Politik Industri Dalam Pandangan Syariah Islam
HTI-Press. Dunia
Islam sekarang tertinggal jauh dari negara-negara industri di dunia. Sementara
Barat telah melewati fase industrialisasi 150 tahun yang lalu, Dunia Islam
tetap terde-industrialisasi secara besar-besaran, dan banyak kasus tersebut
dipercaya terjadi di negara berkembang.
Industrialisasi
bisa diartikan sebagai keadaan dimana sebuah perekonomian dilengkapi dengan
mesin/pabrik, yang kemudian hal tersebut menjadi stimulus bagi sektor-sektor
lain perekonomian. Contohnya adalah Kerajaan Inggris, yang memusatkan
manufaktur pada perekonomiannya, industri perkapalan, amunisi dan pertambangan
yang mendorong Inggris menjadi sebuah kekuatan global yang mempunyai kemampuan
mobilisasi perang dan penjajahan yang cepat. Di saat perdamaian,
industri-industri tersebut dipakai untuk kepentingan masyarakat.
Hal
ini adalah alasan fundamental bagi setiap bangsa yang menginginkan
industrialisasi. Mempunyai dasar industri membuat sebuah bangsa bisa memenuhi
kebutuhannya sendiri dan mandiri dari bangsa lainnya. Tanpa industrialisasi
suatu bangsa akan tergantung secara politik dan ekonomi pada negara lain dalam
kebutuhan-kebutuhan vital seperti pertahanan, industri dan produktivitas
perekonomian. Contoh terakhir menggambarkan dengan tepat negara-negara dari
Dunia Islam saat ini.
Mengapa
Dunia Islam Gagal Berindutrialisasi?
Bagi
seorang pengamat yang netral, adalah mengejutkan jika Dunia Islam, yang
mempunyai berbagai hasil tambang dan sumberdaya yang melimpah, sangatlah miskin
dan gagal berindustrialisasi. Sebagai contoh, Irak saja mempunyai 10% cadangan
minyak dunia. Juga sebuah fakta yang tidak aneh bahwa Kuwait juga memiliki 10%
cadangan minyak dunia. Dengan mempelajari semua kejadian pada semua negara
tersebut, yang membentuk Dunia Islam seperti Afrika Utara, Timur Tengah, Asia
Selatan, Indonesia dan Malaysia, sangatlah jelas terlihat sederet kesalahan dan
contoh kesalahan manajemen perekonomian yang luas.
Miskinnya
visi politik dan arah yang jelas di wilayah Muslim dan kekukuhan pemimpin
Muslim yang lebih memilih kebijakan mengejar target jangka pendek yang
pragmatis, adalah masalah historis sejak hancurnya Negara Khilafah pada tahun
1924. Turki tidak pernah bisa lagi mencapai titik potensialnya karena
kebijakan-kebijakan yang tidak jelas dan berlatar politis yang dibebankan oleh
IMF dan Bank Dunia. Pakistan berada di bawah perintah Bank Dunia untuk tetap
berkonsentrasi pada ekspor tekstil dan memastikan dasar manufakturnya tidak
pernah berkembang.
Negara-negara
Arab tidak pernah mengembangkan industri manufaktur, meskipun dalam sektor
perminyakan, dikarenakan keinginan perusahaan-perusahaan minyak Barat yang
ingin mengontrol penyulingan minyak mentah dan melalui kemampuannya mengontrol
produksi minyak dan negara-negara penghasil minyak. Pada tahun 2006 Timur
Tengah memproduksi 31,2% minyak mentah dunia. Hanya 3,2% yang diolah di kawasan
tersebut. Indonesia selama tahun 1980-an dan 1990-an meliberalisasikan
perekonomiannya dan membuka semuanya bagi investasi asing, yang menimbulkan
Krisis Asia pada tahun 1997, yang sampai sekarang masih belum pulih. Saat ini
mereka terlilit utang lebih dari 140 miliar dolar.
