REALITAS DEMOKRASI
Para pemikir Barat mempelajari konsep-konsep pemikiran
Yunani dan Undang-Undang Romawi untuk menggali perundang-undangan yang mereka
inginkan, yang kemudian dikenal dengan “Undang-Undang Sipil”. Sistem
pemerintahan digambarkan sebagai perwujudan kehendak rakyat atau pemerintahan
rakyat, atau sistem demokrasi. Tetapi benarkah demokrasi mencerminkan
pemerintahan rakyat ?
Demokrasi
dalam maknanya yang asli seperti itu, sebenarnya adalah ide yang tak mungkin
diimplementasikan. Bahkan mustahil dilaksanakan. Konsep ‘dari rakyat oleh
rakyat dan untuk rakyat’ sulit dipahami perwujudannya. Sebab, berkumpulnya
seluruh rakyat di satu tempat (semisal di parlemen) secara terus menerus untuk
memberikan pertimbangan, usulan, gagasan (aspirasi) terhadap berbagai
persoalan, adalah hal yang mustahil. Keharusan atas seluruh rakyat untuk
menjalankan roda pemerintahan dan mengurus administrasinya, juga hal yang
mustahil. Berangkat dari sini kemudian dibuatlah konsep-konsep sebagai
“pengejawantahan demokrasi”, dengan memunculkan apa yang disebut ‘kepala
negara’, ‘pemerintah’, dan ‘dewan perwakilan’. Kepala negara, pemerintah dan
anggota parlemen diklaim sebagai pilihan berdasarkan mayoritas suara rakyat,
bahwa dewan perwakilan adalah penjelmaan politis kehendak umum mayoritas
rakyat, dan bahwa dewan tersebut mewakili mayoritas rakyat. Klaim-klaim
tersebut pun agaknya jauh dari kesesuaian fakta yang sebenarnya. Ini bisa
dipahami dengan uraian sebagai berikut.
Pertama, anggota parlemen di dewan perwakilan sesungguhnya
bukan wakil mayoritas rakyat, tetapi dipilih sebagai wakil dari minoritas
rakyat. Kedudukan seorang anggota di parlemen sebenarnya dicalonkan oleh
sejumlah orang (wakil dari partai), bukan oleh satu orang (ditunjuk
masing-masing pemilih). Kita saksikan suara pemilih di suatu daerah (distrik)
harus dibagi dengan jumlah orang yang mencalonkan. Dengan demikian, orang yang
meraih suara mayoritas para pemilih di suatu daerah sebenarnya tidak memperoleh
suara mayoritas dari mereka yang berhak memilih di daerah tersebut.
Konsekuensinya ialah para wakil yang menang, sebenarnya hanya mendapatkan suara
minoritas rakyat, bukan mayoritasnya. Maka mereka menjadi orang-orang yang
mendapat kepercayaan dari minoritas rakyat dan menjadi wakil mereka, bukan orang-orang
yang mendapat kepercayaan dari mayoritas rakyat. Hal ini bisa diilustrasikan
demikian: bila jumlah pemilih suatu daerah sejumlah 10 juta orang, dan seorang
anggota wakil dapat duduk di parlemen jika mendapat 100 ribu suara, maka 100
orang anggota yang naik adalah menjadi wakil dari masing-masing 100 ribu suara.
Jumlah 100 ribu suara adalah minoritas bila dibanding 10 juta suara pemilih
seluruhnya. Karena tidak tahu siapa mewakili siapa, akhirnya aspirasi yang
diperjuangkan pun bukan berasal dari aspirasi pemilihnya, tetapi aspirasi
partai yang diwakili atau aspirasi pribadinya sendiri. Tidak mengherankan bila
masyarakat akhirnya tidak puas melihat keputusan-keputusan (berupa
Undang-Undang, dll) yang ditetapkan sebagai produk “lembaga perwakilan rakyat”.
Kedua, pemilihan kepala negara, baik yang dipilih
oleh rakyat secara langsung seperti di Amerika maupun oleh para anggota
parlemen –seperti di kebanyakan negara-negara Asia–, sebenarnya juga tidak
dipilih berdasarkan mayoritas suara rakyat, tetapi berdasarkan minoritas suara
rakyat, sebagaimana halnya pemilihan anggota parlemen tersebut di atas.
Ketiga, pernyataan bahwa penguasa/presiden
bertanggung jawab kepada parlemen –yang merupakan penjelmaan kehendak umum
rakyat– dan bahwa keputusan-keputusan yang penting tidak dapat diambil kecuali
dengan persetujuan mayoritas anggota parlemen, tidaklah sesuai dengan hakekat
dan kenyataan yang ada. Perdana Menteri Inggris, Sir Anthony Eden telah
mengumumkan Perang Suez terhadap Mesir tanpa memberitahu kepada parlemen maupun
kepada para menteri yang memiliki andil dalam pemerintahannya, kecuali kepada
dua atau tiga orang saja. John Foster Dulles menolak mentah-mentah untuk
menyerahkan laporan mengenai Terusan Suez yang diminta oleh Konggres Amerika.
