Cengkraman Ekonomi Kapitalisme Amerika dan Solusi Kebijakan Ekonomi Khilafah
Amerika adalah sebuah Negara adidaya
yang ekonominya 100% berbasis sistem ribawiyah-spekulatif (kapitalisme) dan
merupakan penghela utama peradaban barat-modern. Banyak sekali orang yang
tersihir oleh kehebatan teknologi negeri itu, terpesona oleh kekayaannya yang
luar biasa, sehingga sama sekali tidak mengira bahwa sebenarnya negara adidaya
itu mengumpulkan kekayaan dunia lewat beberapa manipulasi. Diantaranya :
1. 1. Selama
ini Amerika Serikat membiayai pertumbuhan domestiknya lewat tabungan
bangsa-bangsa lain di dunia. Semenjak ditinggalkannya standar emas, Amerika
telah memetik keuntungan sebagai pemimpin kurs mata uang. Ini berarti bahwa
mereka diuntungkan dari dollar untuk digunakan diseluruh dunia. Mereka
diuntungkan dari hak untuk menetapkan suku bunga demi kepentingan domestiknya
ketimbang kepentingan global. Dampak negatifnya terasa ketika Amerika Serikat
meningkatkan suku bunganya tinggi sekali, mengakibatkan jatuhnya keuangan
Mexico dan dimulainya krisis utang yang memukul Negara-negara yang lebih
miskin. Semenjak itu, banyak Negara terjebak dalam perangkap utang.
2. 2. Amerika
serikat menyangkal telah mengendalikan ekonomi lebih dari 2/3 penduduk dunia.
Sebagian besar bangsa-bangsa di dunia mempunyai suara di IMF dan kecil
kekuasaannya untuk menginisiatifkan perubahan yang positif di WTO (World Trade
Organization), umpanya, setelah krisis ekonomi asia tenggara, IMF memaksakan
syarat terhadap Thailand, korea Selatan dan Indonesia. Bahwa mereka harus
membuka kepemilikan asing yang lebih besar dalam perekonomian mereka- atas
tuntutan Amerika.. lewat syarat-syarat pinjaman seperti itu, bisnis dan
perusahaan teknologi Amerika menjadi pemilik tunggal atau sebagian dari
bank-bank lembaga-lembaga keuangan dan sector-sektor teknologi kunci di
Negara-negara berkembang.
3. 3. Amerika
Serikat menafsirkan ‘liberalisasi perdagangan’ sebagai satu arah, membuka akses
bagi perusahaan multi nasional serta bisnis Amerika (ke Negara-negara berkembang)..
dibawah kesepakatan WTO tentang agriculture dan program-program penyesuain
structural yang dipaksakan oleh bank Dunia/ IMF, Negara-negara berkembang harus
mengadakan perubahan-perubahan besar dalam kebijakan pangan serta agriculture
mereka, sambil mengurangi dan membatasi dukungan terhadap petani-petani mereka
sendiri. Itu
memungkinkan Amerika dan Uni Eropa untuk mengekspor barang-barang mereka dengan
harga murah ke Negara-negara berkembang dimana para petani karena tidak dapat
bersaing terpaksa gulung tikar. Impor murah oleh Negara-negara berkembang
tersebut masuk lewat saluran komersil dan lewat banting harga makanan yang
dijual dibawah biaya produksi untuk menghabiskan kelebihan stok. Di Ghana,
misalnya, petani setempat tidak dapat memperoleh harga ekonomis untuk hasil
produksi mereka seperti jagung, beras, kacang kedelai, kelinci, dan kambing,
bahkan di pasar-pasar di desapun para petani terpaksa membayar mahal untuk
kebutuhannya- pupuk dan pembasmi hama impor yang mahal dan bahkan terkadang
benih pun- dan biasanya menerima keuntungan lebih sedikit atas hasil produsi
mereka sendiri. Tetapi harga makanan tidak. Orang pedesaan menderita, terlepas
dari meningkatnya produksi, dan kemerosotan yang parah dalam taraf hidup
terutama di kalangan orang miskin di pedesaan. Akibatnya, tidak terhitung
banyaknya petani terpaksa pindah ke kota-kota yang sudah terlalu sesak untuk
mencari nafkah. Demikianlah, pertanian setempat hancur, produksi makanan
domestic hancur dan jaminan makanan Negara yang bersangkutan sangat tidak dapat
di andalkan. Cerita ini terulang dari Negara ke Negara.