Dunia
Islam menerapkan sejumlah kebijakan yang memastikan perekonomian mereka tidak
bisa menyediakan kebutuhan masyarakat. Hasilnya adalah: orang-orang harus
memberikan waktu dan usahanya dalam pekerjaan untuk menopang diri mereka
sendiri daripada berkontribusi pada pekerjaan yang bertujuan agar
negaranya menjadi sebuah kekuatan penting di dunia. Oleh karena itu, untuk
mengindistrialisasikan Dunia Islam, kaum Muslim harus diyakinkan akan
pentingnya hal tersebut, dan mengapa harus berkorban untuk visi seperti itu.
Contohnya
adalah apa yang didapatkan oleh Amerika Serikat ketika mereka menelantarkan
perekonomian konsumen dan menjalankan industrialisasi sebelum Perang Dunia II.
Pemerintah Amerika mulai memperluas sistem pertahanan nasionalnya, menghabiskan
uang yang sangat banyak untuk memproduksi kapal, pesawat udara, persenjataan,
dan alat peperangan lainnya. Hal ini menstimulus pertumbuhan industri dan
penurunan pengangguran yang cepat. Setelah Amerika masuk kancah peperangan pada
Desember tahun 1941, semua sektor perekonomian dimobilisasi untuk mendukung
kinerja perang. Industri meluas dengan cepat, dan pengangguran digantikan
dengan kekurangan karyawan.
Negara
tersebut bergerak sendiri dengan cepat untuk mobilisasi penduduk dan semua
kapasitas industrinya. Selama akhir 1930-an, industri yang terkait perang
menerima target produksi yang mengejutkan, yakni 300.000 pesawat terbang, 5.000
kapal kargo, 60.000 pesawat pendarat, dan 86.000 tank. Para pekerja wanita
memainkan peran lebih besar dalam industri daripada sebelumnya. Para pengusaha
mengabaikan efek depresi yang besar dan mulai mengambil keuntungan atas
perjanjian pemerintah yang melimpah. Pekerjaan mulai bermunculan dimana-mana
dan orang-orang mulai bekerja dalam upaya peperangan. Masyarakat menerima perbandingan
dan kontrol harga untuk pertama kalinya sebagai cerminan dukungan atas usaha
peperangan. Permintaan yang sangat besar adalah untuk suplai perang yang
mendesak, tanpa memikirkan biaya. Semua perusahaan memperkerjakan setiap orang
yang terlihat, bahkan suara truk di jalanan meminta orang-orang untuk melamar
pekerjaan. Para pekerja baru dibutuhkan untuk menggantikan 11 juta orang usia
kerja di ketentaraan. Semua aktivitas negara tersebut, seperti pertanian,
manufaktur, pertambangan, perdagangan, investasi, komunikasi, dan bahkan
pendidikan dan pembuatan budaya dalam suatu cara bergerak menuju
industrialisasi dengan tujuan mempersiapkan upaya peperangan.
Bersamaan
dengan hal tersebut Amerika menerapkan pemikiran para ahli dan sarjana
terbaiknya. Pemerintah Amerika mengidentifikasi adanya kemungkinan untuk
membangun sebuah senjata nuklir yang bisa menjadi alat yang berguna dan
mempunyai kemampuan menghancurkan yang luar biasa. Maka lahirlah proyek
Manhattan. Proyek ini merupakan hasil dari perlombaan untuk menjadi negara
pertama yang mempunyai bom atom, bersama dengan keuntungan kekuasaan strategis
yang akan diterima.
Kegagalan
Dunia Islam memperlihatkan kesalahan manajemen sumberdayanya saat ini.