Demikian juga Charles de Gaulle di Prancis telah mengambil
keputusan-keputusan tanpa diketahui para menterinya. Ini yang terjadi di
negeri-negeri asal-usul demokrasi. Adapun parlemen-parlemen di dunia Islam,
keadaannya lebih buruk lagi. Ia sekedar istilah yang tidak ada faktanya. Tidak
ada satu parlemen pun di dunia Islam yang berani mengkritik atau menentang
penguasa atau sistem pemerintahannya. Parlemen-parlemen di Yordania, Mesir,
Indonesia, Irak tidak berani mengkritik para Raja/presiden atau rezim
pemerintahannya. Padahal semua anggota parlemen tahu bahwa penyebab krisis dan
kemerosotan ekonomi yang terjadi tidak lain adalah kebobrokan rezim keluarga
kerajaan (penguasa) yang telah mencuri harta kekayaan negara. Mereka hanya
berani mengkritik beberapa menteri, padahal mereka tahu para menteri tersebut
hanya pegawai bawahan, yang tidak akan berani mengambil satu tindakan tanpa
mendapat izin-restu dari raja/presiden.
Keempat, undang-undang (UU) yang ada umumnya justru
dibuat oleh pemerintah, dalam bentuk rancangan undang-undang (RUU). Kemudian
RUU itu dikirim oleh pemerintah ke parlemen, lalu dikaji oleh komisi-komisi
khusus yang akan memberikan pendapatnya mengenai rancangan tersebut, dan
kemudian menyetujuinya. Padahal faktanya banyak anggota parlemen yang tidak
memahami isi undang-undang tersebut sedikitpun, sebab pembahasan dalam
undang-undang tersebut bukan bidang keahlian mereka. Oleh karenanya pernyataan
bahwa peraturan yang ditetapkan oleh parlemen-parlemen di negeri-negeri
demokrasi merupakan ungkapan kehendak umum rakyat, dan bahwa kehendak umum itu
mewakili kedaulatan rakyat, adalah pernyataan yang tidak sesuai dengan hakikat
dan kenyataan yang ada.
Termasuk
cacat yang menonjol dalam sistem demokrasi –berkaitan dengan pemerintahan dan
kabinet– antara lain bila di dalam negeri tidak terdapat partai-partai politik
yang besar –yang dapat mencapai mayoritas mutlak di parlemen dan menyusun
kabinetnya sendiri–, maka pemerintah negeri tersebut akan selalu tidak stabil
dan kabinetnya terus digoncang dengan tekanan krisis-krisis politik yang silih
berganti. Ini terjadi karena sulitnya mendapatkan kepercayaan mayoritas
parlemen, sehingga kondisi ini memaksa pemerintah meletakkan jabatannya.
Kadang-kadang presiden selama berbulan-bulan tak mampu membentuk kabinetnya
yang baru sehingga pemerintah menjadi lumpuh atau nyaris tak berfungsi.
Kadang-kadang pula presiden terpaksa membubarkan parlemen dan mengadakan pemilu
baru, yang bertujuan mengubah perimbangan kekuatan politik agar dia dapat
menyusun kabinet yang baru.
Krisis-krisis
tersebut terjadi beruang kali sehingga pemerintah selalu tidak stabil dan
aktivitas politiknya pun terus digoncang dan nyaris tak terurus. Kondisi
seperti ini pernah terjadi di Italia, Yunani, Turki, Indonesia (waktu multi
partai) dan negeri-negeri demokrasi lain. Konsekuensinya kemudian terjadi
tawar-menawar diantara partai-partai tersebut, sehingga kadang-kadang partai
kecil dapat mendikte partai lain –yang mengajak berkoalisi membentuk kabinet–
dengan cara mengajukan syarat-syarat yang sulit sebagai langkah untuk
mewujudkan kepentingannya sendiri. Dengan demikian, partai-partai kecil –yang
mewakili minoritas rakyat– dapat mengendalikan partai lain dan mendikte
kegiatan politik negeri tersebut termasuk penetapan kebijakan-kebijakan
kabinetnya.
Nyatalah
betapa sulitnya ide demokrasi ini dijalankan dalam sebuah pemerintahan. Dan
memang tak akan pernah dapat terwujud apa yang dinamakan pemerintahan
demokratis. Kecuali dalam sebuah negara yang berpenduduk hanya satu jiwa.
Dengan begitu semua aspirasinya pasti akan tersalurkan. “Dari rakyat (dia) oleh
rakyat (dia) dan untuk rakyat (dia)”. Jadi, masih ingin (bermimpi) demokrasi? Wallahu
a’lam bis shawab.
[People doesn’t create life and human itself. They are
creation, not The Creator. Can they know what the best system for them? to
manage them? ]
Ir. Ridlo Riyono
peneliti pada Institute
of Islamic Analysis & Development - INQIYAD
Alamat :
Antabaru II Blok F-9 Bandung 40293
e-mail
: inqiyad_@hotmail.com
Komentar
Posting Komentar