4. 4. Amerika
serikat mempromosikan jenis ‘kebebasan ekonomi’ yang sesungguhnya menghancur
kebebasan ekonomi orang miskin. Ini telah menjadikan Negara-negara berkembang
terjepit : disatu pihak ini membuka lahan untuk bisnis-bisnis berteknologi
tinggi Amerika untuk masuk secara bebas dan menangkap pasar dunia : dilain
pihak, ini telah menghambat upaya-upaya Negara berkembang untuk meningkatkan
produk serta ekspor mereka sendiri, dan menghambat mereka memasuki pasar
Amerika. Inilah yang dikenal sebagai perekonomian pasar bebas.. yang demikian
agresif di promosikan oleh WTO dan IMF itu, tidak leboh daripada perampasan
yang hanya menguntungkan yang kaya, sambil menjadikan yang miskin semakin rentan
terhadap ketidakpastian makan.
Sebagia
akibat dari kebijakan Amerika, dalam satu harinya dibawah globalisasi,
Negara-negara miskin mengalami kerugian hamper US $ 2 Milyar akibat perdagangan
internasional yang terkendalim, 30.000 anak-anak meninggal dunia karena
penyakit-penyakit yang seharusnya dapat dicegah dan US $ 60 juta terkuras dari
Negara miskin ke Negara kaya dalam bentuk utang.
5. 5. Amerika
serikat secara sistematis menghambat upaya Negara berkembang yang paling payah
untuk memerangi kemiskinan dan memberi makan penduduknya. Amerika memberlakukan
tarif-tarif yang luar biasa (tinggi) atas barang-barang pertanian kunci seperti
beras, gula dan kopi; atas kelapa, umpanya Amerika memberlakukan tarif lebih
dari 100%. pembatasan-pembatasan perdagangan ini membuat Negara-negara yang
lebih miskin di dunia ini harus membayar US $ 2,5 Milyar pertahunnya karena
kerugian dalam pertukaran kurs mata uang. Dampak
keseluruhannya luar biasa. Di Haiti, misalnya, liberalisasi pasar bebas dan
belakangan meningkatnya impor yang disubsidi Amerika bukan saja menghancurkan
produksi beras setempat dan nafkah tidak terhitung banyak petani, melainkan
juga telah mengancam pangan nasional. Dalam bidang-bidang yang padat karya
serta menciptakan lapangan kerja seperti tekstil. Alas kaki dan pertanian,
banting harga produk-produk Amerika, dengan harga yang lebih rendah daripada
biaya produksinya, telah menghancurkan nafkah penduduk yang rentan dan
menjadikan mereka meralat.
6. 6. Amerika
serikat menipu Negara-negara berkembang yang paling payah, sehingga
meningkatkan kemiskinan. Umpanya, bagaimana Undang-undang pertumbuhan dan
peluang Afrika (AGOA) yang diberlakukan menjadi undang-undang oleh presiden
Goerge W. Bush pada tahun 2001, menipu Negara-negara Afrika. AGOA seharusnya
dimaksudkan untuk memberi perekonomian Afrika akses bebas bea masuk bagi produk
mereka ke pasar Amerika sebagai imbalan atas konsesi tertentu bagi Amerika
serta perusahaan-perusahaannya. Lalu apa yang benar-benar diperoleh Negara-negara
Afrika tersebut?
Pemerintah
Amerika memberikan akses hanya kepada barang-barang yang diputuskannya sebagai
tidak akan berdampak negative terhadap produsen-produsen Amerika. Jadi kopi,
gula dan produk lain yang memberikan manfaat ekonomi bagi Negara-negara Afrika
itu tidak termasuk.
