68 Tahun Indonesia Merdeka? (Renungan Hari Kemerdekaan NKRI)
Tak terasa sudah 68 tahun usia “kemerdekaan” Indonesia. Saat ini tak ada lagi Belanda atau
Jepang yang menjadi penguasa dan pemerintahnya. Namun, kita patut
bertanya: Sudahkah rakyat dan bangsa ini benar-benar merdeka dalam
pengertian yang sesungguhnya?
Memang, setiap 17 Agustus upacara
pengibaran bendera dilakukan sebagai simbol kemerdekaan. Namun,
perubahan nasib rakyat negeri ini ke arah yang lebih baik-antara lain
rakyat menjadi sejahtera, adil dan makmur-sebagai cita-cita kemerdekaan
masih jauh panggang dari api. Nasib mereka malah makin merana, seperti
makin lusuhnya bendera sang saka.
Seharusnya dengan ‘umur kemerdekaan’ yang cukup matang (68th),
idealnya bangsa ini telah banyak meraih impiannya. Apalagi segala
potensi dan energi untuk itu dimiliki oleh bangsa ini. Sayang, fakta
lebih kuat berbicara, bahwa Indonesia belum merdeka dari keterjajahan
pemikiran, politik, ekonomi, hukum, budaya, dll. Indonesia belum merdeka
dari kemiskinan, kebodohan, kerusakan moral dan keterbelakangan.
Singkatnya, Indonesia yang dihuni 237 juta jiwa lebih ini (yang
mayoritas Muslim; 87%) masih dalam keadaan terjajah!
Pandangan di atas tentu tak mengada-ada. Sebagai contoh, dalam sebuah jajak pendapat yang dilakukan Harian Kompas,
masyarakat menilai banyak aspek dan kondisi makin buruk saja pada saat
ini. Misal, pada aspek keadilan hukum mereka menyatakan: 59,3% semakin
buruk, 13,4%: tetap, 21,6%: semakin baik. Lalu pada aspek keadilan
ekonomi mereka menyatakan: 60,7%: semakin buruk, 15,1%: tetap, 21,1%:
semakin baik. Saat berbicara pada aspek peran negara, ternyata
kesimpulannya: peran negara tidak memadai!
Lalu terkait
kemerdekaan, terlihat jelas bahwa masyarakat memandang Indonesia belum
merdeka baik dalam bidang ekonomi (67,5%: menyatakan belum merdeka),
politik (48,9%; menyatakan belum merdeka), budaya (37,1%: menyatakan
belum merdeka).
Pandangan dan penilaian masyarakat di atas
rasanya cukup mewakili pandangan mayoritas rakyat Indonesia. Merekalah
yang merasakan langsung atau bahkan menjadi obyek penderita dari
keterjajahan di berbagai bidang justru di era “kemerdekaan” saat ini.
Jadi, Indonesia merdeka, kata siapa?
Potret Nyata Keterjajahan
Dalam
rentang waktu 68 tahun, Indonesia masih menyuguhkan potret kehidupan
rakyatnya yang masih memprihatinkan. Dari data BPS jumlah penduduk Indonesia adalah 237.556.363
jiwa. Yang masuk kategori miskin lebih dari 100 juta penduduk dengan
ukuran pendapatan 2 dolar AS/hari.
Badan Pusat Statistik (BPS)
mengaku tingkat pengangguran terbuka pada Agustus 2012, mencapai 8,96
juta orang atau 7,87 persen dari total angkatan kerja sebanyak 113,83
juta orang. Jumlah itu tentu belum termasuk pengangguran ‘tertutup’
ataupun yang setengah menganggur. Dengan kenaikan tarif dasar listrik
baru-baru ini, angka pengangguran diduga akan bertambah I juta orang
karena akan banyak industri yang melakukan PHK. Di Ibukota Jakarta saja,
lebih dari 73 ribu sarjana saat ini menjadi pengangguran.
