerugian pasar keuangan tetap
berlipat ganda. Bahkan resesi yang terjadi di AS pun merambah ke
negara-negara lain; tidak hanya negara berkembang, tetapi juga negara
maju.
Setelah hampir tiga tahun
AS dilanda gonjang-ganjing ekonomi, kini giliran Uni Eropa yang
merasakan pahitnya krisis ekonomi. Saat krisis terjadi di AS pada 2007,
negara-negara di Eropa sempat merasakan imbasnya. Ketika itu pemerintah
negara-negara Uni Eropa terpaksa memberikan suntikan dana cukup besar ke
perbankan dan lembaga keuangan untuk menyelamatkan perekonomian.
Kini Eropa benar-benar
merasakan krisis ekonomi. Ketakutan krisis utang dan defisit pertama
kali muncul di Yunani, kemudian menjalar ke Irlandia, Portugal dan
Spanyol. Cekaman ketakutan itu telah menimbulkan krisis kepercayaan di
negara Uni Eropa lainnya, terutama Jerman.
Sinyal krisis yang makin
kencang itu membuat negara-negara di luar Eropa pun mulai bereaksi.
Terlihat bagaimana bursa saham di Asia anjlok. Begitu juga yang terjadi
di Indonesia, di Bursa Efek Jakarta, investor yang khawatir terhadap
krisis keuangan Eropa melakukan aksi jual saham secara besar-besaran.
Hal ini membuat Indeks Harga Saham melorot.
Krisis ekonomi yang melanda
dunia bukanlah yang pertama atau yang terakhir dalam rangkaian krisis
besar yang mendera sistem Kapitalisme. Sejarah Kapitalisme hampir-hampir
merupakan sejarah krisis. Selama 37 tahun, sejak tahun 1970 sampai
tahun 2007, tercatat telah terjadi 24 krisis perbankan, 208 krisis kurs,
dan 63 krisis utang.
Pergeseran Kekuatan
Krisis melanda AS dan Eropa
menimbulkan berbagai prediksi bahwa kekuatan ekonomi mulai bergeser ke
negara-negara Asia. Misalnya, laporan dari National Intelligence Council
(NIC) berjudul “Global Trends 2015” menyebutkan, krisis ekonomi AS
tersebut menjadi sinyal pergeseran kekuatan yang sudah mulai terjadi.
Pamor AS di bidang ekonomi dan militer kian memudar. Sebaliknya, Asia
akan menjadi sentra manufaktur dan sektor jasa lain.
NIC menyusun analisis
berdasarkan survei selama setahun terhadap tren dan pengamatan para
pakar, yang dilakukan para analis intelijen AS. “Kekuatan ekonomi dan
politik AS memudar dua puluh tahun mendatang. Krisis keuangan di Wall
Street sekarang ini adalah tahapan awal pembentukan tatanan ekonomi
global. Kekuatan dolar AS akan sama dengan lainnya…,” demikian laporan
NIC.
Bagaimana dengan
negara-negara Asia? NIC melaporkan, Cina dan India yang menjalankan
sistem Kapitalisme negara kemungkinan bergabung bersama AS. Ini akan
membentuk dunia multipolar. Posisi Rusia tak pasti, bergantung pada
kekuatan energi dan pengembangan basis investasi. Iran, Turki dan
Indonesia juga sedang mencoba berebut pengaruh.
Kekayaan global juga
berpindah dari negara maju di Barat ke Timur Tengah, Rusia dan Asia.
Bahkan kawasan Asia menjadi pusat manufaktur yang sedang naik daun dan
juga di sejumlah sektor jasa. Lembaga konsultan bisnis dan keuangan
Goldman Sach dalam laporan tahunan Global Economic Paper yang berjudul
“Dreaming With The BRIC’s: The Path to 2050″ yang diterbitkan Oktober
2003 memprediksikan lima besar ekonomi dunia pada 2040, yaitu Cina, AS,
India, Jepang dan Jerman. Artinya, tiga di antaranya ada di Asia.
Bagaimana nilai strategis
Asia dalam tatanan dunia mendatang? Ketua Dewan Direktur InaGoInvest,
Guspiabri Sumowigeno mengatakan, posisi Asia makin diperhitungkan.
