Tata Ruang, Pembangunan dan Konversi Lahan Dalam Islam
Oleh: Hafidz Abdurrahman
Para ulama kaum Muslim telah menulis
masalah ini dalam kitab fikih. Ada yang menyatu dengan pembahasan lain, dan ada
yang benar-benar terpisah dan menjadi pembahasan tersendiri dalam satu kitab.
Pembahasan tentang tata ruang, pembangunan dan konversi lahan telah dibahas
oleh al-Mawardi dalam kitabnya, al-Ahkam as-Sulthaniyyah dan
al-Farra dalam kitab dengan judul yang sama, ketika mereka membahas Qadhi Hisbah. Sedangkan Ibn ar-Rami secara khusus
menulis kitab dalam masalah ini dengan judul, al-I’lan bi Ahkami al-Bunyan.
Kitab yang terakhir ini bahkan dianggap sebagai kitab fikih bangunan (fiqh al-bunyan) dan infrastruktur secara umum.
Landscape Tata Ruang Era Islam
Landscape tata ruang dan pembangunan kota di zaman Islam bisa ditarik
ke belakang sejak Nabi SAW hijrah ke Madinah, yang menjadi kota baru, bahkan
ibukota Negara Islam pertama. Ketika Nabi SAW membangun Madinah al-Munawwarah
sebagai pusat pemerintahan Negara Islam, baginda SAW telah menetapkan empat
unsur pokok dalam tata ruang dan pembangunan kota ini. Pertama, masjid jami’, yaitu Masjid Nabawi. Kedua, kediaman sang pemimpin agung, baginda Nabi SAW yang
berdekatan dengan Masjid Nabawi. Ketiga, pasar, yang
kemudian dikenal dengan Suqu an-Nabi (pasar
Nabi). Keempat, pemukiman penduduk yang dihuni berbagai kabilah.
Dengan prinsip yang sama, ketika menjadi
Khalifah, Umar bin al-Khatthab, membangun sejumlah kota baru, seperti Kufah,
Bashrah dan Fusthath. Sekali lagi, empat unsur pokok di atas, yaitu masjid
jami, kediaman sang pemimpin yang berdekatan dengan masjid, pasar, pemukiman
penduduk yang dihuni berbagai kabilah selalu menjadi model tata ruang yang
diwujudkan dalam pembangunan kota-kota tersebut.
Ketika Abu Ja’far al-Manshur menjadi
khalifah, dan mempunyai ambisi besar untuk membangun pusat pemerintahan baru di
Baghdad, beliau mengumpulkan para insinyur, arsitek dan orang-orang yang
dianggap mempunyai pemikiran (ahl ar-ra’yi) untuk
dimintai pendapatnya. Maka, lahirlah kota Baghdad dengan tata ruang melingkar,
di tengahnya berdiri masjid jami’ yang megah, berdekatan dengan istana khalifah
yang dikelilingi oleh pemukiman penduduk. Dilengkapi dengan jalan-jalan yang
lebar sesuai dengan peruntukannya. Ada jalan protokol, yang lebih lebar,
kemudian jalan sekunder yang lebih kecil dari jalan protokol, dan jalan di
gang-gang yang lebih kecil dari jalan sekunder. Tata ruang dan pembangunan kota
ini telah menjadikan Baghdad sebagai kota dengan tata ruang terbaik pada
pertengahan abad ke-2 Hijrah.
Ketika Nabi menjadi kepala negara di
Madinah, urusan tata kota dan pembangunan ini ditangani sendiri oleh Nabi SAW
sebelum kemudian diserahkan kepada Umar bin al-Khatthab untuk Madinah, dan
kepada Amr bin al-‘Ash untuk Makkah al-Mukarramah. Dalam perkembangannya
kemudian, ketika Umar bin al-Khatthab menjadi khalifah, beliau mendirikan biro
khusus yang disebut dengan nama Dar al-Hisbah. Selain
biro khusus, Umar juga dibantu dengan para petugas khusus yang menangani urusan
tata kota dan pembangunan ini.
Dalam kitab al-Ahkam
as-Sulthaniyyah, al-Mawardi menyatakan, “Qadhi Hisbah-yang
mengepalai Dar al-Hisbah-berhak untuk melarang orang yang mendirikan
bangunan di jalan yang digunakan laluan, sekaligus bisa menginstruksikan kepada
mereka untuk menghancurkan bangunan yang mereka dirikan. Sekalipun bangunan
tersebut adalah masjid sekalipun. Karena kepentingan jalan adalah untuk
perjalanan, bukan untuk bangunan. Qadhi Hisbah juga berhak untuk melarang
siapapun meletakkan barang-barang dagangan dan bahan-bahan/alat bangunan di
jalan-jalan dan pasar, jika barang dan bahan tersebut bisa memudaratkan orang.
