Bagaimana Khilafah Mengatasi Defisit Anggaran?
Defisit anggaran (budget deficit) dalam literatur didefinisikan sebagai “the gap between the public revenues and expenditures”,
atau selisih minus pendapatan dengan belanja publik. (Monzer Kahf,
1994). Dengan kata lain, defisit anggaran adalah defisit dalam APBN
karena pengeluaran negara lebih besar daripada penerimaan negara.
Contohnya APBN Indonesia untuk tahun 2014; belanja negara besarnya Rp
1.842,5 triliun, sedangkan pendapatannya Rp 1.667,1 triliun. Jadi
terdapat defisit sebesar Rp 175,4 triliun. (finance.detik.com, 28/10/2013).
Anggaran defisit seperti ini adalah
problem universal. Artinya, dapat terjadi di negara mana pun tanpa
melihat ideologinya, baik di negara kapitalis-sekular, negara
sosialis/komunis, maupun di negara Khilafah yang menerapkan syariah
Islam secara kaffah (komprehensif). Yang berbeda hanyalah
faktor-faktor penyebabnya dan solusi praktis untuk mengatasi persoalan
berdasarkan perspektif ideologi masing-masing.
Menurut Umer Chapra dalam bukunya, Islam and the Economic Challenge
(1992), di negara-negara kapitalis (termasuk di Dunia Islam) terdapat 4
(empat) faktor umum yang menyebabkan defisit anggaran yaitu: belanja
pertahanan yang tinggi; subsidi yang besar; belanja sektor publik
(seperti belanja birokrat) yang besar dan tak efisien; korupsi dan
pengeluaran yang boros (Monzer Kahf, 1994).
Untuk mengatasi problem defisit anggaran
ini, solusi universalnya ada 3 (tiga), yaitu: menambah pendapatan;
mengurangi belanja; dan berutang baik utang luar negeri maupun utang
dalam negeri. Di negara-negara kapitalis, cara menambah pendapatan pada
umumnya adalah meningkatkan pajak, dan kadang dengan mencetak mata uang.
Untuk konteks Indonesia, cara yang ditempuh untuk mengatasi defisit
anggaran adalah meningkatkan pajak dan berutang. (Subiyantoro &
Riphat, 2004; Kartikasari, 2010).
Khilafah dan APBN
Sebelum dibahas cara Khilafah mengatasi
defisit anggaran, mungkin perlu dibahas dulu, apakah dalam Khilafah ada
APBN? Kalau ada, siapakah yang mempunyai otoritas menyusun APBN itu? Apa
bedanya APBN dalam negara kapitalis-sekular dengan APBN dalam negara
Khilafah?
APBN secara umum adalah daftar
sistematis dan rinci yang memuat rencana pendapatan dan pengeluaran
negara selama satu tahun anggaran. APBN dalam negara kapitalis-sekular
disusun oleh Pemerintah dan harus mendapat persetujuan DPR agar menjadi
UU (undang-undang) yang berlaku untuk satu tahun.
APBN dalam arti seperti ini tidak pernah
dikenal oleh kaum Muslim dalam sejarah Islam. Yang dikenal oleh umat
Islam adalah institusi Baitul Mal. Namun demikian, fungsi Baitul Mal
ternyata memiliki kesamaan dengan fungsi Pemerintah terkait APBN, yaitu
mengelola pendapatan dan pengeluaran negara. Maka dari itu, tidak ada
larangan bagi umat Islam untuk menggunakan istilah APBN dalam negara
Khilafah, asalkan tetap memperhatikan perbedaan APBN negara kapitalis
dengan APBN negara Khilafah.
Terdapat setidaknya 4 (empat) perbedaan mendasar antara APBN negara kapitalis dengan APBN negara Khilafah:
(1) Dari segi keterikatannya dengan
halal-haram (syariah). APBN negara kapitalis tidak terikat dengan
halal-haram, sedangkan APBN Khilafah terikat dengan halal-haram.
(2) Dari segi jenis-jenis
pengeluaran atau pendapatan. Dalam APBN negara kapitalis, jenis-jenis
pengeluaran atau pendapatan ditetapkan oleh Pemerintah dan DPR,
sedangkan dalam APBN Khilafah, tidak ditetapkan oleh Khalifah atau
Majelis Umat, namun ditetapkan oleh hukum-hukum syariah yang bersifat
tetap (fixed).
