MEMAHAMI KONSEP IJTIHAD DAN TAQLID DENGAN BENAR

Oleh : KH. M. Shiddiq al-Jawi

Masalah ijtihad dan taqlid, merupakan salah satu isu besar yang direspons dengan antusiasme sangat tinggi di kalangan umat Islam. Betapa tidak, seluruh intelektual muslim terkemuka sejak abad ke-18 hingga ke-20 M, baik ulama reformis dan revivalis yang berideologi Islam, seperti Syah Waliyullah al-Dahlawi (1702-1762), maupun intelektual modernis berideologi sekuler, seperti Sayyid Ahmad Khan (1817-1898), senantiasa mendorong ijtihad di tengah umat dan bahkan mempraktikkannya. Semuanya sepakat ingin membuka dan bahkan mendobrak pintu ijtihad untuk mengatasi kemerosotan berpikir umat Islam yang telah berlangsung lama sejak ditutupnya pintu ijtihad pada abad ke-4 H.

Namun sejauh ini usaha itu nampaknya belum berhasil secara gemilang. Buktinya, secara kuantitas, praktik ijtihad masih langka. Mujtahid masih sangat sedikit di tengah-tengah umat. Secara kualitas pun, konsep ijtihad itu sendiri kadang dipahami secara kurang tepat dan bahkan dipahami secara salah.
Tentang langkanya mujtahid, hal ini sangat jelas. Coba, apakah Anda tahu, siapa mujtahid yang ada di negeri Anda sekarang ini? Bahkan bukan hanya sekarang, sejak jaman keemasan Islam pun, jumlah mujtahid memang relatif sangat sedikit dibandingkan dengan jumlah ulama di bidang lainnya (hadits, tafsir, dan sebagainya). Hal ini wajar, sebab untuk menjadi seorang faqih (mujtahid) ilmu-ilmu yang harus dikuasainya sangat banyak sehingga tak banyak orang yang mau mencurahkan seluruh waktu hidupnya untuk menguasai ilmu-ilmu itu. Di masa kejayaan Islam itu, jumlah mujtahid kira-kira 10 % saja dari jumlah ulama di bidang-bidang ilmu keislaman lainnya. Abu Muhammad ar-Ramahurmuzy dalam kitab al-Fashil meriwayatkan dari Asy’at bin Anas bin Sirin,"Aku telah mendatangi kota Kufah maka aku lihat di dalamnya ada 4000 orang yang sedang mempelajari hadis, dan ada 400 orang yang menjadi faqih [mujtahid]." (Fathi Muhammad Salim, al-Istidlal bi azh-Zhanni fi al-‘Aqidah, Beirut : Darul Bayariq, 1994, hal. 32).

Tentang konsep ijtihad itu sendiri, kadang-kadang ia dipahami secara kurang tepat, sehingga malah menjadi kontraproduktif dengan upaya menggalakkan ijtihad di tengah umat. Pada masa Imam Suyuthi (849-911 H), berkembang pesat paham yang mengatakan bolehnya zuatu zaman kosong dari adanya mujtahid. Maka dari itu, ketika Imam Suyuthi memproklamirkan kepada publik bahwa dirinya adalah seorang mujtahid, masyarakat awam pun tidak percaya dan bahkan mengecam beliau dengan keras. Imam Suyuthi pernah mengumumkan,"Sungguh telah sempurna padaku alat-alat untuk berijtihad, alhamdu lillah. Kalau Anda menginginkan aku untuk menulis sebuah kitab untuk setiap masalah, lengkap dengan dalil-dalil naqli dan qiyasnya, disertai dasar-dasarnya, bantahan-bantahannya, jawaban-jawabannya, serta perbandingan pendapat di antara berbagai mazhab pada masalah itu, niscaya aku mampu untuk melakukannya, alhamdu lillah." (Imam Suyuthi, Husnul Muhadharah, Juz I hal. 339).
Imam Suyuthi pun kemudian meluruskan paham yang kurang tepat mengenai ijtihad tersebut dengan menjelaskan tidak bolehnya suatu zaman kosong dari mujtahid. Mujtahid wajib ada pada setiap masa. Beliau menulis kitab al-Radd ‘Ala Man Akhlada ila al-Ardh wa Jahila anna al-Ijtihad Fardhun fi Kulli ‘Ashrin (Bantahan Kepada Orang Yang Ingin Hidup Kekal di Bumi dan Tidak Tahu Bahwa Ijtihad Itu Fardhu Untuk Setiap Masa). Imam Suyuthi juga menulis kitab Taysir al-Ijtihad (Memudahkan Ijtihad), yang dimaksudkan agar umat tidak menganggap ijtihad sebagai hal yang super sulit, namun suatu hal yang mudah dan mungkin, selama syarat-syaratnya terpenuhi dengan sempurna.

