Khilafah Menjamin Tata Kelola Pangan Yang Menyejahterakan




Oleh: Rofiah Susrini (Lajnah Mashlahiyyah Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia)
Tingginya harga kebutuhan pokok khususnya bahan pangan saat ini sungguh sudah tak terkendali. Memasuki minggu ketiga Ramadhan tahun ini, setidaknya terdapat lima bahan pangan yang menyita perhatian masyarakat karena harganya melambung tinggi yang disertai kelangkaan barang di pasar, mulai daging sapi, daging ayam, telur, bawang merah, cabai merah hingga cabai rawit merah.  Harga cabe rawit saja, sebagaimana diberitakan indosiar.com (24/07/2013), menembus angka Rp 120.000/ kg, sama dengan harga ongkos kendaraan umum jarak dekat. Sementara harga bawang merah melambung diatas harga ayam hingga mencapai Rp 80 000/kg, dan harga daging sapi meroket hingga mencapai Rp 110 ribu/kg bahkan di beberapa tempat ada yang sudah mencapai Rp 120 ribu/kg.
Penyebab tingginya harga bahan pangan diduga dipicu oleh beberapa hal, dari masalah cuaca yang menyebabkan gagal panen, langkanya stok produk dalam negeri, kenaikan bahan bakar minyak (BBM), hingga momen Ramadhan dimana permintaan akan bahan pangan biasanya meningkat. Apapun penyebabnya, yang pasti kenaikan harga sudah benar-benar diluar kontrol pemerintah. Pemerintah dibuat tidak berdaya dan mengakui ketidakberdayaan mereka. Permintaan maaf oleh salah seorang menteri sudah disampaikan, meski didahului kemarahan Presiden SBY.  Dan seperti biasa ketika harga pangan meningkat, pemerintah sigap melaksanakan 2 jurus andalannya yaitu impor pangan dan operasi pasar. Namun setelah beberapa hari dilakukan, harga pangan masih tetap tinggi. Milyaran dana yang sudah dikeluarkan pemerintah untuk menstabilkan harga menjadi tidak efektif. Selain itu, hal penting lain yang kini kembali marak dibicarakan terkait penyebab meroketnya harga pangan adalah keberadaan kartel pangan.
Tata Kelola Pangan yang Rusak
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Erani Yustika menilai, kenaikan harga pangan saat ini lantaran pemerintah takluk oleh spekulan dan buruknya sistem pasokan. Menurutnya, spekulan bisa berjaya karena tidak ada mekanisme pengendalian yang dipakai oleh pemerintah. Adapun, sistem pasokan bahan pangan, menurut Erani, tidak dipersiapkan sejak lama sehingga beberapa komoditas menjadi mainan spekulan dan pedagang. Pemerintah pun tidak sigap memfungsikan Bulog lantaran takut terhadap tekanan pedagang dan importir. Kepala Biro Humas dan Hukum KPPU, Junaidi mengatakan bahwa ada informasi yang tidak linier terkait soal pangan. Pemerintah mengklaim pasokan pangan, khususnya yang bersifat strategis, cukup selama Ramadan. Tapi yang terjadi harga pangan justru naik. Kondisi Ini biasa terjadi saat ada kelangkaan. Karena itulah kemudian dilakukan penyelidikan, apakah ini memang alamiah atau ada pihak yang sengaja menahan distribusi. Kalau memang ada unsur kesengajaan agar harga naik, itu sudah bisa disebut kartel. Komisi Pengawas Persaingan Usaha atau KPPU  saat ini telah menerjunkan timnya untuk mendalami dugaan adanya keterlibatan kartel pangan ini (Metrotvnews.com, 12 Juli 2013).
Sementara itu Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Pemberdayaan Daerah dan Bulog, Natsir Mansyur mengatakan bahwa kondisi tingginya harga pangan saat ini serta dugaan adanya keterlibatan  spekulan merupakan dampak dari pengelolaan tata niaga pangan yang terlalu panjang dan melibatkan banyak pelaku. Pelaku usaha atau pedagang yang besar dapat melakukan kartel karena mereka dominan menguasai harga komoditas. Kadin pun mencatat total potensi kartel akibat ketidakseimbangan ini mencapai Rp 11,34 triliun yang merupakan akumulasi dari enam komoditas strategi. Komoditas itu adalah daging sapi, daging ayam, gula, kedelai, jagung, dan beras. Nilai potensi kartel tersebut belum termasuk komoditas lainnya yang juga berpengaruh pada tata niaga pangan (Republika.co.id, 18/7/2013). Gambaran seperti itu diakibatkan oleh penataan managemen pangan nasional yang sangat lemah dari aspek produksi, distribusi dan perdagangannya. Selain itu, minimnya cadangan logistik pangan ikut menyebabkan persoalan pangan nasional sehingga setiap kebijakan yang dikeluarkan Kemendag dan Kementan cenderung spekulatif dan pada gilirannya data pangan tidak bisa tepat dan akurat. Beberapa kali  Kementrian Pertanian bersikukuh bahwa jumlah stok pangan mencukupi namun faktanya di pasaran terjadi lonjakan harga dan kelangkaan produk.