Alhasil,
pidato kenegaraan oleh Presiden setiap tanggal 17 Agustus menjadi tak
berarti, karena hanya menjadi ajang “memuji” keberhasilan semu penguasa
dan politik pencitraan. Berbusa-busa Presiden bercerita espektasi
RAPBN-2012 dan nota keuangan dengan memaparkan asumsi makro dalam RAPBN
2012: pertumbuhan ekonomi Indonesia 6,1 -6,4%; nilai tukar rupiah Rp
9.100-9.400 perdolar AS; inflasi 4,9-5,3%; dll (berdasarkan data
BKF/Badan Kebijakan Fiskal). Pemerintah pun berencana menaikkan kembali
gaji pegawai negeri sipil, TNI dan Kepolisian Negara RI serta pensiunan
masing-masing 10 persen pada tahun anggaran 2012.
Namun, yang tak
bisa diingkari adalah potret kemiskinan rakyat dan keterjajahan mereka
di negeri sendiri. Rakyat dihadapkan pada kenaikan harga yang makin
tidak terkendali, baik bahan pokok (sembako), pupuk pertanian, biaya
pendidikan dan kesehatan yang tinggi, dll. Kebijakan Pemerintah untuk
menaikkan TDL baru-baru ini jelas makin mendongkrok kenaikan harga
kebutuhan-kebutuhan pokok lainnya.
Tak ketinggalan, APBN yang 70%
sumbernya adalah dari pajak rakyat, sebagian besarnya justru tidak
kembali kepada rakyat. Pasalnya, sebagian dirampok oleh para koruptor,
sebagian untuk membayar utang dan bunganya yang bisa mencapai ratusan
triliun, dan sebagian lagi untuk membiayai kebijakan yang tidak
pro-rakyat. Sebaliknya, anggaran untuk program-program yang pro-rakyat
relatif kecil.
Pemerintah pun terkesan lebih mengutamakan para
pemilik modal ketimbang rakyat. Contoh: Pemerintah begitu sigap
mengucurkan Rp 6,7 triliun (yang akhirnya di rampok juga) untuk Bank
Century; sebaliknya begitu abai terhadap korban Lumpur Lapindo hingga
hari ini. Pemerintah pun tega untuk terus mengurangi subsidi untuk
rakyat di berbagai sektor: pendidikan, pertanian, kesehatan, BBM dan
listrik. Yang terbaru, Kenaikan harga BBM yang di ikuti oleh kenaikan bahan-bahan pokok yang secara konsisten menambah penderitaan rakyat.
Dengan menyaksikan sekaligus merasakan fakta-fakta di
atas, akhirnya bagi rakyat kebanyakan kemerdekaan menjadi sebatas
retorika!
Sekadar Klaim
Di hadapan
seluruh anggota DPD dan DPR RI di Gedung DPR/MPR, Presiden SBY mengklaim keberhasilan Pemerintah dalam
pelaksanaan demokrasi, termasuk Pemilukada langsung. Namun masalahnya,
klaim keberhasilan berdemokrasi tidak berbanding lurus dengan tingkat
kesejahteraan yang dirasakan oleh rakyat. Inilah ilusi demokrasi.
Seorang gubernur gajinya sekitar Rp 8 juta, walikota sekitar Rp 6 juta.
Namun, saat hendak merebut kursi kekuasaan, ongkos politik yang mereka
keluarkan bisa mencapai ratusan miliar rupiah. Saat terpilih, mereka
dituntut untuk menciptakan pemerintahan yang bersih. Tentu, tuntutan itu
menjadi mimpi di siang bolong. Faktanya, kasus korupsi, termasuk di
daerah-daerah, meningkat tajam justru sejak penguasa daerah, juga wakil
rakyat daerah, dipilih langsung melalui Pemilukada. Pada tahun 2010
saja, Presiden SBY sudah meneken izin pemeriksaan 150 kepala daerah yang
tersangkut kasus korupsi. Keadaannya tak jauh berbeda dengan kasus
korupsi di pusat kekuasaan, termasuk di DPR, yang notabene lembaga wakil
rakyat.
Akar Masalah
Jika kita mau
jujur, akar masalah dari semua persoalan di atas ada pada sistem
kehidupan yang dipakai oleh Indonesia. Selama 68 tahun “merdeka” negeri
ini mengadopsi sistem demokrasi-sekular. Demokrasi pada akhirnya hanya
menjadi topeng penjajahan baru atas negeri ini. Pasalnya, melalui sistem
dan proses demokrasilah lahir banyak UU dan kebijakan yang justru
menimbulkan keterjajahan rakyat di negeri ini. UU KHUP masih warisan
penjajah. UU SDA sangat liberal. Demikian pula UU Migas, UU Minerba, UU
Kelistrikan, UU Pendidikan, UU Kesehatan dan banyak lagi UU lainnya.