(3) Dari segi besarnya dana untuk
masing-masing jenis pengeluaran atau pendapatan. Dalam APBN negara
kapitalis, besarnya dana ditetapkan oleh Pemerintah dan DPR, sedangkan
APBN Khilafah ditetapkan oleh Khalifah sebagai kepala negara, karena
merupakan ri’ayatus-syu‘un (pengaturan urusan rakyat) yang menjadi hak Khalifah, tanpa ada kewajiban mendapatkan persetujuan Majelis Umat.
(4) Dari segi periode waktu
berlakunya APBN. APBN dalam negara kapitalis berlaku untuk periode satu
tahun, sedangkan APBN Khilafah tidak mengenal periode waktu yang
tertentu. (Lihat: Taqiyudddin an-Nabhani, Muqaddimah Ad-Dustur, 2/113-114; Al-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam, hlm. 235-236).
Perbedaan APBN negara kapitalis dengan APBN Khilafah di atas disajikan secara ringkas dalam tabel berikut ini:
No | Aspek | APBN Kapitalis | APBN Khilafah |
1 | Keterikatan dengan halal haram (syariah) | Tidak terikat | Terikat |
2 | Jenis-jenis pendapatan dan pengeluaran | Ditetapkan pemerintah dan DPR | Ditetapkan oleh Syariah Islam |
3 | Besarnya dana untuk masing-masing jenis pendapatan dan pengeluaran | Ditetapkan pemerintah dan DPR | Ditetapkan oleh Khalifah |
4 | Periode | Tahunan | Tidak ada periode |
Cara Khilafah Mengatasi Defisit Anggaran
Pendapatan negara Khilafah mungkin saja
tidak cukup untuk membiayai semua pengeluarannya sehingga terjadilah
defisit anggaran. Cara Khilafah mengatasi defisit anggaran ini secara
garis besar ada 3 (tiga) langkah sebagai berikut:
Pertama, meningkatan pendapatan. Untuk mengatasi defisit anggaran, Khalifah
berhak melakukan berbagai upaya dalam rangka meningkatkan pendapatan
negara, tentunya harus tetap sesuai hukum-hukum syariah Islam. Paling
tidak ada 4 (empat) cara yang dapat ditempuh:
(1) Mengelola harta milik negara (istighlal amlak ad-dawlah). Misalnya saja menjual atau menyewakan harta milik negara, seperti tanah atau bangunan milik negara. Khalifah boleh saja menjual atau menyewakan tanah-tanah di dalam kota untuk membangun pemukiman, pasar-pasar, gudang-gudang, dan sebagainya. Khalifah boleh juga mengelola tanah perkebunan milik negara, baik sebagian atau seluruhnya, dengan akad musaqah, yakni bagi hasil dari merawat pohon, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah saw. di Tanah Khaibar, Fadak, dan Wadil Qura. Khalifah boleh juga mengelola tanah pertanian milik negara, dengan membayar buruh tani yang akan mengelola tanah pertanian tersebut.
Semua dana yang yang diperoleh dari
pengelolaan harta milik negara di atas akan dapat menambah pendapatan
negara. Namun, ada catatan penting, bahwa ini tak berarti negara menjadi
pedagang atau pebisnis yang berpikir dan bertindak sebagaimana lazimnya
pedagang atau pebisnis, yaitu selalu berusaha mencari profit dan
menghindari risiko atau kerugian. Negara dalam hal ini wajib tetap
mengedepankan fungsinya menjalankan ri’ayatus-syu‘un
(pengaturan urusan rakyat). Dengan demikian ketika negara berbisnis
harus tetap menonjolkan misi utamanya melaksanakan kewajiban ri’ayatus-syu‘un (Abdul Qadim Zallum, Al-Amwal fi Dawlah al-Khilafah, hlm. 86-87).
(2) Melakukan hima pada sebagian harta milik umum. Yang dimaksud hima adalah pengkhususan oleh Khalifah terhadap suatu harta untuk suatu keperluan khusus, dan tidak boleh digunakan untuk keperluan lainnya. Misalkan saja Khalifah melakukan hima pada tambang emas di Papua untuk keperluan khusus, misalnya pembiayaan jihad fi sabilillah dan apa saja yang terkait dengan jihad. Karena itu segala pendapatan dari tambang emas Papua itu hanya boleh digunakan untuk keperluan jihad atau yang terkait dengan jihad, seperti pembangunan akademi militer, pembelian alutsista (alat utama sistem persejataan), pembiayaan latihan militer, dan sebagainya. Jadi pendapatan dari tambang Papua itu tak boleh digunakan untuk keperluan lainnya, misalnya untuk mengentaskan kemiskinan, atau membiayai pendidikan, dan sebagainya.