Dalam kitab Taysir al-Ijtihad ini, Imam Suyuthi menukilkan beberapa riwayat yang menggugah. Antara lain beliau menukilkan perkataan Syaikh Muhibuddin --ayah Syaikh Taqiyuddin Ibnu Daqiqil ‘Ied-- dalam kitabnya Talqih Al-Afham yang berkata,"Menjadi mujtahid telah dianggap berat pada masa sekarang ini. Hal itu bukanlah karena sulitnya mencari alat-alat ijtihad, melainkan karena berpalingnya manusia dari kesibukan yang akan menghantarkan mereka pada ijtihad." Imam Suyuthi juga menukilkan pendapat sebagian ulama yang menegaskan,"Ijtihad pada zaman ini (zaman Imam Suyuthi, red), lebih mudah daripada zaman permulaan Islam, sebab alat-alat ijtihad berupa hadits-hadits dan lain-lain telah dibukukan dan mudah untuk dirujuk. Ini beda dengan zaman permulaan Islam, sebab saat itu tak ada satu pun alat-alat ijtihad yang terbukukan." (Imam Suyuthi, Taysir al-Ijtihad, Makkah : Maktabah Tijariyah, hal. 28).
Pada masa sekarang, kesalahpahaman tentang ijtihad lebih gila lagi. Kini ada kesalahpahaman ekstrem tentang ijtihad yang didemostrasikan sangat gamblang oleh kelompok Islam liberal (sekuler). Ini menjadi bukti lain belum berhasilnya upaya melahirkan ijtihad yang sahih di tengah-tengah umat. Kesalahan ekstrem ini jelas hanya akan menyesatkan umat dari hakikat ijtihad yang sebenarnya.
Menurut kaum liberal, ijtihad bukan dipahami sebagai usaha sungguh-sungguh untuk mengistinbath hukum syariah dari dalil-dalil syariah, melainkan sebagai upaya untuk menyesuaikan hukum Islam dengan realitas masyarakat yang telah diformat dalam citra ideologi kontemporer (kapitalisme-sekuler). Taufik Adnan Kamal dan Samsu Rizal Panggabean mengatakan,"Dalam debat-debat modern, pentingnya aplikasi ijtihad dikaitkan dengan kemungkinan yang diberikannya untuk menyegarkan pemahaman Islam dan hukum Islam selaras dengan kondisi masyarakat kontemporer." (Politik Syariat Islam dari Indonesia Hingga Nigeria, Jakarta : Pustaka Alvabet,2004, hal. 196).

Benar bahwa ijtihad memang dimaksudkan untuk menghadapi tantangan zaman kekinian. Tapi bagi kaum liberal, ijtihad bukan dipahami sebagai upaya menghukumi realitas kontemporer dengan hukum Islam, melainkan upaya mengubah dan menyesuaikan hukum Islam agar cocok dengan realitas kontemporer. Dalam konsep ijtihad yang sahih, realitas tidak diasumsikan sebagai standar yang selalu dianggap benar. Sebab realitas itu bukanlah wahyu yang pasti benar, melainkan fakta yang tengah terjadi, yang bisa benar (sesuai wahyu) dan bisa juga tidak benar (menyimpang dari wahyu). Sebaliknya dalam benak kaum liberal, realitas telah dijadikan standar dan dianggap sebagai kebenaran mutlak, sedangkan wahyu diasumsikan sebagai sesuatu yang relatif dan harus mengikuti serta tunduk pada realitas itu.
Bukti yang jelas untuk cara berpikir merusak itu adalah adanya draft CLD KHI (Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam) yang dimaksudkan sebagai usulan RUU alternatif untuk mengganti Kompilasi Hukum Islam yang berlaku di lingkungan Peradilan Agama. Tapi alhamdulillah draft itu sudah dibatalkan oleh Menteri Agama Maftuh Basyuni.
Namun yang menyedihkan, Ketua Tim Pengarusutamaan Gender Depag, Dr Siti Musdah Mulia, yang memimpin penyusunan draft itu tanpa malu-malu berani mengklaim bahwa draft CLD KHI itu adalah hasil ijtihad. (Tempo, 7 Nopember 2004, hal. 47).