Masalah inti dari kesengsaraan perekonomian saat ini mengerucut pada beberapa
faktor utama; sudut pandang yang tidak ideologis dari para pemimpinnya, dan
berdampak pada rendahnya visi politik bagi wilayah-wilayah tersebut. Dua faktor
ini berarti bahwa meskipun dengan sumberdaya yang melimpah, negara-negara
tersebut akan tetap tunduk secara ekonomi dan politik kepada Barat, karena
mereka tidak mempunyai dasar yang kuat untuk membangun perekonomian mereka
sendiri. Hal ini membuat perekonomian terpecah sehingga gagal untuk maju dalam
satu tujuan.
Kebijakan
Negara Khilafah untuk melakukan industrialisasi harus berpusat pada hal-hal
sebagai berikut:
Membangun
perekonomian yang berorientasi pada pertahanan
Kebanyakan
perekonomian diketahui mempunyai penekanan pada pencapaian satu sektor tertentu
dari perekonomian – biasanya menggunakan sektor ini sebagai stimulus bagi
bagian lain perekonomian. Kebanyakan diambil dari perubahan perekonomian
Inggris yang berbasis manufaktur menjadi berbasis pelayanan pada akhir tahun
1980-an. Saat ini kebanyakan aktivitas perekonomian didorong untuk menyediakan
layanan, dan hal tersebut yang mendorong aktivitas ekonomi pada sektor lainnya.
Tetapi sebaliknya, Negara Khilafah harus menitikberatkan pada industri
pertahanan sebagai stimulus dan kekuatan di balik perekonomian. Hal ini tidak
hanya menciptakan lapangan pekerjaan dan menghasilkan kekayaan tetapi juga
industri ini sangat penting sebagai suatu upaya pencegahan dari negara-negara
lain yang mempunyai rencana terhadap wilayah-wilayah Islam.
Membangun
perekonomian yang berbasis pada pertahanan melibatkan pembangunan industri
berat, berupa industri besi dan baja, batubara dan lainnya, seperti halnya
industri persenjataan dan seterusnya. Ciri-ciri utama kebijakan tersebut adalah
sebagai berikut:
· Untuk
mengindustrialisasikan sebuah forum yang khususnya dipersiapkan untuk
menyatukan dukungan dan pembentukan kerjasama para pengusaha. Tujuan utama
inisiatif ini adalah menyediakan bantuan, baik itu secara ekonomi maupun
politis bagi industri-industri besar untuk mengembangkan perusahaan dan bisnis
tertentu yang bergerak dalam bidang industri berat dan kebutuhan akan
perekonomian yang berbasis pada pertahanan. Bantuan bisa berupa pinjaman lahan
yang bebas biaya, dengan harapan produksi masal besi dan baja atau bahan kimia
bisa mendatangkan para pengusaha dan pebisnis. Bantuan lainnya juga bisa berupa
bantuan keuangan dari pemerintah bagi mereka yang ingin menciptakan perusahaan
tertentu di area-area dimana negara harus mengembangkan atau mensuplai
bahan-bahan pengembangan kimia dan peleburan logam.
Ini
adalah kebijakan yang juga dipakai Jepang setelah pendudukan Amerika Serikat
tahun 1952, dengan pertolongan dan persetujuan diam-diam Amerika Serikat.
Jepang membawa para pengusaha dan pebisnis terbaiknya untuk menghindari ancaman
komunisme, yang ketika itu telah mencapai Korea Utara. Akibatnya para pemimpin
Jepang mencabut larangan kepemilikan bersama dan memperkenankan pembentukan
kelompok konglomerat yang kemudian terus mendominasi perekonomian Jepang.