Sebagian besar UU yang ada bukan saja tak berpihak kepada rakyat, bahkan
banyak yang menzalimi rakyat. Pasalnya, melalui sejumlah UU itulah,
sebagian besar sumberdaya alam milik rakyat saat ini justru dikuasai
pihak asing. Contoh, kekayaan energi termasuk migas (minyak dan gas) di
negeri ini saat ini 90%-nya telah dikuasai perusahaan-perusahaan asing.
Jelas,
rakyat negeri ini sesungguhnya masih terjajah oleh negara-negara asing
lewat tangan-tangan para pengkhianat di negeri ini. Mereka adalah para
komprador lokal yang terdiri dari para penguasa, politikus, wakil rakyat
dan intelektual yang lebih loyal pada kepentingan asing karena syahwat
kekuasaan dan kebutuhan pragmatisnya. Akibatnya, rakyat seperti “ayam
mati di lumbung padi”. Mereka sengsara di negerinya sendiri yang amat
kaya. Mereka terjajah justru oleh para pemimpinnya sendiri yang menjadi
antek-antek kepentingan negara penjajah.
Kemerdekaan Hakiki
Jelas,
kita masih dijajah. Kebijakan ekonomi masih merujuk pada Kapitalisme,
ideologi penjajah. Di bidang politik, sistem politik yang kita anut,
yakni demokrasi, juga berasal dari negara penjajah. Tragisnya, demokrasi
menjadi alat penjajahan baru. Hukum kita pun masih didominasi oleh
hukum-hukum kolonial.
Akibatnya, kemiskinan menjadi “penyakit”
umum rakyat. Negara pun gagal membebaskan rakyatnya dari kebodohan.
Rakyat juga masih belum aman. Pembunuhan, penganiyaan, dan kriminalitas
menjadi menu harian rakyat negeri ini. Bukan hanya tak aman dari sesama,
rakyat pun tak aman dari penguasa mereka. Hubungan rakyat dan penguasa
bagaikan hubungan antarmusuh. Tanah rakyat digusur atas nama
pembangunan. Pedagang kaki lima digusur di sana-sini dengan alasan
penertiban. Pengusaha tak aman dengan banyaknya kutipan liar dan
kewajiban suap di sana-sini. Para aktifis Islam juga tak aman menyerukan
kebenaran Islam; mereka bisa ‘diculik’ aparat kapan saja dan dituduh
sebagai teroris, sering tanpa alasan yang jelas.
Karena itu,
kunci agar kita benar-benar merdeka dari penjajahan non-fisik saat ini
adalah dengan melepaskan diri dari: (1) sistem Kapitalisme-sekular dalam
segala bidang; (2) para penguasa dan politisi yang menjadi kaki tangan
negara-negara kapitalis.
Selanjutnya, kita harus segera
menerapkan aturan-aturan Islam dalam seluruh kehidupan kita. Hanya
dengan syariah Islamlah kita dapat lepas dari aturan-aturan penjajahan.
Hanya dengan syariah Islam pula kita bisa meraih kemerdekaan hakiki.
Syariah
Islam yang diterapkan oleh Khilafah Islam akan menjamin kesejahteraan
rakyat karena kebijakan politik ekonomi Islam adalah menjamin kebutuhan
pokok setiap individu rakyat. Negara juga akan memberikan kemudahan
kepada rakyat untuk mendapatkan kebutuhan sekunder dan tersier. Negara
pun akan menjamin kebutuhan vital bersama rakyat seperti kesehatan
gratis, pendidikan gratis dan kemudahan transportasi. Khilafah Islam
juga akan menjamin keamanan rakyat dengan menerapkan hukum yang tegas.
Capaian semua itu berdiri tegak di atas sebuah ideologi yang sesuai
dengan fitrah manusia, menenteramkan jiwa dan memuaskan akal. Itulah
ideologi Islam yang akan menjadi rahmatan lil ‘alamin. Mahabenar Allah Yang berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
Tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad saw.) melainkan agar menjadi rahmat bagi alam semesta (QS al-Anbiya’ [21]: 107).
Wallahu a’lam bi ash-shawab. [] Tan Saliman
Komentar
Posting Komentar