Dan
apa yang diperoleh Amerika sebagai balasannya? AGOA menuntut bahwa
Negara-negara Afrika itu harus: 1) menghapus hambatan terhadap semua
perdagangan dan investasi Amerika di Afrika, memperlakukan
perusahaan-perusahaan Amerika sama seperti perusahaan-perusahaan Afrika
sendiri, dan melindungi hak intelektual Amerika menurut standar Internasional;
2) melanjutkan privatisasi dan menghapuskan subsidi-subsidi pemerintah dan
pengendalian harga; 3) menjamin standar-standar tenaga kerja internasional dan
menetapkan usia minimal untuk tenaga kerja anak-anak; dan 4) tidak melibatkan
diri dalam tindakan apa pun yang mengancam keamanan nasional Amerika dan
kepentingan kebijakan luar negeri Amerika. Demikianlah, sementara Amerika
mendapatkan manfaat nyata dan konkrit dari AGOA, manfaat bagi Afrika sendiri
jelas-jelas semu. Kesepakatan seperti itulah yang terutama bertanggungjawab
atas meningkatnya kemiskinan absolute di Afrika selama dua decade terakhir.
7. 7. Kalau
semua itu masih belum cukup juga, Amerika memaksakan langkah-langkah ekonomi
(satu arah), yang dikenal sebagai ‘sanksi’ secara teratur. Selama 80 tahun
terakhir, sanksi-sanksi seperti itu telah dipaksakan terhadap berbagai Negara
pada 120 kesempatan, 104 diantaranya adalah semenjak Perang Dunia II. Pada
tahun 1998 saja, Amerika telah memberikan sanksi terhadap 75 negara, yang
mencakup 52% dari penduduk dunia.
Selain itu, dampak langsung dari
sistem ekonomi Kapitalis yang diterapkan adalah krisis moneter. Krisis tahun
1998, misalnya, dipicu oleh empat faktor yang saling berkaitan secara langsung.
Pertama, faktor mata uang, yang tidak lagi menggunakan standar emas dan
perak (gold and silver standard). Ini terjadi, sejak Amerika kalah dalam
Perang Vietnam, kemudian Richard Nixon mengumumkan pembekuan standar emas dan
perak tahun 1972. Akibatnya, inflasi tak terhindarkan.
Kedua,
faktor saham yang juga hampir sama dengan mata uang. Saham diperjualbelikan
sebagai kertas berharga, dengan jaminan trust saja. Nilai yang tertera
dengan nilai yang diperjualbelikan pun berbeda, tergantung kepada tinggi
rendahnya trust terhadap saham perusahaan tersebut. Ketiga,
adanya PT yang memperjualbelikan saham di bursa saham. Keempat,
adanya bursa (pasar) saham, yang menjadi tempat transaksi jual beli saham.
Keempat faktor inilah yang saling kait mengait, sehingga secara simultan
menjadi faktor utama terjadinya krisis moneter tahun 1998.
Berbeda dengan krisis tahun 2008,
sepuluh tahun kemudian. Krisis ini disebabkan oleh krisis keuangan yang menimpa
dunia properti di AS, akibat subprime morgate. Utang bodong yang
diperjualbelikan dengan utang. Akibatnya terjadi akumulasi transaksi utang
piutang bodong. Karena akumulasinya besar, krisis ini sampai merontokkan
bank-bank besar sekelas Lehman Brothers. Krisis ini sampai sekarang belum bisa
diatasi. Angela Merkel, Konseler Jerman, sempat menyinggung, bahwa krisis ini
terjadi akibat sistem ekonomi dan mata uang yang mereka gunakan tidak tahan
banting.
Dengan melihat faktor penyebab
krisis moneter di atas, sebenarnya krisis seperti ini tidak akan terjadi dalam
sistem ekonomi Islam di bawah naungan Negara Khilafah. Karena, baik mata
uang dalam bentuk fiat money, saham, bursa saham maupun PT, yang menjadi
faktor terjadinya krisis moneter saat ini tidak ada. Dengan begitu, akar krisis
keuangan ini pun sejak dini telah berhasil diamputasi.
Kebijakan ekonomi Khilafah
Allah SWT, di dalam Alquran, telah
memberikan jaminan, “Dan tidak ada suatu binatang melatapun di bumi
melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam
binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang
nyata (Lauh Mahfuzh).” (TQS Hud [11]: 6). Ayat ini menegaskan, bahwa
sebenarnya rezeki yang diberikan oleh Allah kepada makhluk-Nya di muka bumi ini
pasti cukup. Dengan begitu, tidak ada satu pun yang tidak mendapatkan bagian
rezeki dari Allah SWT.
