Sistem Keuangan Islam Global
Sistem keuangan
kapitalis telah terbukti menimbulkan krisis yang berulang. Bagaimana
solusi alternatifnya? Tulisan ini akan memberikan gambaran sistem
keuangan Islam global, menunjukkan ketangguhan sistem ekonomi Islam—yang
pernah diterapkan selama lebih dari 1200 tahun lamanya dan tidak pernah
mengalami krisis ekonomi global yang signifikan—serta menunjukkan peran
penting institusi pemerintah yang akan menerapkan sistem keuangan Islam
tersebut.
Sistem Keuangan Islam
Sistem keuangan Islam secara komprehensif terdiri dari: (1) Mata uang syar’i berdasarkan emas/perak; (2) Bebas riba; (3) Bertumpu pada ekonomi sektor riil.
Pertama:
Sistem ekonomi Islam telah menetapkan bahwa emas dan perak merupakan
mata uang, bukan yang lain. Mengeluarkan kertas substitusi harus
ditopang dengan emas dan perak, dengan nilai yang sama dan dapat
ditukar, saat ada permintaan. Dengan begitu, uang kertas negara manapun
tidak akan bisa didominasi oleh uang negara lain. Sebaliknya, uang
tersebut mempunyai nilai intrinsik yang tetap, tidak berubah.
Adapun landasan syar’i ditetapkannya sistem emas dan perak sebagai standar mata uang negara adalah sebagai berikut:
1. Islam mewajibkan diyat (denda) dengan kedua mata uang tersebut (dinar dan dirham).
Rasulullah saw. bersabda:
وَعَلَى أَهْلِ الذَّهَبِ أَلْفُ دِينَارٍ
Denda atas penimbun emas adalah seribu dinar (HR an-Nasa’i).
2. Nishâb (batas minimal) pencurian yang mengharuskan pelakunya dipotong tangan-nya adalah seperempat dinar atau lebih.
Sesungguhnya
Rasulullah saw. tidak memotong tangan pencuri dalam kasus pencurian yang
nilainya tiga dirham. Rasulullah saw. bersabda:
تُقْطَعُ الْيَدُ فِي رُبُعِ دِينَارٍ فَصَاعِدًا
Tangan (yang mencuri) dipotong pada (kasus pencurian) seperempat dinar atau lebih (HR al-Bukhari dan Muslim).
3. Islam mengharamkan menimbun emas dan perak.
Allah Swt. berfirman:
وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
Orang-orang yang menimbun emas dan perak serta tidak menginfakkannya di jalan Allah maka beritahulah mereka azab yang pedih. (QS at-Taubah [9]: 34).
4. Islam
mewajibkan zakat atas emas dan perak karena keduanya dianggap sebagai
mata uang dan sebagai standar harga barang dalam jual-beli dan
upah-mengupah tenaga kerja.
Aisyah ra. bertutur:
كَانَ يَأْخُذُ مِنْ كُلِّ عِشْرِينَ دِينَارًا فَصَاعِدًا نِصْفَ دِينَارٍ
Rasulullah saw. memungut zakat untuk setiap 20 dinar atau lebih sebesar setengah dinar (HR Ibn Majah).
Ketika Islam
menetapkan hukum-hukum pertukaran dalam muamalah, emas dan perak
dijadikan sebagai tolok-ukurnya. Rasulullah saw. melarang pertukaran
perak dengan perak atau emas dengan emas kecuali sama nilainya. Beliau
memerintahkan untuk memperjualbelikan emas dengan perak sesuai yang
diinginkan. Atas dasar semua itu, jelas bahwa sesungguhnya mata uang syar’i adalah emas dan perak.
Kedua:
Sistem keuangan Islam secara tegas melarang riba dan penjualan komoditi
sebelum dikuasai oleh penjualnya. Karena itu, haram menjual barang yang
belum menjadi miliknya secara sempurna. Haram memindahtangankan kertas
berharga, obligasi dan saham yang dihasilkan dari akad-akad yang batil.