Fakta diatas menunjukkan betapa rusaknya tata kelola pangan pemerintah. Dari masalah produksi saja sudah terlihat bagaimana negara ini begitu bergantung pada impor bahan pangan. Dari beras, kedelai, daging, bawang, cabai hingga garam, negara kita tiap tahun masih harus mengimpor untuk memenuhi stok permintaaan. Padahal potensi negeri ini berupa luas lahan dan keanekaragaman hayati begitu besar namun tidak terkelola dengan optimal. Adapun dari aspek distribusi dapat dilihat betapa para pengusaha besar menguasai dengan leluasa alur distribusi barang dari petani ke konsumen sekaligus menjadi pihak yang paling menentukan harga komoditas. Direktur Institute for Development of economic and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menyatakan bahwa dari hasil penelitian yang dilakukan berulang kali terhadap jalur distribusi beberapa komoditas pangan didapat fakta bahwa urutan jalur distribusinya adalah dari petani ke tengkulak kemudian ke pedagang besar.  Setelah dari pedagang besar kemudian diserahkan ke distributor atau pedagang eceran atau pedagang pasar, kemudian baru ke konsumen. Tengkulak tidak dapat menentukan harga karena mereka tidak memiliki kapasitas modal. Jadi tengkulak hanya sebagai perantara dan mengikuti harga yang ditentukan pedagang besar.
Ternyata yang sangat menentukan harga komoditas itu adalah pedagang besar. Jadi pedagang besar inilah yang menguasai kartel dan jumlah pelakunya hanya beberapa orang saja. Enny menambahkan, para pedagang besar itu yang menentukan harga komoditas yang dijual ke konsumen dan menentukan harga berapa yang dibeli dari petani. Disaat petani panen, para pedagang besar impor. Sehingga para pedagang besar memiliki kekuatan menekan petani dengan harga murah (Republika.co.id, 18/7/2013). Kondisi diatas telah menggambarkan betapa rusaknya tata kelola pangan pemerintah demokrasi liberal kapitalistik, dimana sesungguhnya pemerintah telah disetir para pemodal dan pelaku usaha besar yang mampu menguasai komoditas. Gejalanya sudah jelas, pemerintah tak pernah berdaya mengendalikan pasokan, apalagi harga pangan, karena para pedagang besar itulah yang selama ini bermain.
Khilafah Menjamin Tata Kelola Pangan yang Menyejahterakan
Syariah Islam telah menetapkan sistem tata kelola pangan untuk menjamin ketersediaan dan keterjangkauan kebutuhan pangan tiap individu khususnya terkait makanan pokok yang layak dikonsumsi.  Islam juga mewajibkan penguasa untuk  menjamin ketersediaan dan keterjangkauan bahan pangan lainnya bagi masyarakat yang mampu untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka. Dalam hal ini sistem pemerintahan Islam yaitu Khilafah Islamiyyah akan menggiatkan aktifitas produksi. Hal ini dilakukan dengan membina para petani lokal melalui pemberdayaan baik dari sisi permodalan maupun pembinaan terkait intensifikasi produksi. Pengaturan terkait penggunaan lahan pertanian juga sudah diatur secara rinci dalam Islam sehingga tidak akan terjadi aktifitas alih fungsi lahan yang dapat menyempitkan lahan produksi pertanian. Kemandirian dalam memproduksi hasil pangan adalah hal yang penting, meski impor tidak menjadi hal yang diharamkan jika memang diperlukan dan tidak membahayakan kedaulatan negara.
Agar pangan dapat terjangkau oleh masyarakat maka khalifah akan menjamin distribusi pangan yang baik di semua wilayah dengan tingkat harga yang wajar. Khilafah tidak akan melakukan pematokan harga karena hal itu diharamkan dalam Islam. Kebijakan yang dilakukan oleh khalifah  menekankan pada distribusi yang baik dan keseimbangan supplydan demand. Masalah distribusi adalah hal penting untuk mencegah kelangkaan produk yang dapat memicu terjadinya kenaikan harga pangan. Adapun Kebijakan pengendaliansupply dan demand dilakukan oleh khalifah untuk mengendalikan harga. Hal ini dibantu dengan selalu mengupayakan ketersediaan stok cadangan untuk mengantisipasi terjadinya kelangkaan pangan sedini mungkin baik akibat pengaruh cuaca maupun permainan curang para spekulan.
Islam juga telah mengharamkan bagi semua pihak baik itu asosiasi pengusaha, importir, produsen atau pedagang untuk melakukan kesepakatan, kolusi atau persekongkolan yang bertujuan mengatur dan mengendalikan harga suatu produk. Misalnya dengan menahan stok maupun  membuat kesepakatan harga jual sebagaimana yang dilakukan oleh kartel pangan saat ini.  Hal itu berdasarkan sabda Rasul saw: “Siapa saja yang turut campur (melakukan intervensi) dari harga-harga kaum Muslimin untuk menaikkan harga atas mereka, maka adalah hak bagi Allah untuk mendudukkannya dengan tempat duduk dari api pada Hari Kiamat kelak” (HR Ahmad, al-Baihaqi, ath-Thabarani) (An Nabhani. T., An-Nizhomul Iqtishody fil Islam). Selain itu Khalifah juga akan menetapkan sanksi yang tegas bagi para penimbun barang maupun para pelaku kartel pangan. Aktifitas ini  diiringi dengan edukasi yang intens kepada masyarakat baik produsen, pedagang maupun konsumen terkait keharaman hal tersebut dan ancaman sanksi yang akan dijatuhkan bagi pelaku kejahatan.
Kebijakan tata kelola pangan yang sesuai syariat Islam inilah yang akan menuntaskan persoalan kartel pangan.  Yang akan berbuah manis berupa harga pangan yang senantiasa relative terjangkau oleh masyarakat.  Wallahu a’lam bishawab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kekhawatiran Barat akan bangkitnya Ideologi Islam

Struktur Negara Khilafah