Namun, akibat buruknya distribusi,
yang tidak pernah dianggap sebagai masalah dalam sistem Kapitalisme, maka
krisis ekonomi, termasuk krisis moneter itu pun terjadi. Sementara, dalam
sistem ekonomi Islam yang diterapkan Negara Khilafah, masalah distribusi ini
telah diselesaikan dengan tuntas. Karena itu, potensi terjadinya krisis dari
pintu distribusi ini pun telah tertutup.
Selain itu, sumber perekonomian
negara yang bertumpu pada empat sektor, yaitu pertanian, perdagangan, industri
dan jasa, yang bisa diupayakan oleh setiap warga negara khilafah, juga
sumber-sumber lain dari harta milik umum yang dikelola oleh negara, serta harta
milik negara itu sendiri, maka nyaris tidak ada pintu bagi krisis ekonomi maupun
moneter dalam Negara Khilafah. Karena itu, barangkali satu-satunya potensi
adalah ketika terjadi bencana atau peperangan.
Dengan demikian, potensi terjadi
krisis tersebut bisa dilokasilir karena faktor thawari’ atau emergency
(darurat). Bukan karena faktor siklus tahunan, apalagi sistemik. Jika faktornya
karena thawari’ atau emergency (darurat), itu pun dengan
asumsi, jika tingkat bencana atau peperangan yang terjadi, melebihi cadangan
dana yang ada di Baitul Mal.
Faktor Krisis Karena Emergency
Jika faktor krisis tersebut karena emergency,
maka Negara Khilafah bisa memobilisasi potensi domestik. Dengan wilayah Negara
Khilafah yang terbentang melebihi 2/3 dunia, maka potensi ekonominya tentu
sangat besar. Selain itu, mereka yang hidup di wilayah yang besar
tersebut disatukan oleh akidah yang sama, dan dipimpin oleh seorang khalifah.
Dengan begitu, mobilisasi seluruh potensi yang mereka miliki sangat-sangat
mudah dilakukan.
Melalui saluran televisi, radio,
surat kabar, internet atau media yang ada, khalifah bisa mengumumkan kepada
seluruh rakyat, bahwa negara khilafah sedang menghadapi kondisi emergency,
baik bencana maupun peperangan. Pada saat yang sama, negara membutuhkan uluran
tangan mereka. Maka, dengan sukarela rakyat pun akan berbondong-bondong
memberikan hartanya kepada negara. Inilah yang ditempuh oleh Rasulullah, saat
negara menghadapi Perang Tabuk.
Saat Perang Tabuk, Nabi SAW
menyiapkan tentara sulit (jaisy al-‘usrah). Nabi bersabda, “Siapa
yang bisa menyiapkan tentara sulit, maka dia berhak mendapatkan surga.” (HR
Bukhari). Dalam Sunan at-Tirmidzi, ‘Abdurrahman bin Samurah
menuturkan, “Utsman bin ‘Affan datang kepada Nabi dengan membawa 1000
dinar.” Nabi pun kemudian memujinya, “Tidak ada yang bisa
memudaratkan ‘Utsman apa yang dilakukan ‘Utsman setelah hari ini.” Sebanyak
dua kali. (HR at-Tirmidzi)
‘Utsman
bin ‘Affan, saat itu memberikan sumbangan sukarela sebesar 1000 dinar, atau
setara dengan 1000 dinar x 4,25 gram x Rp. 350,000 (harga emas saat ini) sama
dengan Rp. 1,487,500,000. Tidak hanya itu, ‘Utsman pun memborong seluruh
kebutuhan Perang Tabuk. Semuanya didanai sendiri oleh ‘Utsman bin ‘Affan. Ini
adalah contoh, bagaimana Nabi SAW mengatasi krisis keuangan yang dihadapi
negara dalam kondisi emergency.