Kelompok-kelompok ini, dikenal sebagai kairetsu, seringkali dikaitkan
sebagai keturunan dari zaibatsu di masa sebelum perang, seperti dalam
kasus tiga dari ‘The Big Six’ – Mitsui, Mitsubishi dan Sumitomo. Para pelaku
kunci industri bekerja bagi kepentingan negara karena mereka bisa melihat
jumlah kekayaan yang besar yang bisa didapatkan. Militer Amerika mulai membeli
persediaan dari Jepang, menciptakan permintaan yang besar atas barang-barang
Jepang. Proses industrialisasinya sendiri mempercepat pertumbuhan, banyak
pekerja yang pindah dari pertanian yang hasilnya sedikit dan produksi tekstil
ke dalam industri modern. Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan pengusaha
produksi barang-barang dengan permintaan dan nilai yang tinggi seperti mesin,
lambat laun menggantikan barang-barang dengan permuntaan rendah, seperti
tekstil. Pada tahun 1970 banyak hasil industri Jepang merupakan produk-produk
yang tidak pernah ada pada pasaran Jepang 20 tahun sebelumnya, seperti televisi
berwarna, petrokimia, dan pendingin udara (AC).
Hal
tersebut adalah tipe-tipe kebijakan yang Dunia Islam harus kejar, dengan tujuan
mendapatkan keuntungan dari pihak swasta dan juga menyatukan para tokoh kunci
pimpinan industri dalam sebuah Negara Khilafah. Dunia Islam bukanlah semacam
kumpulan para pelaku industri atau pengusaha lainnya. Juga, ketika realisasi
dividen yang potensial dari kebijakan seperti itu menjadi dikenal sebagai
kekayaan, maka mereka akan menjadi bagian dari kebangkitan perekonomian karena
mereka bisa menghasilkan pendapatan yang tidak pernah terdengar dari Dunia
Islam dalam waktu yang cukup lama. Hal ini sesuai dengan perhatian pada
kesejahteraan masyarakat untuk bisa membangun investasi swasta.
Visi
Politik
Alasan
mengapa Dunia Islam saat ini mengalami de-industrialisasi adalah lemahnya visi
politik. Para pemimpin umat Muslim telah meletakkan negaranya sebagai pasar
bagi perusahaan multinasional Barat. Konsep perdagangan bebas dan pasar bebas
selalu menjadi alasan bagi dunia berkembang untuk menghambat industrialisasi di
negara lain, dan mengubah mereka menjadi tempat industri untuk konsumsi Barat.
Ketika tujuan politik telah timbul maka ada perkembangan yang muncul di Dunia
Islam; Mesir mengembangkan program nuklir pada tahun 1950-an, tetapi mereka
menghentikan program tersebut setelah kekalahan pada 1967 dari Israel. Pakistan
meneruskan dan mengembangkan sebuah program nuklir yang berhasil.
Untuk
Negara Khilafah yang baru muncul, salah satu kebijakan kunci adalah
mempersatukan masyarakat dalam satu visi politiknya. Jika hal tersebut tercapai
maka masyarakat pasti akan bekerja untuk mencapai target tersebut, kemudian hal
itu akan diperkenalkan di kawasan Muslim lainnya, dan ketika mereka bisa
memahami arahnya mereka akan berpaling dan menjalankan visi tersebut. Salah
satu masalah terbesar di wilayah Muslim adalah kurangnya setiap kebijakan yang
bisa mengangkat derajat bangsanya sendiri. Khilafah harus menemukan orang yang
paling ahli dan membuat mereka melaksanakan visi tersebut dan memberikan rasa
percaya diri pada masyarakat.
Hal
tersebut membutuhkan pengembangan kemampuan militer untuk membela diri dan
menghentikan semua serbuan dan penyerang yang potensial. Pemikiran ini pasti
akan membawa kita pada perkembangan teknologi yang tidak ada dalam Dunia Islam,
dengan tujuan membawa militer pada tingkatan yang sama dengan standar global
moderen. Untuk mencapainya suatu negara harus berindustrialisasi. Untuk
berindustrialisasi Anda harus memiliki keahlian teknis dan bahan mentah, dimana
sebuah strategi perlu dikembangkan.
