Jangan Lupakan Value of Prosperity Dalam Bisnis Kita!



                                                                   Erik H Sitepu
Koordinator Komunitas Pengusaha Rindu Syariah Riau
Banyak sekali pengusaha yang mengaku mereka adalah pengusaha muslim, tetapi ketika gagal dalam bisnisnya selalu menjustifikasi bahwa dunia ini hanya hiasan semata, dunia hanya sementara, uang tidak dibawa mati, dan segudang alasan lainnya sehingga mesjid menjadi sekadar tempat “persembunyian” mereka ketika mereka gagal memenuhi value of prosperity (Al Qimah Al Madiyyah). Bahkan secara masif telah terjadi pemahaman yang keliru tentang uang dan harta. Pemahaman seperti ini terjadi karena kebanyakan maklumat tsabiqoh (informasi sebelumnya, salah satu unsur proses berpikir) yang diterima sejak kita kecil bersifat negatif, seperti uang merusak persahabatan dan persaudaraan, uang itu kotor, orang kaya itu sombong, dan kata-kata yang paling favorit : uang adalah akar masalah. Dengan kondisi pemahaman seperti ini, wajar saja, banyak diantara saudara kita kaum muslimin “mengesampingkan” value of prosperity ini, dan hanya nyaman ketika mereka bersentuhan dengan nilai kemanusiaan (Al Qimah Al Insaniyyah), nilai etik (Al Qimah Al Akhlaqiyyah), dan terutama nilai spiritual (Al Qimah Al Ruhiyyah).

Padahal jika kita menganalisa hukum syara’ yang memerintah kita melakukan perbuatan tertentu, kita akan menemukan bahwa kita harus seimbang dalam mengusahakan keempat nilai-nilai di atas. Islam tidak mengajarkan kita fokus hanya pada nilai ruhiyyah dan melupakan nilai-nilai yang lain, demikian juga sebaliknya. Masalahnya bukan kita tidak boleh fokus ke nilai ruhiyyah, tetapi kita juga harus ingat ada nilai-nilai yang lain yang juga harus kita usahakan dalam hidup kita, termasuk value of prosperity (Al Qimah Al Madiyyah).

Value of prosperity adalah sesuatu yang kita usahakan berhubungan dengan materi, misalnya uang, tabungan, rumah, kendaraan, dan hal yang berbentuk benda/materi. Allah telah memerintahkan kita untuk memenuhi value of prosperity. Sebagai contoh, ketika Allah memerintahkan jual beli, bekerja, ataupun membentuk syirkah (kerjasama usaha, seperti syirkah mudharabah, syirkah abdan dll) adalah untuk merealisasikan value of prosperity. Al Qimah Al Madiyyah ini erat kaitannya dengan ketiga nilai yang lain. Misalnya dengan uang, kita bisa pergi haji, membayar zakat, bersedekah, membantu orang yang dalam kesusahan, memberikan pendidikan yang baik kepada anak kita, dan banyak amal shalih lain yang bisa kita lakukan dengan uang.

Jika uang beredar di tangan orang orang yang shalih maka tidak mungkin mereka membuat bisnis yang melanggar syara seperti judi on line, bisnis esek-esek, dugem, dan aktivitas bisnis lainnya yang dimurkai oleh Allah. Bahkan ketika uang beredar di tangan orang orang yang shalih maka yang terjadi adalah uang dimanfatkan di jalan Allah. Mari kita flash back ke 1.400 tahun yang lalu, ketika dakwah Rosul didukung oleh para pengusaha seperti Abu Bakar As sidiq, Umar bin Khatab, Usman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, banyak yang sudah mereka lakukan dengan harta mereka untuk tegaknya Islam di muka bumi ini. Para sahabat Rosul yang juga adalah pengusaha ini telah menorehkan tinta emas dalam sejarah kegemilangan Islam.

Now, the big question… apakah kita hanya fokus ke value of prosperity saja? The answer is absolutely NO. Nilai-nilai yang lain juga harus seimbang, jadi ibaratnya roda harus bulat dan seimbang sehingga hidup kita menjadi lebih sempurna. Sekarang, no but, no if, no reason, keempat nilai tersebut harus seimbang sesuai dengan tuntunan syara’, termasuk kita harus mengusahakan value of prosperity (Al Qimah Al Madiyyah) yang selama ini termarginalkan karena pemahaman yang salah.
Mari wujudkan bisnis yang penuh ‘berkat’ (profit yang tumbuh dan sinambung) dan berkah (penuh dengan keberkahan).


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kekhawatiran Barat akan bangkitnya Ideologi Islam

Struktur Negara Khilafah