Terlihat dari peristiwa yang baru sekali ini terjadi dalam sejarah,
yaitu dengan kunjungan Menlu AS Hillary Clinton tidak ke Eropa
sebagaimana tradisi selama ini, tetapi ke Jepang, Indonesia, Cina dan
Korea Selatan.
Kekuatan Asia yang
“bangkit” juga terlihat di lingkup korporasi. Dunia telah mengenal Sogo
Sosha Jepang dan Chaebol Korsel sebagai perusahaan kelas dunia.
Gelombang besar internasionalisasi perusahaan-perusahaan besar Cina dan
India bakal menyusul. Begitu juga dengan negara-negara lain seperti
Singapura, Malaysia, Qatar dan Uni Emirat Arab mulai aktif mengembangkan
perusahaan transnasional.
Namun, kekuatan
negara-negara Asia tersebut masih harus dibuktikan. Apalagi sistem
ekonomi yang diterapkan tetap menggunakan ekonomi kapitalis. Bisa jadi,
negara-negara Asia akan bernasib sama dengan negara AS dan Uni Eropa.
Kehancuran Ekonomi Kapitalis
Krisis ekonomi yang menimpa
negara-negara pengemban ideologi kapitalis menunjukkan sistem ekonomi
kapitalis tengah berada di tepi jurang yang dalam. Apalagi upaya
penyelamatan yang dilakukan tersebut ibarat ‘menjilat ludah sendiri’.
Pemerintah AS dan Eropa yang semula menentang intervensi pemerintah
dalam perekonomian justru ramai-ramai melakukan intervensi.
Setidaknya ada tiga upaya penyelamatan. Pertama: menyuntikkan modal untuk menyehatkan kembali likuiditas bank dan lembaga keuangan. Kedua:
negara mengintervensi pasar modal dengan membeli saham, obligasi dan
surat berharga yang sebagian besar sudah kehilangan nilainya. Ketiga: menurunkan suku bunga agar kredit meningkat dan selanjutnya akan menggerakkan kegiatan usaha di sektor riil.
Terlihat bagaimana solusi
yang diberikan kepitalis dalam menyelesaikan krisis itu tidak pernah
menyentuh penyebab utama terjadinya krisis finansial global; seperti
sistem ribawi perbankan, pasar keuangan, standar finansial pemerintah,
hak-hak kepemilikan atas akad, privatisasi aset-aset publik, struktur
perusahaan dan sebagainya. Bahkan sebagai gantinya hanya difokuskan pada
upaya menjaga sistem keuangan global. Lihat saja,
langkah-langkah itu hanya terfokus pada penurunan tingkat suku bunga
kredit sampai titik terendah sepanjang sejarah, pemotongan pajak,
penerapan disiplin bagi insentif finansial, penggelontoran dana ke
pasar. Harta-harta yang dihasilkan dengan jalan itu lalu digunakan untuk
membeli obligasi pemerintah, surat berharga yang mengalami tekanan,
obligasi perusahaan dan saham.
Aksi penyelamatan dan
suntikan dana yang sangat besar itu ternyata tak mampu menyelamatkan
perekonomian negara-negara kapitalis. Semua rencana penyelamatan tak
akan pernah mampu memperbaiki keadaan, kecuali sekadar obat yang
meringankan rasa sakit untuk sementara waktu. Krisis finansial global
menjadi bukti rapuhnya sistem ekonomi Kapitalisme.
Ini menjadi bukti, sistem
Kapitalisme merupakan ideologi batil dan rusak karena asas yang menjadi
pondasi adalah batil dan rusak yaitu sekularisme, pemisahan agama dari
kehidupan. Ini karena Kapitalisme tidak pernah memberikan hak bagi
Pencipta manusia dalam hukum dan penetapan hukum. Hak membuat hukum itu
adalah milik manusia.