Islam juga mengharamkan semua sarana penipuan dan manipulasi yang
dibolehkan oleh Kapitalisme, dengan klaim kebebasan kepemilikan.
Di Baitul Mal,
rakyat juga mendapat bagian khusus untuk pinjaman bagi mereka yang
membutuhkan, termasuk para petani, sebagai bentuk bantuan untuk mereka,
tanpa ada unsur riba sedikit pun di dalamnya (Lihat: QS al-Baqarah [2]:
278-279).
Berdasarkan hal
ini, seluruh transaksi riba yang tampak dalam sistem keuangan dan
perbankan modern (dengan adanya bunga bank) diharamkan secara pasti;
termasuk transaksi-transaksi turunannya yang biasa terjadi di
pasar-pasar uang maupun pasar-pasar bursa. Penggelembungan harga saham
maupun uang—sehingga tidak sesuai dengan harganya yang ‘wajar’ dan
benar-benar memiliki nilai intrinsik yang sama dengan nilai nominal yang
tercantum di dalamnya—adalah tindakan riba. Rasulullah saw.:
الذَّهَبُ
بِالذَّهَبِ وَاْلفِضَّةُ بِاْلفِضَّةِ وَاْلبُرُّ بِاْلبُرِّ والشَّعِيْرِ
بِالشَّعِيْرِ وّالتَّمَرُ بِالتَّمَرِ وَاْلمَلَحُ بِاْلمَلَحِ مَثَلاً
بِمَثَلٍ وَيَدًا بِيَدٍ فَمَنْ زَادَ اَوْ اْستَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى
(Boleh
ditukar) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum,
jewawut dengan jewawut, kurma dengan kurma, garam dengan garam yang
setara (sama nilai dan kualitasnya) dan diserahterimakan langsung (dari
tangan ke tangan). Siapa saja yang menambahkan (suatu nilai) atau
meminta tambahan sesungguhnya ia telah berbuat riba (HR al-Bukhari dan Ahmad).
Ketiga: Bertumpu pada ekonomi riil. Sistem
ekonomi Islam selalu menomorsatukan kebutuhan dan pemberdayaan
masyarakat secara riil—bukan sekadar pertumbuhan ekonomi saja—sebagai
isu utama yang memerlukan jalan keluar dan penerapan kebijakan. Sistem
Islam memiliki latar belakang pemikiran yang khas tentang ekonomi
sehingga jalur pengembangan ekonominya pun berbeda dari Kapitalisme.
Sistem Ekonomi Islam menfokuskan pada manusia dan pemenuhan kebutuhannya, bukan pada pertumbuhan ekonomi itu sendiri.
Dasar pemikiran
yang membentuk sistem ekonomi Islam melahirkan kebijakan dan peraturan
yang diarahkan untuk mencapai fokus tersebut. Islam menaruh perhatian
khusus untuk memenuhi kebutuhan manusia, ketimbang pada penambahan angka
GDP saja.
Ketangguhan Sistem Ekonomi Islam
1. Menggerakkan ekonomi riil.
Ekonomi Islam
tidak mengenal dualisme ekonomi, yaitu sektor riil dan sektor non riil,
yang aktivitasnya didominasi oleh praktik pertaruhan terhadap apa yang
akan terjadi pada ekonomi riil. Ekonomi Islam didasarkan pada ekonomi
riil. Dengan demikian, semua aturan ekonomi Islam memastikan agar
perputaran harta kekayaan tetap berputar secara luas.1
Larangan terhadap
adanya bunga (riba) bisa dipraktikan dengan melakukan investasi modal
di sektor ekonomi rill, karena penanaman modal di sektor lain (non-riil;
seperti pasar uang maupun pasar modal) dilarang dalam syariah.2
Kalaupun masih ada yang berusaha menaruh sejumlah modal sebagai tabungan
atau simpanan di bank (yang tentunya juga tidak akan memberikan bunga),
modal yang tersimpan tersebut juga akan dialirkan ke sektor riil bisa
dalam bentuk kerjasama (syarikah),3 sewa menyewa4 maupun transaksi perdagangan halal di sektor riil lainnya.5
Walhasil, setiap
individu yang memiliki lebih banyak kelebihan uang bisa
menginvestasikan-nya di sektor ekonomi riil, yang akan memiliki efek
berlipat karena berputarnya uang dari orang ke orang yang lain.