Padahal draft tersebut telah melahirkan sejumlah pasal yang menyeleweng jauh sekali dari Islam. Misalnya, mengharamkan poligami (pasal 3 ayat 2), menyamakan bagian waris pria dan wanita (pasal 8 ayat 3), menghalalkan perkawinan dalam jangka waktu tertentu (pasal 28), menghalalkan perkawinan antar agama secara bebas (pasal 54), dan sebagainya. Ini semua terjadi karena para penyusun CLD KHI telah menundukkan hukum Islam di bawah realitas kontemporer yang dibentuk oleh nilai-nilai peradaban Barat, yaitu nilai-nilai gender, pluralisme, hak asasi manusia, dan demokrasi. Dengan kata lain, draft itu lahir sebagai hasil kesalahpahaman ekstrem dalam memahami hakikat makna ijtihad.
Senapas dengan konsep ijtihad di atas, konsep taqlid juga tak jarang kurang dipahami dengan baik oleh umat Islam. Tak jarang ulama memilih pendapat secara seenaknya tanpa kaedah dan tanpa standar. Fatwa ulama akhirnya ditundukkan kepada kepentingan dan hawa nafsu manusia. Kita masih ingat, pada pertengahan tahun 80-an, Prof KH Ibrahim Hosen LML (Komisi Fatwa MUI saat itu) mengeluarkan fatwa bolehnya judi undian PORKAS. Fatwa itu dimaksudkan untuk menyukseskan pembangunan, khususnya bidang olah raga. Padahal PORKAS jelas-jelas merupakan judi (maysir) yang haram hukumnya.
Selain itu, paham relativisme yang banyak bercokol di benak kaum liberal, menambah parah kesalahpahaman seputar taqlid ini."Semua adalah relatif (All is relative)," begitulah slogan mereka. Padahal slogan ini bukan dari ulama apalagi dari Al-Qur`an dan As-Sunnah, melainkan dari Michael Fackerrell, seorang missionaris Kristen asal Amerika Serikat (Hamid Fahmi Zarkasyi, "Kebenaran", Majalah Islamia, Vol III, No. 1, Th 2006).

Yang repot, paham relativisme Kristiani itu akhirnya dimasukkan ke dalam wacana keislaman, lalu dihasilkan dikotomi begini : yang berasal dari Tuhan, absolut kebenarannya. Sedang kalau dari manusia, sifatnya relatif, siapa pun juga manusia itu. Maka pemahaman Imam Syafii, Imam Maliki, atau imam siapa pun, semua relatif. Dan karena semuanya relatif, kita boleh memilih atau bahkan membuang pendapat mereka dengan bebas.
Berangkat dari dikotomi yang absurd itu, kaum liberal akhirnya memasukkan "fatwa-fatwa" mereka agar dianggap bagian dari pendapat ulama yang boleh untuk ditaqlidi umat Islam. Hmm, enak benar,ya? Buku Fiqih Lintas Agama (2004) yang ditulis Nurcholish Madjid dkk (kaum sekuler) dan disponsori Yayasan Asia Foundation (dari Amerika) merupakan contoh upaya menjajakan "fatwa-fatwa" liberal dalam naungan konsep relativisme agama tersebut.
Tentu saja kaedah taqlid gaya liberal dengan dikotomi absolut-relatif itu tidaklah benar. Sebab bahwasanya Tuhan itu Maha Mengetahui dan pengetahuan-Nya absolut benar, itu sudah jelas. Maka tak perlu dimasukkan dalam dikotomi. Sebab dikotomi yang seharusnya kita miliki adalah dikotomi untuk pendapat di antara manusia, bukan antara "pendapat" Tuhan dan pendapat manusia. Selain itu, dikotomi sebelumnya itu sungguh tidak adil, karena meletakkan semua pendapat manusia dalam posisi yang sama (sama-sama relatif). Samakah pendapat orang berilmu dengan pendapat orang tak berilmu? Samakah ulama dengan juhala (orang bodoh)? Maka, dikotomi yang benar adalah, ada pendapat ulama yang benar dan kuat (yang layak ditaqlidi), dan ada pendapat ulama yang salah atau lemah (yang tidak layak ditaqlidi). Itulah dikotomi yang benar.
Nah, berkaitan dengan dikotomi itu, kehadiran buku Kaedah Taqlid Tuntunan Islam Dalam Mengikuti dan Memilih Suatu Pendapat, karya sahabat kami A. Said 'Aqil Humam 'Abdurrahman, patutlah disambut dengan gembira. Buku ini dengan tepat memberikan pencerahan mengenai kaedah-kaedah mengenai taqlid untuk membedakan mana pendapat ulama yang layak diikuti dan mana yang tidak. Selain itu, buku ini juga ingin berkontribusi dalam menjelaskan konsep ijtihad secara benar.
Semuanya bermuara pada satu keinginan besar untuk mengentaskan umat Islam dari kemerosotan berpikirnya yang sangat dahsyat, khususnya perihal aktivitas ijtihad dan taqlid. Buku ini kiranya sudah bisa dianggap berhasil, jika bisa menghasilkan para muqallid yang baik, bukan lagi muqallid bermasalah. Syukur-syukur bisa melahirkan para mujtahid yang cemerlang di kemudian hari. Insya Allah.
Semoga tujuan mulia ini, tercapai pula adanya. Amin Ya Mujibas Sa’ilin.

Yogyakarta, 21 Mei 2006
Al-Faqir ila Rabbihi,
KH. Muhammad Shiddiq al-Jawi
*Kata Pengantar buku KAEDAH TAQLID Tuntunan Islam Dalam Mengikuti dan Memilih Suatu Pendapat, karya A. Said 'Aqil Humam 'Abdurrahman (Syamsuddin Ramadhan an-Nawiy).


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kekhawatiran Barat akan bangkitnya Ideologi Islam

Struktur Negara Khilafah