Karena itulah sistem ekonomi kapitalis juga batil. Sebab, ekonomi Kapitalisme memandang
problem ekonomi adalah kelangkaan relatif. Artinya, dengan meningkatkan
produksi dan membiarkan manusia bertarung untuk meraihnya sesuai
dayabeli mereka. Jadi, pemilik modal akan hidup kenyang, sementara orang
miskin akan mati kelaparan.
Apalagi dalam sistem
ekonomi kapitalis, kepemilikan individu menjadi suatu yang mutlak.
Hasilnya adalah tirani kepemilikan individu terhadap kepemilikan publik
dan kepemilikan negara itu sendiri. Akibatnya, negara dan masyarakat
serta sebagian besar kekuatan ekonomi yang ada di suatu negeri menjadi
tergadai di tangan segelintir orang kaya yang rakus mengeksploitasi
kebebasan kepemilikan secara mutlak.
Dalam praktiknya, mereka
kemudian mendirikan bank-bank ribawi raksasa bertolak dari kebebasan
kepemilikan. Mereka juga mendirikan perusahaan-perusahaan kapitalis
raksasa, nyata maupun fiktif dan bermain-main di pasar keuangan.
Kemudian perusahaan dan bank itu mengendalikan pasar dan kekayaan,
serta
melahap perusahaan-perusahaan kecil. Fakta pun sudah terlihat sangat
jelas.
Solusi Krisis Ekonomi
Karena itu, sudah waktunya
sistem ekonomi alternatif, yakni sistem ekonomi Islam, diberlakukan.
Berbeda dari Kapitalisme, sistem ekonomi Islam tidak memandang problem
ekonomi itu sebagai masalah kelangkaan relatif, yaitu peningkatan
produksi dan membiarkan masyarakat bersaing memperolehnya sesuai
kemampuan daya beli.
Islam justru memandang
problem ekonomi adalah keadilan pendistribusian hasil produksi kepada
masyarakat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok bagi setiap
individu, baik sandang, pangan maupun papan; selain memberikan
kemungkinan kepada rakyat untuk bisa memenuhi kebutuhan sekunder dan
tersier secara adil dan proporsional.
Ekonomi Islam juga tidak
mengenal dualisme ekonomi, yaitu sektor riil dan sektor keuangan.
Artinya, aktivitasnya didominasi praktik yang terjadi pada ekonomi riil.
Dengan demikian, semua aturan ekonomi Islam memastikan agar perputaran
harta kekayaan tetap berputar.
Masyarakat pun didorong
untuk menanamkan modalnya di sektor riil. Artinya, tiap individu yang
memiliki lebih banyak uang akan diinvestasikan pada sektor ekonomi riil.
Hal itu memiliki efek berlipat karena berputarnya uang dari orang ke
orang yang lain.
Dengan demikian, sistem
ekonomi Islam memprioritaskan kebutuhan dan pemberdayaan masyarakat
secara riil, bukan sekadar pertumbuhan ekonomi saja. Sebab, sistem
ekonomi Islam menfokuskan pada manusia dan pemenuhan kebutuhannya, bukan
pertumbuhan ekonomi itu sendiri.
Sistem ekonomi Islam juga
melarang riba. Sebab, riba adalah induk bencana dan sumber penyakit.
Sudah sangat jelas bisnis perbankan semuanya tegak di atas spekulasi
keuangan yang dibangun di atas utang yang dikaitkan dengan riba. Padahal
keberadaan bunga dan pasar keuangan secara langsung adalah
faktor-faktor yang menghalangi perputaran harta.
Sebagai standar mata uang, sistem ekonomi Islam menetapkan emas dan perak sebaga back up
tetap bagi mata uang. Standar mata uang emas dan perak dapat mencegah
adanya fluktuasi dalam harga kurs yang berpengaruh negatif terhadap
kondisi ekonomi negara dan individu.
Sistem ekonomi Islam itu
adalah sistem ekonomi yang sahih, yang menyediakan kehidupan yang aman
dan baik untuk pihak yang kuat maupun yang lemah, kaya maupun miskin.
Dengan sistem itu mereka semuanya akan menjadi hamba-hamba Allah yang
saling bersaudara. [Yulianto; Disarikan dari makalah Konferensi Beirut
dan sumber lain]
Komentar
Posting Komentar