Contoh
hal tersebut adalah seperti yang terjadi pada Uni Soviet. Para pengikut komunis
menghabiskan lima tahun perencanaan yang dimulai pada tahun 1928, yang
bertujuan untuk membangun sebuah basis perindustrian berat tanpa menunggu
bertahun-tahun untuk mengumpulkan keuangan melalui ekspansi industri konsumen
dan tanpa bergantung pada keuangan dari luar. Rencana Lima Tahun (The Five-Year
Plan) adalah sebuah daftar target perekonomian yang telah direncanakan untuk
memperkuat perekonomian Uni Soviet antara tahun 1928 sampai 1932, membuat
negara tersebut bisa mencukupi kebutuhan militer dan industrinya sendiri.
Perencanaan lima tahun tersebut dimaksudkan untuk memanfaatkan semua aktifitas
ekonomi dalam pembangunan industri berat yang sistematis, sehingga mengubah Uni
Soviet dari negara agraris yang sederhana menjadi sebuah kekuatan yang mapan
secara industri dan militer. Dalam menjalankan rencananya, rezim Stalin membagi
sumberdaya ke dalam produksi batubara, besi, baja, perlengkapan jalan kereta
api, peralatan mesin. Semua kota-kota baru, seperti Magnitogorsk di pegunungan
Ural, dibangun dengan partisipasi antusiasme para pekerja dan intelektual muda.
Rencana ambisius ini menggambarkan sebuah aroma tugas dan membantu mobilitas
dukungan untuk rezim tersebut.
Semua
hal di atas memperlihatkan pembahasan sebelumnya tentang sumber daya dan
bagaimana hal tersebut diubah menjadi produk-produk yang berguna, maka
dibutuhkan tujuan politik yang nantinya akan memberikan arah.
Pengolahan
Barang Tambang
Negara
Khilafah harus mempunyai kontrol atas barang tambang mereka sendiri beserta
industri yang menyuling dan mengolahnya, untuk menghilangkan ketergantungan
pada negara lain. Hal ini akan menjadi target kunci bagi industri sebagai bahan
baku yang sangat penting bagi berlangsungnya industri-industri lain.
Pakistan
mempunyai sumberdaya alam yang sangat banyak, termasuk minyak, gas, emas,
kromite, bijih besi, batubara, bauksit, tembaga, timah, belerang, batu kapur,
marmer, pasir, batuan asin dan tanah liat untuk keramik, dan hanya sedikit yang
bisa disebutkan. Seiring pertumbuhan negara tersebut, dengan mengintegrasikan
wilayah Muslim lainnya maka akan bisa didapat sumberdaya seperti itu dan juga
lainnya. Sangatlah mungkin untuk mengembangkan berbagai industri internal yang
bisa mengolah dan memproses sumberdaya ini sehingga tidak tergantung pada
keahlian asing.
Kebanyakan
sumberdaya tersebut saat ini diproses oleh perusahaan-perusahaan asing,
khususnya dari Amerika Serikat. Perusahaan-perusahaan tersebut memberikan bagi
hasil dari sumberdaya yang mereka olah, contohnya minyak dan gas, dan tidak ada
upaya yang dibuat untuk mentransfer keahlian dan tehnologi sehingga Pakistan
bisa memenuhi kebutuhannya sendiri dalam proses ini. Perusahaan minyak milik
negara telah sah dijual melalui topeng privatisasi.
Untuk
bisa mandiri dalam mengolah barang tambang, sejumlah proses harus ditentukan.
Semua sumberdaya, yang tidak dimiliki oleh Negara Khilafah di wilayahnya, harus
diimpor dari negara-negara yang tidak mempunyai rencana (bermusuhan atau
menyerang) terhadap wilayah Islam. Kebijakan tersebut saat ini diterapkan oleh
China. Kebutuhan China akan minyak berakibat pada banyaknya bantuan, pinjaman
(banyak tidak tertulis) dan hibah yang diberikan China kepada negara-negara
Afrika dengan tujuan mendapatkan minyak. Hal tersebut telah dilakukan dengan
membangun kilang minyak termasuk fasilitas sekitarnya, seperti jalan raya,
sekolah, rumah sakit, dan kantor-kantor tanpa ikut campur dalam pemerintahan
yang sedang berjalan, terbalik dengan campur tangan negara Barat. Kebijakan
yang sama harus dilakukan oleh Negara Khilafah jika diperlukan, tetapi
kebanyakan wilayah Muslim mempunyai kelebihan dengan anugerah sumber barang
tambang yang melimpah, dan hanya beberapa barang tambang tertentu saja yang
harus diimpor.