Dalam hal ini, Qadhi Hisbah berhak untuk melakukan ijtihad dalam menentukan
mana yang mudarat dan mana yang tidak. Karena ini merupakan ijtihad dalam
masalah konvensi (kepantasan umum), bukan masalah syar’i.” (Al-Mawardi,
al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hal. 430-431)
Status Kepemilikan dan Pemanfaatan Lahan
Tata ruang dan pembangunan tersebut jelas
membutuhkan lahan. Lahan yang dibutuhkan ini adakalanya milik umum, milik
negara atau masih menjadi milik pribadi. Untuk daerah-daerah yang baru dibuka,
lahan-lahan yang ada di sana umumnya merupakan tanah tak bertuan, sehingga
statusnya bisa dinyatakan sebagai milik umum hingga ada yang menghidupkannya.
Berbeda dengan daerah yang telah berpenduduk. Ketika Nabi SAW hijrah ke
Madinah, lahan yang digunakan oleh Nabi untuk mendirikan Masjid Nabawi adalah
tanah milik Sahal dan Suhail bin ‘Amru. Keduanya anak yatim, yang diasuh oleh
Muadz bin Afra’ Sahl.
Dalam as-Sirah an-Nabawiyyah karya
Ibn Hisyam dituturkan, bahwa ketika mengetahui perintah Allah untuk mendirikan
masjid di tempat itu, Muadz bin Afra’ Sahl menyatakan kepada Nabi, “Wahai Rasulullah, tempat penjemuran ini milik Sahal dan Suhail,
keduanya anak Amr. Keduanya anak yatim, dan masih keluargaku. Saya akan meminta
kerelaan keduanya, kemudian jadikanlah tempat tersebut sebagai masjid.” Di
tempat itulah masjid dan rumah Nabi SAW dibangun (Ibn Hisyam, as-Sirah an-Nabawiyyah, I/449).
Dari riwayat ini jelas, bahwa konversi
lahan milik pribadi untuk fasilitas umum, termasuk kediaman sang pemimpin agung
tadi membutuhkan izin dari pemiliknya. Ini juga ditegaskan dalam hadits Nabi
yang lain, “La yahillu limri’in an ya’khudza ‘asha akhihi bighairi thayyibi
nafsin minhu (Tidaklah halal seseorang untuk mengambil tongkat milik
saudaranya, kecuali atas kerelaannya).” (HR Ibn Hibban)
Hal yang sama berlaku dalam pembangunan
fasilitas umum lainnya, jika fasilitas ini dibangun dengan menggunakan lahan
milik pribadi. Izin yang diberikan pemiliknya bisa dengan kompensasi atau
tidak. Jika dengan kompensasi, maka itu pun didasarkan atas pertimbangan
kerelaan dari pemiliknya. Demikian juga, jika izin tersebut diberikan tanpa
kompensasi apapun, juga harus dengan kerelaannya.
Sebaliknya, jika ada lahan milik umum
kemudian dikonversi menjadi milik pribadi, maka harus dilihat faktanya. Jalan,
rel kereta api, pinggiran sungai, tepian pantai atau yang lain, maka
lahan-lahan tersebut tidak boleh dikonversi atau digunakan untuk kepentingan pribadi,
yang tidak sesuai dengan peruntukannya. Jalan dibangun untuk melancarkan
perjalanan, maka tidak boleh menggunakan jalan atau mengizinkan penggunaan
jalan untuk menaruh barang dagangan, bahan bangunan, parkir mobil, kendaraan
dan sebagainya, karena penggunaan seperti ini bisa merusak fungsi jalan sebagai
jalan. Demikian juga rel kereta api dan lahannya, pinggiran sungai atau tepian
pantai tidak boleh digunakan untuk tempat tinggal, atau kegiatan yang bisa
mengalihkan fungsinya dari fungsi sehingga menghambat kelancaran kereta api,
aliran sungai atau laut dan sebagainya.
Termasuk kawasan puncak yang menjadi
kawasan konservasi dan resapan air, dengan berbagai tanaman dan pohon yang ada
di dalamnya, tidak boleh dikonversi menjadi pemukiman yang bisa merusak
fungsinya. Ini juga merupakan lahan milik umum, dan termasuk dalam kategori hima (daerah yang diproteksi) agar tidak dirusak atau
dialihfungsikan. Jika tata ruang ini tidak diindahkan, maka daerah-daerah di
bawahnya akan terkena dampaknya, yaitu tergenang air kiriman dari kawasan
puncak, karena air tersebut tidak lagi bisa diserah oleh kawasan di atasnya,
karena telah dialihfungsikan.
Di sini, Qadhi Hisbah dan Dar al-Hisbah bisa melakukan tindakan paksa, jika
penggunaan lahan-lahan milik umum tersebut bisa membahayakan kepentingan
publik, seperti kecelakaan kereta api, meluapnya air sungai, banjir rob air
laut maupun banjir kiriman yang semuanya terjadi akibat penggunaan lahan yang
tidak sebagaimana mestinya. Bangunan rumah, bahkan masjid atau fasilitas umum
lainnya bisa dirobohkan untuk menjaga agar lahan tersebut tetap dipertahankan
sebagaimana fungsi dan peruntukannya. []
Komentar
Posting Komentar