Sebaliknya, keberadaan bunga, pasar keuangan, dan judi secara langsung
adalah faktor-faktor yang menghalangi perputaran harta.
2. Menciptakan stabilitas keuangan dunia.
Dengan
diterapkannya sistem keuangan Islam (mata uang Islam dinar dan dirham,
larangan riba6 dan penerapan ekonomi berbasis sektor riil yang melarang
spekulatif di pasar keuangan derivatif7) akan tercipta stabilitas
keuangan dunia. Setelah lebih dari 14 abad daya beli/nilai tukar dinar
memiliki nilai yang tetap. Hal ini terbukti dengan daya beli 1 dinar
pada zaman Rasulullah saw. yang bisa ditukarkan dengan 1 ekor kambing.
Pada saat ini pun 1 dinar dapat ditukarkan dengan 1 ekor kambing (1
dinar sekarang sekitar Rp 800.000) (Iqbal, 2007, hlm. 55).8
3. Tidak mudah diintervensi asing/mandiri.
Negara yang
menerapkan sistem keuangan Islam secara komprehensif—sebagaimana telah
diuraikan—akan melaksanakan politik swasembada; mengurangi (meminimkan)
impor; menerapkan strategi substitusi terhadap barang-barang impor
dengan barang-barang yang tersedia di dalam negeri; serta meningkatkan
ekspor komoditas yang diproduksi di dalam negeri dengan komoditas yang
diperlukan di dalam negeri ataupun menjualnya dengan pembayaran dalam
bentuk emas dan perak atau dengan mata uang asing yang diperlukan untuk
mengimpor barang-barang dan jasa yang dibutuhkan.
Dengan menerapkan
sistem keuangan Islam global yang komprehensif negara menjadi kuat dan
mandiri.
Niscaya hal tersebut akan menjadikan negara tidak mudah
diintervensi oleh pihak asing.9
Khatimah
Berdasarkan
uraian tersebut, sistem keuangan Islam mustahil dilaksanakan oleh
individu atau sekelompok masyarakat saja. Kita tidak mungkin berharap
negara kapitalis sekular akan menerapkan sistem keuangan Islam tersebut.
Hanya institusi negara Khilafah yang mampu menerapkan sistem keuangan
Islam secara komprehensif.
Berdasarkan kaidah “Mâ lâ yatimm al- wâjib illâ bihi fa huwa wâjib
(Selama suatu kewajiban tidak sempurna kecuali dengan sesuatu maka
sesuatu itu menjadi wajib),” maka menjadi kewajiban kita bersama untuk
mendirikan negara Khilafah Rasyidah yang mengemban dan menerapkan
syariah Islam (termasuk sistem keuangan Islam), yang akan menghidupkan
kita dalam kehidupan yang indah, aman dan menenteramkan dalam limpahan
keberkahan Allah ‘Azza wa Jalla. [Muhammad Sholahuddin, SE, M.Si.; Direktur Pusat Studi Ekonomi Islam Univ. Muhammadiyah Surakarta]
============================================
Syariah yang Mensejahterakan
Editor Khilafah Magazine10
(2006) menceritakan, pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab, Jazirah
Arab dilanda musim paceklik berkepanjangan sehingga penduduk daerah itu
membutuhkan bahan makanan dalam jumlah besar. Ketika Amirul Mukminin
Umar bin Khaththab meminta bantuan Gubernur Amru bin Ash yang berada di
daerah Afrika, respon al-Ash terlihat dari suratnya yang isinya
memberitahukan kepada Khalifah bahwa ia telah mengirimkan unta (yang
memuat bahan makanan) yang rombongan pertamanya ada di Khalifah
(Madinah), sedangkan rombongan terakhirnya ada di al-Ash (Mesir,
Afrika).