Negara
juga harus mengembangkan sebuah kebijakan bagi perusahaan-perusahaan Barat,
yang berada di Dunia Islam. Apa saja yang harus dipahami sebagai penghormatan
bagi mereka bahwa letak permasalahan adalah kehadiran mereka di Dunia Islam.
Kehadirannya saat ini telah menjadi masalah ketika mereka diberikan kebebasan
penuh untuk mengelola sumberdaya, dan pada beberapa kasus diberikan bagian
dalam bentuk sumberdaya sebagai bentuk pembayaran. Banyak pemimpin Muslim dan
kroninya mendapatkan keuntungan finansial pribadi yang menjadi penghalang bagi
pendapatan negara atas sumberdaya tersebut.
Masalah
terbesar adalah adanya fakta bahwa perusahaan-perusahaan tersebut tidak
mentransfer keahlian dan teknologi kepada negara tempat mereka bekerja.
Perusahaan seperti itu harus dipaksa menandatangani kesepakatan untuk
mentransfer keahlian mereka kepada Negara Khilafah. Perdagangan adalah satu
alat yang kuat dalam hubungan keamanan. Tidak ada dua negara yang mempunyai
jalinan perdagangan yang sehat bisa berperang satu sama lain. Buktinya adalah
hubungan antara Amerika Serikat dan China, meskipun kedua negara menganggap
masing-masing sebagai saingan, mereka tidak bisa berperang, karena pada saat
ini mereka saling membutuhkan.
Dalam
hal transfer teknologi kasus yang baru-baru ini terjadi pada pembuatan kapal
selam di Pakistan adalah suatu contoh yang bagus. Pakistan dan Perancis telah
menandatangani sebuah perjanjian untuk membangun tiga buah kapal selam. Satu di
antaranya akan dibuat di Perancis, sementara dua lainnya akan dibuat di Pakistan.
Dua kapal selam yang dibuat di Pakistan akan dibuat dengan bantuan para
insinyur Perancis, sehingga transfer teknologi bisa terjadi. Hal tersebut jelas
memperlihatkan bahwa dengan adanya kemampuan politik maka industrialisasi bisa
terjadi.
Negara
Khilafah akan perlu menemukan peralatan dan perlengkapan yang dibutuhkan, dan
mendapatkannya dari negara yang bersahabat. Pakistan saat ini mempunyai
infrastruktur industri berat dan ringan. Contohnya, mesin-mesin untuk
perusahaan gula dan semen, ketel uap, masin rol jalan, mesin panen, mesin
pintal dan lain-lain. Heavy Mechanical Complex mempunyai fasilitas untuk
memproduksi tuangan baja dan besi ringan, sedang, dan berat. Industri-industri
tersebut dan lainnya bisa dipakai untuk mengembangkan industri penyuplai bagi
peralatan dan perlengkapan yang dibutuhkan untuk industri bahan mentah.
Negara
Khilafah harus membiayai industrialisasi dengan tiga cara
· Investasi Langsung:
hal ini masuk akal dimana penerimaan keuntungan akan susah jika diberikan pada
industri seperti perkapalan, penelitian ruang angkasa atau pengoperasian sistem
rel kereta api. Oleh karena itu, Negara Khilafah harus mengatur hal tersebut
atau mensubsidi operasi mereka.