Kondisi emergency ini bukan
hanya terjadi karena faktor peperangan, tetapi bisa juga karena faktor alam,
atau faktor-faktor lain. Kondisi cuaca yang ekstrim, misalnya, bisa saja
mengganggu pertanian, sehingga menyebabkan krisis ekonomi dan keuangan. Faktor
epidemi juga bisa menjadi faktor, karena jalur perdagangan yang dilalui
terputus, akibat wabah epidemi. Misalnya, Wabah Pes di negeri Syam, menyebabkan
jalur perdagangan terganggu. Karena orang menghindari dampak dari wabah
tersebut.
Selain itu, terjadinya krisis di
suatu wilayah juga bisa memicu terjadinya urbanisasi besar-besaran, sebagaimana
yang pernah terjadi di Madinah. Akibat dari urbanisasi ini juga bisa
menimbulkan dampak sosial, sekalipun finansial. Karena beban di wilayah
tertentu, khususnya tujuan urbanisasi tersebut meningkat. Dalam kasus lain,
kesibukan ummat Islam berjihad menaklukan wilayah Irak, Syam dan Mesir,
ternyata juga menyebabkan terganggunnya pertanian Khaibar. Akibatnya, hasil
panennya pun menurun.
Namun, untuk mengatasi krisis
ekonomi dan keuangan dalam kondisi darurat tersebut bisa ditempuh dengan cara
yang dilakukan oleh Rasul. Jika tindakan tersebut tidak mencukupi, maka negara
bisa melakukan pinjaman, bisa dari dalam maupun luar negeri. Tentu dengan
syarat dan ketentuan yang tidak bertentangan dengan hukum Islam, dan tidak
menjadikan negara tidak merdeka.
Seluruh kebutuhan tersebut kemudian
akan ditutup oleh negara dengan menetapkan pajak (dharibah) kepada orang
kaya, laki-laki, dewasa dan Muslim. Sedangkan orang miskin, anak-anak, kaum
perempuan dan kaum kafir tidak terkena kewajiban membayar pajak.
Solusi Lain
Selain solusi di atas, negara
khilafah bisa andil dalam memikul penderitaan dan memberikan keteladanan kepada
rakyat. Ketika itu, ‘Umar tidak pernah makan di salah satu putranya ataupun di
salah satu istrinya. Ia makan bersama rakyatnya, sehingga Allah menghidupkan
manusia seperti mereka hidup.
‘Iyadh bin Khalifah menyifati
kondisi ‘Umar pada saat itu, “Aku melihat Umar pada tahun paceklik, dia
berwarna hitam, padahal dia berkulit putih dan dia adalah orang Arab yang
mempunyai tradisi memakan keju dan minum susu, namun ketika orang-orang
kelaparan, maka ia mengharamkan dirinya hingga mereka tidak hidup kelaparan,
lalu dia makan zaitun hingga merubah warna kulitnya dan dia sering lapar.” (at-Thabari,
Tarikh al- Umam wa al-Muluk, Juz III/239).
Selain itu, manajemen krisis pun
telah berhasil dilakukan dengan baik. Misalnya, ketika urbanisasi ke Madinah,
para pengungsi diatur dan diurusi dengan membagikan makanan dan lauk pauk.
Penanggung jawabnya adalah Yazid bin Namir, Miswar bin Makhramah, Abdurahman
bin Abdul Qari dan Abdullah bin Utbah bin Mas’ud. Ketika kembali, ‘Umar
mengatur kepulangan mereka dengan perbekalan makanan yang cukup dan kendaraan
unta.
Penduduk badui yang terkena dampak,
yang tidak dapat diungsikan ke Madinah, dikirim bantuan untuk memenuhi
kebutuhan mereka. Selain itu tiap pagi dan sore Umar mengecek makanan mereka.
Bani Nashar berkomentar tentang penananganan ‘Umar saat krisis, “Umar
mengirim kepada kaumku apa yang maslahat bagi mereka bulan demi bulan.”
Selain itu, ‘Umar juga melakukan
beberapa pengecualian, di antaranya, menunda penarikan zakat hewan yang terkena
dampak krisis. Menganulir had pencurian, jika memang terdesak kebutuhan.
Memberikan jaminan sosial wajib, dan pemulangan kembali orang-orang badui ke
kampung mereka.
Komentar
Posting Komentar