Hima yang seperti ini pernah dilakukan oleh Rasulullah saw., misalnya tatkala Rasulullah saw. melakukan hima pada satu padang gembalaan di Madinah yang dinamakan An-Naqi’, khusus untuk menggembalakan kuda kaum Muslim. Khalifah Abu Bakar ra. pernah pula melakukan hima pada Ar-Rabdzah, khusus untuk unta-unta zakat, dan sebagainya. (Abdul Qadim Zallum, Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah, hlm. 76-77).
(3) Menarik pajak (dharibah) sesuai ketentuan syariah. Pada dasarnya pajak bukanlah pendapatan negara yang bersifat tetap, melainkan pendapatan negara yang sifatnya insidentil atau temporer, yaitu ketika dana Baitul Mal tidak mencukupi.
Imam Taqiyuddin an-Nabhani menggariskan
bahwa pajak hanya dapat ditarik oleh Khalifah ketika ada kewajiban
finansial yang harus ditanggung bersama antara negara dan umat, misalnya
menyantuni fakir miskin. Jika kewajiban finansial ini hanya menjadi
kewajiban negara saja, misalnya membangun jalan atau rumah sakit
tambahan yang tak mendesak, pajak tak boleh ditarik.
Terdapat 4 (empat) pengeluaran yang dapat dipenuhi dengan pajak (dharibah) jika tak ada dana mencukupi di Baitul Mal, yaitu: (1) untuk nafkah fuqara, masakin, ibnu sabil dan jihad fi sabilillah;
(2) untuk membayar gaji orang-orang yang memberikan jasa atau pelayanan
kepada negara seperti pegawai negeri, para penguasa, tentara, dll; (3)
untuk membiayai kepentingan pokok yang mendesak (yakni yang menimbulkan
bahaya jika tidak ada) seperti jalan utama, rumah sakit utama, jembatan
satu-satunya, dll; (4) untuk membiayai dampak peristiwa-peristiwa luar
biasa, seperti menolong korban gempa bumi, banjir, angin topan,
kelaparan, dll. (Taqiyuddin An-Nabhani, Muqaddimah Ad-Dustur, 2/122).
Pajak yang boleh ditarik dalam Khilafah harus memenuhi 4 (empat) syarat: (1) diambil
dalam rangka membiayai kewajiban bersama antara negara dan umat; (2)
hanya diambil dari kaum Muslim saja; (3) hanya diambil dari Muslim yang
mampu (kaya), yaitu yang mempunyai kelebihan setelah tercukupinya
kebutuhan dasar yang tiga (sandang, pangan, dan papan) secara sempurna;
(4) hanya diambil pada saat tidak ada dana di Baitul Mal. (Muqaddimah Ad-Dustur, 2/108-110; Al-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam, hlm. 242).
(4) Mengoptimalkan pemungutan pendapatan. Khalifah dapat pula menempuh langkah mengoptimalkan pemungutan berbagai pendapatan Baitul Mal yang sebelumnya sudah berlangsung. Misalnya pendapatan dari zakat, fai‘, kharaj, jizyah, harta milik umum, ‘usyur, dan sebagainya. Bisa jadi pemungutan sudah dilakukan, tetapi tidak optimal karena berbagai sebab; mungkin karena kurang profesionalnya staf Baitul Mal, atau ada sebagian hasil pemungutan yang digelapkan atau dikorupsi, atau ada kesalahan pencatatan dan perhitungan, dan sebagainya. Yang bertanggung jawab dalam optimalisasi pemungutan ini adalah dua organ Baitul Mal, yaitu Diwan Muhasabah ‘Aammah (Divisi Perhitungan Umum) dan Diwan Muraqabah (Divisi Pengawasan). (Abdul Qadim Zallum, Al-Amwal fi Dawlah al-Khilafah, hlm. 24).
Kedua, menghemat pengeluaran.