· Berkolaborasi
dengan industri – hal ini pastilah terjadi jika terdapat nilai komersial yang
potensial pada proyek tersebut sehingga keterlibatan pemerintah sangat
dibutuhkan agar proyek tersebut bisa berjalan, contohnya seperti eksplorasi
minyak.
· Merangsang industri
untuk bergabung dalam proyek – hal ini diwujudkan dengan memberikan kontrak
pada industri untuk membuat tank, persenjataan, kapal laut dan lain-lain atau
contohnya dengan menyediakan bantuan/subsidi kepada industri yang mengolah
bahan mentah, atau menyediakan lahan kosong untuk proyek konstruksi bangunan
misalnya pabrik persenjataan.
Negara
Khilafah juga harus berupaya menarik mereka yang mempunyai kemampuan untuk
membantu pengembangan industri pertahanan. Dunia Islam telah mempunyai para
ilmuwan dan insinyur ahli nuklir seperti halnya insinyur perminyakan. Tetapi
karena kurangnya kesempatan maka para ahli tersebut terpaksa pindah ke luar
negeri dan menambah kekurangan ahli dan teknologi di Dunia Islam. Contohnya,
ketika Mesir menghentikan kebijakan mengembangkan senjata nuklir pada tahun
1967, banyak para ilmuwannya yang pergi ke Irak dan bergabung dengan program
persenjataan Saddam Hussein. Abdul Qadir Khan bapak nuklir Pakistan akhirnya
menganggur.
Menjalankan
sebuah kebijakan industrialisasi akan mendapatkan stimulus dalam perekonomian.
Apa yang saat ini kurang dalam Dunia Islam adalah arah dan perencanaan dalam
atmosfir perekonomian. Mayoritas para pelaku ekonomi kekurangan dorongan dan
investasi, dan juga terlalu tergantung pada ekspor gas dan minyak.
Pembentukan
industri pertahanan yang lebih maju akan mengundang suntikan investasi yang
lebih besar. Hal ini akan diiringi investasi sektor swasta dari para pengusaha
yang ingin mendapatkan keuntungan sebagai imbasnya dan akan terus dikembangkan.
Pengaruh nyata pertama yang harus dimengerti adalah kebijakan tersebut akan
menciptakan lowongan pekerjaan bagi mereka yang sebelumnya pengangguran. Negara
mungkin harus mengadakan sebuah pelatihan, tetapi Dunia Islam bukanlah sekedar
pekerja yang memiliki ketrampilan saja.
Adanya
pekerjaan tentunya akan menambah konsumsi, seiring dengan masuknya pendapatan
yang lebih besar. Hal ini mengakibatkan bertambahnya permintaan barang dari
masyarakat biasa. Peningkatan tersebut dalam selisihnya akan mendorong
perkembangan sektor-sektor perekonomian lainnya seperti sektor industri barang,
sektor barang konsumsi dan juga permintaan terhadap beberapa barang mewah.
Permintaan tersebut akan mendorong orang-orang untuk menyediakan barang-barang
yang dibutuhkan dan lebih jauh menciptakan kesempatan kerja dan kekayaan ekonomi.
Pertanian
Untuk
mengikuti sebuah kebijakan industrialisasi sangatlah penting bagi setiap negara
untuk bisa memenuhi kebutuhan pangannya. Sangatlah penting bahwa sebuah negara
untuk tidak bergantung pada kekuatan asing dalam kebijakan agrikulturalnya,
karena setiap kebijakan tidak akan bermakna tanpa adanya kemampuan negara
tersebut untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduknya. Negara Khilafah juga
harus membuat kebijakan agrikultur yang mandiri, dengan menggunakan tanah Arab,
yang dianugrahkan pada kaum Muslim.
Turki
mensahkan kebijakan dasar yang jelas pada dalam bidang industri dan pertanian
melalui campurtangan negara setelah perang dunia, meskipun sejak akhir 1980-an
reformasi IMF telah benar-benar menghentikan pembangunannya. Sebagai
konsekuensinya, saat ini Turki menjadi pengekspor bahan makanan, sapi dan
ternak.
