Mengkritisi UUD 45 prespektif UUD Islam
1.
Undang-undang
Dasar 1945 adalah produk akal manusia, sedangkan Undang-undang Dasar Islam
merujuk kepada Wahyu Allah Swt dan tuntunan Sunnah Rasulullah saw.
Undang-undang
Dasar 1945 disusun berdasarkan kondisi masyarakat, kondisi politik dan
keterbatasan akal para penyusunnya. Disamping itu juga sarat dengan berbagai
kepentingan yang muncul saat itu dari para penyusunnya tersebut. Adanya keterbatasan, kontradiksi antara
peringkat hukum maupun antara butir-butirnya, berbagai persepsi yang tak
berkesudahan dan munculnya berbagai kepentingan saat itu merupakan konsekwensi
logis dari sebuah Undang-undang Dasar yang merujuk pada pendapat-pendapat
manusia yang tidak memiliki tolok ukur sama dalam benar dan salah. Islam mengkritisi hal itu dalam firman Allah
Swt:
أَفَحُكْمَ
الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ
يُوقِنُونَ
“Apakah (sistem) hukum
Jahiliyah (yang bukan Islam) yang mereka kehendaki. Dan (sistem) hukum siapakah yang lebih baik
dari pada (sistem) hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?” (TQS.
Al-Maidah [5]: 50)
Islam adalah sebuah
‘ideologi’ yang tidak memiliki cacat maupun kelemahan, karena berasal dari
Al-Khaliq (Sang Pencipta manusia dan seluruh alam semesta), yang memiliki
Pengetahuan tanpa batas, Keadilan tanpa cela, dan tidak membutuhkan sesuatu
apapun dari manusia maupun makhluk-makhluk-Nya.
Fakta seperti ini cukup menjadi alasan bagi kita bahwa
standardisasi/tolok ukur benar salah yang hakiki adalah benar salah menurut
‘ideologi’ Islam.
2.
Undang-undang
Dasar 1945 berlandaskan ideologi sekular yang tidak jelas.
Undang-undang
Dasar 1945 berlandaskan pada ideologi Pancasila. Meskipun pada butir pertama diletakkan sila
Ketuhanan Yang Maha Esa, akan tetapi Pancasila tidak menjelaskan peran agama di
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Hal ini berakibat pada ketidakjelasan konsep negara. Indonesia bukan
negara agama, bukan pula negara sekular, tidak termasuk negara Komunis, lalu termasuk negara apa?
Ketidakjelasan
konsep ini berimplikasi sangat luas, sehingga berakibat pada ketidakjelasan
konsep-konsep lainnya. Seperti konsep
ekonomi, konsep politik dalam negeri, konsep politik luar negeri, konsep
pendidikan, konsep peradilan dan hukum, konsep pertahanan dan militer, konsep
kehidupan sosial kemasyarakatan dan sejenisnya. Apabila pada tataran konsep
masih belum jelas, maka pada tataran praktis akan muncul kesimpangsiuran dan
kerusakan fatal. Pada akhirnya negara
yang tidak memiliki ideologi atau lemah ideologinya pasti akan membebek
terhadap negara lain yang memiliki ideologi kuat.
3. Undang-undang Dasar 1945 berlandaskan
pada kedaulatan di tangan rakyat. Sedangkan Islam menjadikan kedaulatan itu di
tangan Allah Swt.
Meletakkan kedaulatan ada di tangan
rakyat bertentangan dengan konsep Islam yang menjadikan kedaulatan itu berada
di tangan Syara’ (Allah Swt). Firman-Nya:
إِنِ
الْحُكْمُ إِلاَّ ِللهِ يَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِينَ
“(Hak) Menetapkan hukum itu
hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan
yang paling baik.” (TQS. Al An’am [6]:
57)
أَلاَ
لَهُ الْحُكْمُ وَهُوَ أَسْرَعُ الْحَاسِبِينَ
“Ketahuilah, bahwa (hak
menetapkan) hukum itu kepunyaan Allah. Dan Dialah Pembuat perhitungan yang
paling cepat.” (TQS. Al-An’am [6]: 62)
Apabila wewenang menetapkan hukum berada di tangan
manusia, maka akan muncul kontradiksi, perubahan-perubahan hukum, dan hancurnya
pilar-pilar hukum. Yang haram menjadi halal. Yang halal menjadi haram. Al-Quran
menyebut produk-produk hukum buatan manusia itu sebagai hukum thaghut. Al-Quran menyebut pula para
pembuat hukum dan perundang-undangan sebagai thaghut. Firman Allah Swt:
يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ
وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ
“Mereka hendak bertahkim kepada
thaghut, padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkari thaghut itu.” (TQS. An-Nisa [4]: 60)
Al-Quran bahkan memberikan sifat
kepada mereka yang membuat-buat hukum –dengan menghalalkan yang haram dan
mengharamkan yang halal- sebagai orang-orang yang menjadikan tuhan-tuhan selain
Allah. Firman Allah Swt:
اتَّخَذُوا
أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللهِ
“Mereka
menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain
Allah.” (TQS. At-Taubah [9]: 31)
Mendengar ayat tersebut Adi bin Hatim berkata kepada
Rasulullah saw:
“Sesungguhnya mereka tidaklah menyembah orang-orang alim dan rahib-rahib
itu, wahai Rasulullah.”
Maka Rasulullah saw menjawab:
“Tidak demikian, sesungguhnya orang-orang alim dan rahib-rahib itu
mengharamkan yang halal atas mereka dan menghalalkan yang haram atas mereka.
Lalu mereka mengikutinya. Itulah bentuk
penyembahan mereka kepada orang-orang alim dan rahib-rahib mereka.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi).
Jadi, siapapun yang menetapkan suatu hukum dengan
memutuskan kehalalan dan keharaman sesuatu tanpa seijin atau tanpa merujuk
kepada Allah Swt, berarti ia telah melanggar batas yang ditetapkan Allah Swt,
sekaligus telah mengangkat dirinya sebagai tuhan. Dan orang yang mengikutinya
telah menjadikan ia sebagai tuhan selain Allah!
Dengan demikian, manusia sama sekali tidak memiliki hak membuat hukum.
Segala sesuatu yang akan diundang-undangkan, yang akan mengatur segala urusan
rakyat, mengatur hubungan rakyat dan penguasa, mengatur lembaga-lembaga tinggi
negara, dan mengatur hubungan institusi negara dengan negara lain harus diambil
(argumentasinya) dari Kitabullah (Al-Quran) dan Sunnah Rasul-Nya. Jika tidak, maka Al-Quran menggolongkannya ke
dalam kelompok orang-orang kafir, zhalim dan fasik.
وَمَنْ
لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“Siapa saja yang tidak memutuskan
perkara hukum (yang berkait dengan politik, peradilan, sosial,
ekonomi,pendidikan, militer dll) menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka
adalah orang-orang kafir.”(TQS. Al-Maidah [5]: 44).
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ
بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Siapa saja yang tidak memutuskan
perkara hukum (yang berkait dengan politik, peradilan, sosial,
ekonomi,pendidikan, militer dll) menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka
adalah orang-orang zhalim.”(TQS. Al-Maidah [5]: 45).
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ
بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“Siapa saja yang tidak memutuskan
perkara hukum (yang berkait dengan politik, peradilan, sosial,
ekonomi,pendidikan, militer dll) menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka
adalah orang-orang fasik.”(TQS. Al-Maidah [5]: 47).
Komentar
Posting Komentar