Pada masa
Khalifah Umar ra., di Yaman, misalnya, Muadz bin Jabal sampai kesulitan
menemukan seorang miskin pun yang layak diberi zakat.11 Pada masanya,
Khalifah Umar bin al-Khaththab mampu menggaji guru di Madinah
masing-masing 15 dinar (sekitar Rp 8,5 juta/bulan).12
Lalu pada masa
Khalifah Umar bin Abdul Aziz, Yahya bin Saad diutus Khalifah untuk
mendistribusikan dana zakat di Baitul Mal (Kas Negara) untuk rakyat
Afrika Utara, namun beliau tidak menemukan seorang pun fakir-miskin yang
berhak menerima zakat.13
Peristiwa ini
menggambarkan bahwa di dalam sejarah sistem Islam (saat sistem keuangan
dan ekonomi Islam diterapkan) dalam naungan Khilafah, tidak ada penduduk
Afrika yang fakir-miskin, tidak pernah ada yang terzalimi. Namun
sebaliknya, kita perlu mempertanyakan, mengapa negeri-negeri Afrika
merasakan penderitaan, kemiskinan dan kesenjangan yang luar biasa sejak
negara-negara imperialis Eropa menjajah berbagai negeri di Afrika (abad
ke-18) sampai sekarang?
Catatan kaki:
- Harta jangan hanya berputar di kalangan orang kaya saja (QS al-Hasyr: 7).
- Silakan baca tulisan Ustadz Hafidz Abdurrahman “Soal Jawab: Hukum Pasar Modal” (http://hizbut-tahrir.or.id/2008/10/13/soal-jawab-hukum-pasar-modal/).
- Taqyudin an-Nabhani, 2002, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif, Penerbit: Risalah Gusti, hlm.: 153-167.
- M. Sholahuddin, 2007, Asas-asas Ekonomi Islam, Penerbit PT Rajagrafindo Jakarta
- Ibid.
- Mulya E. Siregar (2001) dalam bukunya: Manajemen Moneter Alternatif. Dalam: Dinar Emas – Solusi Krisis Moneter. Penyunting: Ismail Yusanto dkk. Penerbit: Pirac, SEM Institute, Infid. Jakarta, telah memberi penjelasan tentang dampak dari adanya suku bunga terhadap ketidakstabilan ekonomi tersebut.
- Prof. John Gray dari Oxford University menyatakan bahwa motif transaksi murni dalam pasar valas telah berubah menjadi perdagangan derivatif yang penuh dengan motif spekulasi. Hanya 5% dari $1,2 triliun perhari transaksi keuangan yang berorientasi kepada sektor riil dan selebihnya (95%) adalah transaksi spekulatif yang tidak mendukung pertumbuhan sektor riil sama sekali (Adiwarman Karim. 2002, Ekonomi Islam – Suatu Kajian Ekonomi Makro, IIIT & Karim Business Consulting, Jakarta).
- Iqbal, M. (2007). Mengembalikan Kemakmuran Islam Dengan Dinar & Dirham. Depok: Spiritual Learning Centre & Dinar Club.
- Intervensi asing di Indonesia dapat dibaca pada website dengan alamat http://jurnal-ekonomi.org/2008/09/05/intervensi-asing-di-sektor-energi-terkuak/ dan http://jurnal-ekonomi.org/2008/02/26/bisnis-indonesia-sbn-dapat-kurangi-intervensi-asing/
- Khilafah Magazine, No. 10/Tahun 1, Juli 2006
- Abu Ubaid menuturkan, Al-Amwâl, hlm. 596.
- Ash-Shinnawi (2006).
- Ibnu Abdil Hakam, Sîrah ‘Umar bin Abdul ‘Azîz, hlm. 59.
Komentar
Posting Komentar