Harus
diingat bahwa Negara Khilafah nanti harus berinvestasi dalam peralatan dan
teknik pertanian terbaru. Perlu dijelaskan bahwa Korea Utara dulu mempunyai
kebijakan pertanian yang jelas, berkembang setelah Perang Dunia II yang disebut
sebagai filosofi Juch, yang diterapkan dalam tiga tahap pada pemerintahan
komunis. Korea Utara adalah negara yang bisa secara potensial melakukan
perdagangan dengan Negara Khilafah, sehubungan dengan rencananya mengekspor
peralatan pertaniannya, tetapi terhalang karena pasar Amerika dan Eropa
tertutup bagi mereka dengan alasan keamanan. Negara bisa membuat poin-poin
perdagangan yang menarik sehingga kita bisa mendapatkan mesin pertanian Korea
Utara dan juga kelebihan teknik pertanian mereka.
Ini
hanyalah gambaran umum tentang kebijakan-kebijakan yang harus diterapkan di
wilayah kekuasaan Negara Khilafah. Wilayah Muslim dipenuhi oleh berbagai
sumberdaya, para ahli, dan orang-orang yang mau bekerja demi kepentingan Islam.
Para pemimpin saat ini -selama mereka ada- akan tetap memastikan adanya
negara-negara yang tidak akan pernah berkembang dan mencapai kekuatan
sebenarnya, dan telah menetapkan diri mereka sebagai agen tetap dari kekuatan
dunia. Pada awal abad ke-20 Jerman menentang kerajaan Inggris dengan
industrinya yang kemudian mengakibatkan terjadinya Perang Dunia I. Hal tersebut
juga untuk membatasi pembentukan kekuatan global yang seimbang dan tujuannya
setelah membangun dalam kurun waktu 6 tahun dan mengambil kekuatan dunia secara
bersama sama untuk menghentikan kemajuannya. Uni Soviet dalam rentang waktu 20
tahun berkembang dengan cepat dan hampir 50 tahun bersaing dengan Amerika
sebagai adikuasa global.
Contoh-contoh
di atas memperlihatkan bahwa jika ada kemauan maka semua negara bisa melakukan
indutrialisasi dan sanggup membela diri mereka sendiri, sementara itu, tanpa
industrialisasi mereka akan terus jatuh dalam pengaruh kekuasaan asing. Akan
tetapi, ada perbedaan penting yang harus dicatat. Banyak contoh negara-negara
yang berindustrialisasi hanya bertujuan untuk menaklukkan dan menjajah kawasan
lain atau menyandang status sebagai penguasa dunia.
Umat
Islam yang sedang menuju industrialisasi dan perkembangan teknologi harus
dibangun di atas kekuatan akidah Islam dan motivasi yang terus berjalan. Selalu
berpegang teguh pada tuntunan Allah Swt dan utusan-Nya yang mulia Nabi Muhammad
saw.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اسْتَجِيبُواْ لِلّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُم لِمَا يُحْيِيكُمْ وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ يَحُولُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَقَلْبِهِ وَأَنَّهُ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ
Hai
orang-orang yang beriman, penuhilah panggilan Allah dan Rasul-Nya ketika ia
menyeru kamu kepada sesuatu yang memberikanmu kehidupan. Dan ketahuilah bahwa
sesungguhnnya Allah membatasi antara manusia dengan hatinya, dan sesungguhnya
hanya kepada-Nya-lah engkau dikumpulkan. (TQS. al-Anfal [8]: 24)
HTI-Press. Dunia
Islam sekarang tertinggal jauh dari negara-negara industri di dunia. Sementara
Barat telah melewati fase industrialisasi 150 tahun yang lalu, Dunia Islam
tetap terde-industrialisasi secara besar-besaran, dan banyak kasus tersebut
dipercaya terjadi di negara berkembang.
Komentar
Posting Komentar