Cara kedua untuk mengatasi defisit anggaran adalah dengan menghemat
pengeluaran, khususnya pengeluaran-pengeluaran yang dapat ditunda dan
tidak mendesak. Contohnya pengeluaran untuk kepentingan-kepentingan yang
sifatnya penyempurna, atau yang disebut Al-Mashalih al-Kamaliyah, yang patokannya adalah kepentingan yang jika tidak dilaksanakan tidak menimbulkan bahaya (dharar) bagi rakyat (Taqiyuddin An-Nabhani, Muqaddimah Ad-Dustur,
2/125). Misal: perluasan jalan raya yang tidak mendesak, yaitu jika
jalan tak diperluas tak menimbulkan masalah pagi pengguna jalan; atau
membangun rumah sakit baru yang tak mendesak karena rumah sakit yang ada
masih mencukupi; atau membangun jembatan kedua padahal jembatan pertama
masih layak dan masih mampu menampung volume lalu-lintas; atau
menyediakan baju atau mobil dinas baru bagi Khalifah dan aparat
pemerintah lainnya, padahal baju dan mobil dinas yang lama masih layak.
Ketiga, berutang (istiqradh). Khalifah secara syar’i
boleh berutang untuk mengatasi defisit anggaran, namun tetap wajib
terikat hukum-hukum syariah. Haram hukumnya Khalifah mengambil utang
luar negeri, baik dari negara tertentu, misalnya Amerika Serikat, atau
dari lembaga-lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia.
Alasan keharamannya ada 2 (dua):
(1) Utang-utang luar negeri itu pasti
menarik bunga, yang jelas-jelas merupakan riba yang diharamkan dalam
al-Quran (QS al-Baqarah [2]: 275).
(2) Utang luar negeri itu pasti
mengandung syarat-syarat yang menghilangkan kedaulatan negeri yang
berutang. Hal ini jelas diharamkan karena Islam mengharamkan segala
jalan yang mengakibatkan kaum kafir mendominasi kaum Muslim (QS an-Nisa‘
[4]: 141). (Abdul Qadim Zallum, Al-Amwal fi Dawlah al-Khilafah, hlm. 76; Abdurrahman Al-Maliki, As-Siyasah Al-Iqtishadiyyah Al-Mutsla, hlm. 200-207).
Khalifah hanya boleh berutang dalam kondisi ada kekhawatiran terjadinya bahaya (dharar) jika dana di Baitul Mal tidak segera tersedia. Kondisi ini terbatas untuk 3 (tiga) pengeluaran saja, yaitu: (1) untuk nafkah fuqara, masakin, ibnu sabil, dan jihad fi sabilillah;
(2) untuk membayar gaji orang-orang yang memberikan jasa atau pelayanan
kepada negara seperti pegawai negeri, para penguasa, tentara, dll; (3)
untuk membiayai dampak peristiwa-peristiwa luar biasa, seperti menolong
korban gempa bumi, banjir, angin topan, kelaparan, dll. Pada tiga macam
pengeluaran ini, jika dana tidak cukup di Baitul Mal, pada awalnya
Khalifah boleh memungut pajak. Jika kondisi memburuk dan dikhawatirkan
dapat muncul bahaya (dharar), Khalifah boleh berutang (Taqiyuddin An-Nabhani, Muqaddimah Ad-Dustur, 2/122-123).
WalLahu a’lam. [KH. M. Shiddiq Al-Jawi]
Daftar Pustaka
Al-Maliki, Abdurrahman, As-Siyasah al-Iqtishadiyyah al-Mutsla, ttp: tp, 1963.
An-Nabhani, Taqiyudddin, An-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam, Beirut: Darul Ummah, 2004.
—————, Muqaddimah ad-Dustur, Juz II, Beirut: Darul Ummah, 2010.
Kahf, Monzer, “Budget Deficit and Public Borrowing Instruments in An Islamic Economic Sistems,” dalam The American Journal of Islamic Social Sciences, 11:2, 1994.
Kartikasari, Endah, Membangun Indonesia Tanpa Pajak dan Utang, Bogor: Al-Azhar Press, 2010.
Qahf, Munzir, Tamwil al-‘Ajz fi al-Mizaniyah al-’Ammah li ad-Daulah min Wijhah Nazhar Islamiyyah, ttp: Maktabah Al-Malik Fahad Al-Wathaniyyah, 1417 H (1997).
Subiyantoro, Heru & Riphat, Singgih (ed.), Kebijakan Fiskal Pemikiran, Konsep, dan Implementasi, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2004.
Zallum, Abdul Qadim, Al-Amwal fi Dawlah al-Khilafah, Beirut: Darul Ummah, 2004.
Komentar
Posting Komentar